27

1.4K 149 18
                                    


☕Menurutmu rasa seperti apa yang pantas disebut cinta?☕

"Kamu bicara seperti itu sama Arif, terlihat tegar sekali."

"Ndak bisa aku bohongin sebenernya hatiku sakit, Mas ... cuma, ya dengan ini mungkin Mas Arif bisa lebih ngerti keadaan kita udah beda dan dia bisa menerima kehadiran Ning Zulfa, sebagai ... istrinya."

Ulya teringat betul obrolan tadi bersama Alam sebelum kakak tersayangnya berserta keluarga pulang ke Jepara.

Ia merasakan getaran perih di dada, mengapa Arif datang di hadapannya saat Ulya nyaris bisa menetralkan pria itu dari hati.

Ulya benar-benar sedih, apalagi setelah tahu masalah yang menimpa rumah tanggan mantannya. Ia hanya bisa berdoa yang terbaik untuk semua.

Pikiran sungguh kacau diterpa berbagai hal, sehingga ia menepuk kepala berulang kali, berharap semuanya lenyap meski sekejab. Ulya ingin beristirahat dengan tenang tanpa beban pikiran.

Baru saja membaringkan badan di tepian kasur asrama, Ningsih datang mengejutkan membuat gadis mungil itu beranjak dengan kesal.

Ningsih sudah duduk di ranjangnya, bersiap menyampaikan topik baru yang mungkin akan menjadi hot news sebentar lagi.

"Kamu tahu ndak kalo Gus Fajri dijodohin," ujar Ningsih amat bersemangat.

Ulya ternganga, "benarkah?"

"Aku denger sendiri tadi di ndalem," jawab Ningsih dengan yakinnya. Gadis itu berbaring di tepian ranjang Ulya yang sempit sehingga membuat pemiliknya menggeser badan sedikit.

"Huft! Capek aku, tuh," kesah Ningsih.

"Karena habis nyebar berita itu?" Ulya ikut berbaring karena badannya juga terasa penat.

"Endaklah, cari tau dulu informasinya secara rinci baru disebar. Berita itu harus akurat, Ul."

Ulya menatap sahabatnya sekejab dengan mata memicing, gadis di sisinya paling tahu serba serbi ndalem, membuat hat itu menjadi topik dan perbincangan hangat para santri. Apa untungnya?

Ulya melempar tatapan ke langit-langit asrama dengan lekat, siapa pun itu, sebagai teman ia akan senang bila Fajri telah menemukan tambatan hatinya.

☕☕☕☕☕

Ngaji diliburkan tiga hari setelah haflah, tetapi tugas khadam serta khadamah tetap sama seperti biasanya.

Begitupun dengan Ulya, dengan langkah santai merasai sejuk pagi yang menghadiahkan dingin di kulit ia mengambil arah ke ndalem untuk menjalankan tugas seperti biasa.

Hatinya beradu oleh rasa yang tak menenuntu, sebuah rindu yang belum usai terhadap keluarga, juga hati yang terombang ambing lantaran tuntutan melupakan dan menamai rasa aneh baru tersemai di dadanya.

Ulya bingung, sulit mengerti dirinya, ia ambigu dengan perasaanya.

Begitu langkah merapat di depan pintu ndalem samping Ulya di buat bingung sebab suasana masih sepi, seperti belum ada khadamah yang datang. Tadi Ningsih berangkat bersamanya, tetapi gadis itu bertolak arah sebab katanya mendadak mules.

Bingung hendak masuk atau tidak, tetapi gadis mungil yang kini mengenakan sarung hitam serta baju muslimah panjang berwarna biru dipadu dengan jilbab segi empat yang dililit sederhana itu memilih untuk menyerukan salam saja. Tak lama Nyai Halimah ke luar, mempersilakan Ulya masuk dengan semringah membuat gadis itu tak sungkan mengikuti langkah Bu Nyainya masuk ke ndalem.

Namun, spontanitas langkah Ulya berhenti ketika menangkap seringai aneh dari wajah pria yang tengah menyeduh kopi di westafel ndalem.

"Tumben pagi banget udah ke sini? Biasanya mesti kudu saya panggil dulu lewat kantor," ujar pria itu, mata elangnya tetap menatap secangkir kopi yang sedang diaduk.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now