8

1.9K 196 6
                                    

Menghadap kaca jendela sebuah rumah, Amir melepas kopyah, mendekatkan telapak tangan dengan mulut kemudian menyemburkan napas di sana baru digunakan untuk menyisir rambut. Setelah itu kopyah baru dipasang kembali. Di sebelah Alam bergidik ngeri melihat tingkah konyol satu temannya itu.

Pun beberapa wanita yang melihat dari dalam rumah tempat Amir mengaca tampak berteriak karena terkejut, dengan percaya diri khas andalannya Amir hanya melambaikan tangan. "Ndak pernah liat artis, sekali liat syok mereka," katanya diringi tawa kecil.

"Itu mbak-mbak panitia pondok sini, lho, Mir!" Kata Alam yang sudah tahu ketika melihat lalu-lalang ke luar masuk wanita dengan sragam sama juga kimper badge yang terkalung di leher.

"Benke, sopo ngerti ada jodoku di sana," jawab Amir dengan percaya dirinya.

Alam hanya menggeleng, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam pesantren Al Hidayah tempat acara kajian rutinan IPNU/IPPNU bergulir kali ini.

Tingkah konyol yang melekat pada diri Amir tak peduli tempat sekali pun dalam suasana kajian. Alam tidak keget lagi, hanya saja terkadang membuatnya harus menahan malu. Terlebih kadang ingin sekali mendadak tak mengakui Amir itu temannya, sebab dia sangat ceplas-ceplos tak peduli dengan siapa saja. Namun, Alam tidak seperti itu. Bagaimana pun dia adalah kawan terbaiknya.

Halaman pondok yang luas sudah terpadati oleh santri. Tabuh rebana mengalun merdu dari panggung, bersenandung melantunkan puja-puji bada Sang Baginda Nabi dengan diikuti para santri. Antusias nan lantang. Bendera pun dikibarkan mengiringi setiap lantunan salawat Nabi.

Kaki Alam terpaku ketika melihat seorang gadis yang tengah berjalan ke arahnya. Bukan menghampiri dia, Desti hanya hendak lewat untuk menuju tenda panitia. Sedangkan Alam hendak ke ndalem, biasanya Alam selalu soan sembari datang kajian. Namun, langkah langsung ambigu begitu menyadari siapa yang akan berpapasan dengannya. Di sana ramai, banyak lalu-lalang orang lain, tetapi mengapa sepi dalam perasaan Alam. Ingin berbalik. Ah, itu semakin menonjolkan bahwa ia menjauhi Desti.

Sesaat Alam melihat ke arah gadis itu yang sama diam dengan jarak yang sudah tidak jauh lagi. Desti menunduk dan merasakan kecanggungan sama, ia ingat bagaimana kemarin menumpahkan perasaannya terhadap pria itu. Namun, tidak dipertanggungjawabkan.

Alam pun masih memungkiri takdir pelik yang membelenggu, mengapa pula masih mempertemukan dirinya dengan Desti lagi. Ah, mengapa gadis itu ada di sini! Alam ingin memekik kesal. Mungkin akan lebih baik jika ia tetap lewat saja dengan acuh seolah-olah mereka tidak saling mengenal. Ya, mungkin begitu.

Dan itu benar ia lakukan. Namun, lain halnya, Desti justru mengangguk dengan tersenyum meski Alam abai dan berpura-pura tidak melihatnya. Hatinya benar-benar merasa terlempar. Ia pikir setelah tahu Alam tak bisa membalas rasanya, pria itu masih sudi menjadi temannya. Namun, nyatanya Alam malah acuh begitu.

Desti tidak mengemis perasaan itu terbalaskan, sebab ia juga tidak bisa berjuang sendirian berontak dari perjodohan yang kokoh membelenggu sedang Alam saja tidak mencintainya. Namun, Alam menjauh dan di sini Desti merasa bersalah. Perasaannya sepertinya membebani pria itu.

Hanya helaan napas yang diembus perlahan untun meredam kekecewaan, juga senyum simpul yang disunggingkan, sebelum akhirnya Desti kembali melangkah pada tujuan utama.

"Pssst! Ninggal aku!" Amir menyiku lengan Alam yang sudah duduk lebih dulu di ruang depan ndalem Kyai Fajar--pengasuh pondok pesantren Al Hidayah ini.

Alam tak menyeringai ucapan Amir. Pria itu lebih senang mendengar petuah yang disampaikan Kyai Fajar.

"Jadi kamu ini ketua IPNUnya? Bagus-bagus," ujar Kyai Fajar seraya menepuk bahu Alam beberapa kali dengan senyuman lebar.

Teruntuk Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang