Part Ter-Ahem!

1.3K 108 5
                                    

🍂Izinkan aku menyimpan rasa ini, mesti sekadar semu dalam nuansamu yang tak akan berujung satu.🍂

Bila cinta bisa timbul lantaran terbiasa, mengapa tidak dengan melupakan? Suasana baru, orang baru serta perasaan baru yang menjadikan kebiasaan baru tidak lagi membuat hati terbelenggu oleh rindu atas masa lalu.

Kesibukan yang sudah terbiasa, menjadi daya pemacu agar benak cepat melupakan. Lantaran diam hanya akan menghadirkan bayangannya, mempesulit diri mengusir seseorang dari hati.

Ulya merenungi, tiap kali ia melamun kini sudah tiada lagi bayangan sosok Arif yang menghinggapi, seolah ia telah berhasil memisahkan masa lalunya dari hati. Sementara orang kerap bilang, ikhlas yang sebenarnya adalah ketika kita sudah lupa dengan apa yang kita berikan.

Suara derap langkah bersama canda tawa membuat Ulya terbangun dari lamunan, mata indah itu bergerak menyapu pandang pada beberapa santri yang mulai berdatangan ke aula untuk kajian. Ia melempar lagi pandangan pada jam bulat yang tergantung di dinding depan aula, tak lama suara doa pembuka ngaji tersenandung indah lewat pengeras suara dari musala.

Gadis itu memang menyengajakan diri untuk berangkat kajian lebih awal, bahkan saat belum ada seorang pun yang tiba di aula. Pun tak mengindahkan perintah Ningsih yang menyuruhnya menunggu gadis itu menunaikan rutinitas pagi yang tak pernah tertinggal, buang hajat. Pernah manut dan berimbas terlambat masuk kelas membuat Ulya tidak mematuhi perintah lagi. Tak peduli dianggap tak setia kawan, hanya saja Ulya malas berurusan dengan Mubin. Iya, gelak dan judesnya pria itu. Argh! Ia selalu ingin begitu, tetapi Mubin adalah urusannya setiap hari hingga tanpa sadar menjadi candu.

Ulya kembali menekuri kertas putihnya di atas dampar, menggoreskan pena, mengukir aksara. Ada sesuatu yang mesti ia ketahui dan bahkan mungkin akhiri, jika semua sebatas tanpa arti.

Bibirnya ditarik ke kanan dan kiri serupa lengkungan, setelah berhasil menumpahkan pikirannya dalam sebuah tulisan di atas kertas yang sudah terlipat apik. Bersamaan itu juga ia dikejutkan oleh sebuah tepukan keras di bahu, yang dengan senyum jahilnya si pembuat ulah duduk di sisi tanpa rasa berdosa tak peduli tampang Ulya yang sudah meringis kesakitan.

"Tangan kamu itu kecil, tapi berat, ya, Mbak," gerutu Ulya sebal.

"Malahan kalo dikilo'in mahal, dong, ya," celetuk Ningsih makin ngawur. "Eh, itu apa? Surat, ya? Buat siapa, hayo?" Sambungnya bertubi-tubi.

Volume suara sumbang sahabat ceplas-ceplosnya yang tak dikendalikan membuat Ulya seketika menaruh jari telunjuk di depan bibir, memberi isyarat gadis itu untuk diam.

Mata belo Ningsih tak henyak dari tatapan selidik pada gadis di hadapannya, "surat apa, sih?" Tangan panjangnya menjulur berniat merebut kertas yang ada di genggaman Ulya. Namun, tak berniat memberikannya Ulya menggenggam makin erat. Hal itu tak membuat sahabatnya mengalah, malah menjadikan sebuah adegan saling berebut sampai dikejutkan oleh sebuah seruan salam bersama derap langkang masuk.

Sama-sama terlonjak keget hingga tanpa sadar Ulya melempar suratnya sampai di sisi dampar si pengampu. Bisa tamat riwayatnya. Aduh!

Apalagi nampak pria pengampu kajian pagi itu melewati dampar yang seharusnya menjadi singga sananya. Ulya menggigit bibir bawah dengan keras ketika melihatnya mendekati surat yang terlempar kini bertengger di sebelah dampar, dia membungkuk meraih lipatan itu.

Sementara di tempat duduknya Ulya meringis karena terlalu keras menggigit bibir. Tetap menunduk, tetapi pandangan tak lepas dari surat miliknya itu.

'Jangan dibuka, Gus ... tolong ja-ngan," pinta Ulya dalam batinnya.

Napas baru bisa diembus lega ketika pria itu bergerak mundur malah berjalan menuju dirinya.

"Ini punya sampean, Mbak?"

Teruntuk Mantan!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora