13

1.6K 165 3
                                    

"Cinta itu pertalian rasa di hati manusia yang penuh derita," ujar Ningsih seraya berjalan menuju ndalem.

Di sebelah, Ulya tertawa mendengarkan celoteh sahabatnya yang menemani setiap jengkal kaki melangkah sembari pandangan tidak lepas dari keramaian sekitar. Pada santri-santri yang sedang bergotong royong menjalani rutinitas hari ahad, roan.

"Aku pahamlah alur percintaan," imbuh Ningsih meyakinkan sahabatnya yang tengah tertawa lebar sirat meledek.

"Ya ... semuanya ndak hanya diketahui jika kita pernah merasakan aja, tapi bisa dengan mengamati kejadian di sekitar." Ningsih masih tidak puas karena tawa Ulya secara tidak langsung sedang meledeknya. Pasti kalian punya teman yang paham sekali soal cinta, tetapi masih setia dengan kesendiriannya? Nah, seperti itulah Ningsih. Ia paham, sebab melihat kejadian di sandingnya saja. Soal percintaan nyata hatinya memang belum merasakan.

Ulya masih menertawai Ningsih yang susah payah membuat dia yakin, bahwa ucapannya benar. Tentu, itu bener. Namun, masalahnya yang membuat Ulya tertawa, Ningsih suka menasehati, tetapi lupa diri.

Ia menarik lengan Ningsih tatkala langkah sudah merapat di sebelah ndalem, mereka hendak masuk lewat pintu samping yang biasa digunakan untuk ke luar masuk khadamah. Tempatnya bersebelah dengan dapur selatan yang digunakan masak untuk santri.

Namun, spontan langkah Ulya terhenti ketika gendang telinga disapa oleh lantunan apik tembang salawat dari belakang ndalem. Ia seperti mengenal suara itu. Mematung, memasang telinga mendengarkan dengan seksama.

"Allahumma sholli 'alla sayyidinna muhammad. Sholatan turohibu wa tunasyitu ...."

Ningsih yang terheran pun ikut memasung kaki di belakang Ulya. Ia menelengkan kepala menatap temannya yang sedang memasang wajah lurus ke arah jemuran ndalem dengan senyum tipis. Tepatnya menatap seorang pria yang dengan asyik bersenandung merdu sembari menjemur pakaian.

Tepukan keras mendarat di bahunya, membuat gadis itu kaget bukan main. Mendumel pada Ningsih karena bolpoint yang ia genggam meluncur jatuh sebab tidak dipegang kuat-kuat. Ini kali kedua Ningsih menjatuhkan bolpointnya dan kali ini pulpen pinjaman milik si pria galak yang pasti tak segan akan melahapnya. Ah, Ulya mesti mengatakan apa nanti? Padahal niat hati hendak mengembalikan setelah ia gunakan kembali untuk kajin pagi tadi.

"Maap. Lagian kamu ndak jaga mata. Terpesona sama Gus Fajri, ya?" ujar Ningsih terkesan menuding seraya mengikuti langkah Ulya masuk ke ndalem.

"Ish! Ini milik Gus Mubin. Gimana kalo aku dimarahin, di sp atau ...."

Ulya menggerutu kesal. Ia tengah marah karena bolpointnya mati, harus beli yang baru dan ini milik Mubin yang ia pinjam juga mati, harus ganti rugi. Pusing. Apa kabar dengan dompetnya yang entah masih ada isinya atau tidak. Lebih kesalnya lagi, sempat-sempatnya Ningsih menuding Ulya terpesona pada Fajri. Ya, meski tadi sejenak Ulya tercengang dengan senandung lembut pria itu.

"Mbak! Sini!"

Ulya meninggalkan Ningsih begitu saja ketika mendapati suara gertakan dari sesepria di ruang depan. Sebelumnya Ningsih sempat menggoda sahabatnya meski Ulya sedang kesal. "Maaf, Ul. Janji, deh nanti aku anter ke koperasi buat beli pulpennya!" katanya yang tak menjadikan perubahan rasa kesal Ulya padanya.

Ulya menghadap Mubin dengan kedua tangannya menjulur ke depan pria itu yang hanya disambut dengan kenyitan dahi.

"Kamu minta dibopong?"

Refleks Ulya menyilangkan kedua tangan di badan ia gunakan untuk mendekap dirinya sendiri. Lalu menggeleng. "Astaghfirullahaladziim. Yo ndak to, Gus. Saya mau nerima Ning Ulyana," ujar gadis itu dengan bibir merengut.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now