9

1.6K 202 2
                                    

"Kang Sandal!"

Ulya sedikit memekik, membuat pria yang tengah memakai sandal di depan teras aula sembari mendekap kitab itu menghentikan aktifitas. Dia tampak menyapu pandang mencari asal suara lantaran banyak santri di sekelilingnya yang baru bubar mengaji.

Ulya tersenyum simpul sebelum menghampiri pria itu tak peduli masih ada beberapa santri di sana. Sedangkan Ningsih yang ke luar bersama teman barunya itu hanya berdiri termangu manatap punggung Ulya yang tiba-tiba nyelongong pergi.

Dan yang membuat Ningsih terheran barusan Ulya memanggil pria itu siapa? "Kang Sandal?" gumamnya seraya menggaruk kepala yang tak gatal.

"Parah Ulya, manggil Gus Fajri, Kang? Sandal lagi," ujarnya seorang diri sembari menggeleng. Dia memilih menyusul Ulya takut teman barunya itu membuat ulah.

"Kita ketemu lagi," ujar Ulya gembira dengan senyum yang mengembang di wajahnya.

Pria tinggi berjas biru dongker dengan surban yang terkalung di leher itu menanggapi dengan senyuman manis. Berdiri menunduk dengan satu harap di dada, sebaiknya Ulya tidak usah tahu siapa dia sebenarnya. Lantaran Fajri sudah nyaman dengan panggilan itu. Bukan apa, sekedar menjadikan mereka lebih akrab saja. Lagi pula, sebenarnya Fajri senang dipanggil 'Kang'. Ya, itu pintanya.

"Dan ternyata njenengan adalah ustad saya di sini," ujar Ulya yang berdiri di teras aula dengan menatap lurus pada langit yang membentang pekat.

"Takdir mungkin, ya," lirih Fajri dengan tawa kecil.

"Takdir alam?"

"Ya ... takdir Allah. Jodoh kali, Ul," jawab Fajri yang membuat gadis itu terbungkam. Fokusnya beralih pada desir rasa aneh di hati. Maklum saja, ia sedang digombali, jika bisa disebut gombal. Ah, teman-teman Masnya kan suka begitu. Termasuk juga pria di depannya itu yang baru dikenali.

Ulya disadarkan oleh tawa Fajri, sehingga ia ikut menyeret bibir ke kanan dan kiri membentuk lengkungan indah dengan setitik lesung pipit di pipi kirinya.

"Bercanda, lho, Mbak. Ndak usah baper, tapi kalo bati ndak papa."

Ulya menghentikan senyumnya, kening bergelombang melirik pria di hadapan sebelum menundukkan pandangan kembali. "Bati?"

"Bawa hati," jelas Fajri diiringi tawa lagi.

Ah, Ulya senang sekali. Bukan apa, setidaknya hidupnya di pesantren tidak akan hampa sekali tanpa lelucon yang biasa menyapa hari. Ulya rasa pria itu bisa menjadi pengganti Masnya dan juga Amir. Dan ia berharap nomor satu bisa segera melupakan sosok Arif yang baiknya masih tak tertandingi, pria itu masih disayanginya. Sangat.

"Bercanda-bercanda."

Ulya tersenyum kembali, ia baru menyadari tatapan yang menyasar dirinya dari orang-orang di sekeliling, juga santri yang masih tak beranjak dari aula. Mungkin karena ia mengobrol dengan pria, begitu pikir Ulya hingga ia akhirnya berpamit pergi.

"Besok pasti kita ketemu lagi, tenang aja," ujar Fajri sebelum Ulya pergi.

"Kita kan satu pesantren, yo itu pasti, Kang."

Fajri masih berdiri dengan gelengan kepala memerhatikan gadis bersarung itu berjalan pergi. Senyumnya mengembang kembali. Gadis itu unik, ia suka tingkah Ulya yang mendadak lugu ketika diluncurkan lelucon godaan. Semoga dia tidak berdosa dengan hobi barunya ini, Ya Allah Gusti. Haha.

Ulya terkejut bukan main ketika Ningsih mucul tiba-tiba dari balik tembok mengagetkannya. Iya, sebenarnya tadi Ningsih hendak menyusul Ulya yang menghampiri Fajri dengan sapaan yang tidak sopan, menurutnya. Namun, begitu melihat interaksi mereka Ningsih merasakan sesuatu yang aneh. Mareka seperti saling kenal. Sehingga gadis khadamah paling kepo itu memilih untuk menginterogasi Ulya saja nanti.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now