PERASAAN MUBIN

836 80 2
                                    

✒Katanya, cinta tah harus memiliki? Berarti kau harus siap menampung patah hati.✒

Semilir angin yang menembus masuk lewat celah kaca mobil memberi kesejukan di kulit Ulya. Gadis itu mendekap bocah berusia dua tahun yang tepejam pulas selama melakukan perjalanan dari pesantren Al Lukman, dalam sebuah angan yang melayang jauh akan sebuah percakapan yang mengganggu benak.

"Yang paling sulit itu meluluhkan hati batu, sampai lelah pun dia masih setia mengeras tak peduli perjuangan seseorang yang berusaha meleburkannya."

"Gus Mubin memang seperti itu, Mbak ... bahkan denganku yang sudah mengenalnya dari dulu. Tapi kenapa kurasa sikapnya padamu beda, ya?"

Masih terekam jelas di ingatan Ulya setiap kata yang terlontar dari bibir Azizah dengan penuh kesah.

Ada apa dengan gadis itu mengapa mesti menceritakan Mubin dalam setiap pertemuan dengannya? Ulya tak tahu, tetapi pikirannya melayang jauh pada setiap perlakuan Mubin. Lelaki itu baik dan perhatian padanya, tetapi dalam diam tak mau secara terang-terangan. Kenapa?

Di waktu lalu Ningsih juga sempat menekan Ulya, khadmah sekaligus sahabat karibnya itu memintanya untuk tegas pada perasaan karena Ningsih bilang Fajri dan Mubin memiliki rasa yang sama terhadapnya. Ulya bingung dan tentunya tak percaya, seberapa istimewa ia sampai dicintai dua lelaki kakak beradik dalam sebuah kekuarga terpandang itu?

Ulya hanya wanita biasa yang menampung segenap luka cinta dan gigih ingin menyembuhkannya dalam keikhlasan.

Benar-benar bimbang, perasaannya belum bisa diprediksi mengarah menuju siapa.

"Sampean ndak mau turun?"

Ucapan itu sontak membuat Ulya terbangun dari ruang imajinasi, ia beringsut turun perlahan agar Ulyana tidak sampai bangun. Bertepatan dengan kumandang azan magrib yang mengalun dari musala membuatnya bergerak cepat takut tidak bisa masuk ke dalam asrama mengingat kejadian lalu dan perdebatannya dengan si nyinyir Lasmi.

"Makasih, ya, Mbak Ulya ... sampean sudah menemani kami," ujar Mubin tulus saat Ulya keluar dari kamar putrinya sedang menutup pintu dengan hati-hati.

Hanya dibalas anggukan serta senyum tulus dari Ulya, gadis itu juga bahagia menikmati perjalanan siang tadi bersama si kecil yang sudah terlanjur ia sayangi.

"Ya udah, sampean bisa kembali ke asrama," ujar Mubin, tetapi yang disuruh tetap pada posisi seraya tersenyum yang tak Mubin pahami berarti apa.

"Njenengan lebih cakep yang murah senyum gitu, Gus," celetuk Ulya membuat Mubin mengembalikan ekspresi seperti biasa.

"Apaan kamu ini, udah sana buruan balik ke asrama," ketus Mubin, seketika bibir Ulya manyun dan beringsut, tetapi baru beberapa langkah berhenti lagi seperti ada sesuatu yang tertinggal. Gadis itu berbalik badan menghadap Mubin yang masih berdiri pada posisi semula.

"Makasih juga, ya, Gus atas perhatiannya selama ini," kata Ulya, membuat Mubin mengernyit tak mengerti.

Seolah paham dari sirat pria itu, Ulya segera angkat suara. "Iya, beberapa kali njenengan ngasih kitab pinjaman ke saya dan kemarin waktu saya dihukum njenengan juga kirim minuman ke saya, 'kan?"

Mata Ulya membidik paras pria garang di hadapan, berubah jadi tawa membuat gadis mungil itu menunduk seketika.

"Sepertinya menang benar kamu salah paham."

Jawaban Mubin lantas membuat Ulya mendongak tak paham.

"Saya tidak pernah ngasih kamu perhatian apa pun, Mbak."

Ditelannya saliva secara susah payah, lantas siapa yang telah memerhatikannya dalam diam?

"Kitab itu Fajri yang kasih, kalau minuman baru saya ndak tahu siapa," sambung Mubin seketika Ulya kembali menunduk menyimpan rasa malu.

Teruntuk Mantan!Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon