15

1.8K 178 9
                                    

Ambyarnya Mas Alam

Ulya berjinjit-jinjit demi bisa membaca barisan puisi yang terpajang di papan mading. Ia menyergahkan napas kesal karena tidak berhasil menjangkaunya. Memang derita gadis pendek!

Ia mendongak, tangan kirinya memegang secarik kertas, sementara sebelah tangan menggenggam pulpen. Ia berencana akan mengembalikan benda itu pada si pemiliknya, berhubung sudah mati ia ganti dengan yang baru. Juga akan disertai kalimat puitis supaya pria itu tidak menelannya hidup-hidup.

"Ngapain, Ul?"

Gadis itu berbalik secara refleks seraya mengusap dada sangking terkejutnya. Di depan, berdiri seorang pria sedang tertawa kecil sebab ekspresi lucu yang dipasang Ulya. "Assallamu'allaikum!"

"Wa'allaikummusallam, Gus. Argh! Njenengan ngagetin," kesah Ulya menghela napas lega.

"Ngapain kamu?"

"Lagi baca-baca aja, cari referensi," jawab Ulya.

"Referensi untuk?"

"Mau nulis puisi tapi ndak bisa," jawab Ulya jujur.

Fajri melihat papan mading yang memang terpajang cukup tinggi di dinding kantor putri. Pantas saja sulit dijangkau gadis pendek seperti Ulya.

"Kamu suka puisi?"

"Suka, Gus, tapi ndak bisa bikinnya. Susah ...."

"O, iya. Njenengan, kok ada di sini?" Ulya menunjuk Fajri, kemudian sepasang matanya melusur ke suasana sekitar sebab tidak ada satu pun pria di sana. Lantaran ini memang sudah masuk kawasan putri.

"Ini bukan suatu keanehan, banyak urusanku di sini, Ul."

Ulya mengangguk, benar juga ... dia, kan Gus--putra Kyai, ke mana pun ia menjejak kaki tiada salahnya. Namun, bukan seperti itu, bukan karena Fajri putra pemilik yayasan jadi seenaknya saja meski ke mana. Ia tahu batasan dan paham peraturan. Hanya saja ia memang benyak yang dikerjakan dan didiskuriskan bersama pengurus putri, lagi pula ia tidak sendiri. Ada beberapa kang-kang santri pengurus pondok yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kantor putri, hanya saja Ulya tidak tahu.

"Kamu mau bikin puisi buat apa?" Fajri masih penasaran.

"Mm ... buat permohonan maaf," balas Ulya seraya menunduk dalam. Ia sebenarnya merasa tidak enak bicara berhadapan dengan putra Kyainya, meski jarak terjaga.

"Ndak usah canggung gitu sama teman, Ul," ujar Fajri. "Sebelumnya kamu ndak gitu. Akh! Andai selamanya kamu tahu aku ini Kang Sandal aja."

"Jangan gitu, Gus."

"Jangan gitu juga, Ul. Kamu, 'kan yang nembak aku."

"Hah?" Ulya ternganga, perasaan ia tidak pernah menembak seorang pria seumur hidupnya sampai detik ini, tetapi bagaimana mungkin Fajri bicara seperti itu? Kapan Ulya menembaknya? Di mana? Paling dia mimpi.

"Saya ndak pernah nembak njenengan, lho, Gus." Ulya memicing.

"Masa kamu lupa, sih. Seminggu yang lalu, di dapur kamu nembak aku buat jadi teman kamu." Penjelasan Fajri sukses membuat Ulya tertawa lebar. Ah, ia sampai berpikiran yang tidak-tidak, rupanya menembak sebagai teman?

"Jangan ge-er! Nembak itu bukan berarti jadi pacar, doang. Dan waktu itu aku jawab mau, jadi sekarang ... kita temenan."

Tawa Ulya masih membingkai wajah ayunya, sulit untuk dibiaskan. Fajri ada-ada saja, sampai membuatnya salah sangka.

"Aku cari kamu. Mas Alam suruh kamu telepon," ujar Fajri menyampaikan topik intinya.

Ulya mengacungkan jari jempol ke atas bersama senyum yang terbingkai lebar. Gadis itu mengambil langkah hendak pergi, tetapi Fajri menyuruhnya berhenti.

Teruntuk Mantan!Where stories live. Discover now