24

912 125 2
                                    

Sesekali Ulya mengamati jam bulat yang tergentung di dinding aula, membagi fokus dengan Al-Qur'an di hadapan berharap khataman ini segera usai.

Ketika Bu Nyai Halimah melantunkan doa khitmil Qur'an, segera mungkin Ulya mengangkat tangan sebatas dada, ikut mengamini doa.

Deresan dalam rangka menyambut hari khotmil Qur'an usai, setelah salam penutup diserukan semua santri berhamburan untuk ke luar. Ulya menyergahkan napas kesal karena rencananya akan gagal, ia tidak bisa ke luar lebih awal melihat penuhnya antrian ke luar di pintu aula.

"Kenapa, sih, Ul? Dari tadi keliatannya gelisah banget?"

Ulya hanya menggeleng, pandangannya masih menatap lurus pada pintu ke luar yang dipenuhi santri.

"Mbak Ulya!"

Gadis itu terperanjat kaget, segera berbalik badan dan  mengangguk patuh setelah mendapat kode bahwa ia diperintah untuk menghampiri asal suara.

"Ikut ke ndalem sebentar, yo," ujar Nyai Halimah.

"Njeh, Umi."

Berdiri sudah cukup lama menunggu Nyai Halimah ke luar lagi, lantaran wanita itu tadi memerintah Ulya untuk menunggu sebentar. Pandangannya dilempar pada jam lonceng yang terpajang di sudut ruangan, pukul 17.12. Sepertinya rencananya akan gagal.

Terlalu lama berdiri dengan kecanggungan, akhirnya ia memilih untuk menunggu di dapur supaya tidak sendirian.

Namun, tampak banyak lalu lalang khadam dan khadamah di sana, terhitung tiga hari lagi haflah digelar semuanya sudah menampakkan geliat kesibukan mempersiapkan segela sesuatu. Mubin yang biasanya hanya 10 jam-an bertahan di rumah saja terlihat bertahan lebih lama.

Ulya merapatkan tubuh dengan tembok dapur merasa posisi berdirinya di sana mengganggu lalu-lalang santri yang lewat dengan segala kebutuhan. Aish! Padahal ia masih mengenakan atasan mukena dan mendekap Al-Qur'an.

Mata Ulya beradu tepat dengan sepasang mata pekat di ambang pintu pembatas ruang tengah ndalem dan dapur.

Pria itu berisyarat pada Ulya untuk mengikutinya, manut Ulya melangkah masuk ke ruang tengah. Namun, kenapa bukan Nyai Halimah yang memanggilnya lagi? Mengapa pria itu?

"Seminggu ke depan mungkin saya sering di rumah dan kamu ndak perlu asuh Ulyana karena banyak saudara juga yang akan datang, jadi untuk beberapa hari itu pula kamu bantu-bantu persiapan acara haflah aja."

"Kalo nanti saya butuh bantuan kamu buat momong Ulyana, akan saya kabari."

Ulya mengangguk-angguk saja menimpali. Iya, beberapa hari ini ia jarang bersama si kecil hanya satu sampai lima jam saja sehari, membuat ia merindukan Ulyana. Senyum gadis kecil itu, yang membuat Ulya belajar akan arti ketegaran.

"Enggeh, Gus," jawab Ulya seraya mengangguk patuh.

Beberapa menit saling diam menunduk.

"Ada lagi?"

Serempak kata itu terucap. Keduanya pun menggeleng bebarengan, Ulya memicing mengapa bisa kompak sekali kali ini.

"Kamu boleh kembali ke asrama."

Ulya mengangguk patuh, berterima kasih lalu bergegas kembali ke asrama. Tumben Mubin tidak galak, meski sikapnya masih batu. Begitu pikir Ulya seraya melangkah menuju asramanya

☕☕☕☕☕

Langkah mengayun lebar menuju kebon pesantren yang terletak di sebelah gudang dan tepat berada di belakang dapur selatan.

'Dia masih di sana ndak, ya?' Hatinya berkata, sesekali mendongak menatap langit yang nyaris berubah warna menjadi gelap karena hampir masuk waktu magrib.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now