44. Fakta yang Tidak Bisa dipercayai

6 0 0
                                    

Aliya bergeming menatap tubuh adiknya yang penuh lebam. Satu tangannya digipsun. Kecelakaan motor yang menyebabkan semua ini.

“Siapa? Siapa yang melakukannya? Siapa yang nyuruh dia bawa motor?” tanya Aliya geram, pada Bani. Beberapa detik yang lalu sepupunya itu menyampaikan bahwa Denis diledek teman-temannya di sekolah, dan disuruh mengendarai motor sendiri. Padahal dia belum mahir.

“Gak usah dibahas, Kak. Kita pikirin kesembuhan Denis aja, hmm?” Bani mengulas senyum. Berusaha menularkan kekuatan pada Aliya.

“Gak usah dibahas gimana maksud kamu? Ini⸻” Tiba-tiba ia merasa tangannya disentuh. Aliya melirik ke bawah. Tampaklah tangan sang adik yang menggenggamnya. Gadis itu lalu beralih pada wajah Denis yang dikeningnya terbalut perban. “Denis, kamu udah bangun?” ucapnya bergetar. Menahan tangis.

“Kakak …,” lirih Denis seraya tersenyum lebar. Ah, sudah lama sekali Aliya tidak melihat sonyom polos adiknya itu.

“Iya, ini Kakak, Denis.” Aliya mengangguk dan membalas senyumnya. Lalu mengusap lembut tangan yang menggenggam jarinya.
“Denis, Sayang, sekarang Kakak udah dateng, kamu harus makan ya?” ucap Bundanya yang berdiri di samping Aliya. Ya, sebelum Aliya sampai ke sini Denis memang tidak mau makan apa pun. Dia terus saja memanggil nama kakaknya. Awalnya Tiara, ibunya, tidak mau menghubungi Aliya agar tidak cemas, tetapi karena Denis mengatakan hanya mau makan setelah bertemu Aliya, terpaksalah menghubungi, bahkan menyuruh Bani menjemputnya. Untung saja jarak Jakarta ke Bogor hanya memakan waktu satu jam perjalanan.

“Iya, kamu harus makan,” timpal Aliya yang kemudian mendudukkan Denis dengan hati-hati. Lalu mengambil bubur yang sudah tersedia di atas meja di sisi ranjang Denis. Gadis itu menarik kursi dan duduk. Kemudian mulai menyuap bubur itu kepada sang adik.
Senyuman menghiasi bibir Denis terus menerus setiap kali Aliya menyuapinya. Terlihat begitu gembira melihat kehadiran sang kakak. Aliya sendiri merasa tidak pantas menjadi orang yang dinantikan. Dulu dia pernah melakukan kesalahan.

Adiknya terlahir berbeda dengan orang kebanyakan. Dia pesakitan. Waktu masih bayi, Denis sering step hingga delapan kali dalam satu jam. Hal itu menyebabkan kerusakan pada beberapa saraf otaknya dan membuat pertumbuhannya lambat. Denis baru bisa berjalan setelah usia tiga tahun, dan bisa bicara setelah umur empat tahun. Itu juga hanya sepatah dua patah, seperti memanggil Ayah, Bunda, dan Kakak. Ada banyak hal yang sulit dipahami oleh Denis, hingga cenderung melakukan kesalahan. Karena itulah Aliya merasa terganggu. Terutama saat sama-sama bersekolah di SD dulu. Denis tidak pandai cebok dan menyiram kotorannya sendiri, sehingga Aliya selalu dipanggil oleh temannya untuk membantunya. Denis bahkan sering kencing dan berak celana di sekolah. Sempat Aliya merasa malu karena itu. Semua teman-temannya tahu dia memiliki adik yang bisa dibilang bodoh. Sejak saat itu Aliya merasa terganggu dengan kehadiran Denis, dan tidak mau lagi bermain dengannya. Hingga suatu ketika, Aliya melakukan kesalahan. Ketika Denis mengajaknya bermain, dia malah menendang keras perut adiknya itu hingga kesakitan, dan dibawa ke rumah sakit. Sejak saat itu Denis memusuhi kakaknya, dan sejak saat itu pula, Aliya menyesali perbuatannya. Dia mencoba untuk memperbaiki, tetapi selalu yang terjadi adalah pertengkaran. Denis selalu membantah setiap perhatian darinya. Namun, hari ini, siapa sangka Denis justru menginginkannya datang. Bahkan menjadikannya alasan untuk cepat sembuh.

Diam-diam air bening mengalir di pipinya. Gadis itu seketika menunduk saat merasakan butiran bening itu jatuh di punggung tangannya. “Kenapa ….” Serak suara Aliya kini. Tangannya lantas berhenti menyuapi Denis. “Kenapa kamu berharap kakakmu yang tidak berguna ini datang, Denis?” lirih suaranya. Entah ada yang dengar, entah tidak. Namun yang ia rasakan setelah itu adalah usapan lembut tangan seseorang. Gadis itu mengangkat kepalanya. Tampaklah senyum lebar terpancar di wajah Denis. Tangan yang mengusap kepalanya juga milik Denis. Membuat air mata kian berjatuhan membasahi pipi wanita dewasa muda itu.

“Kakak ke toilet dulu.” Aliya pamit pergi seketika. Menyerahkan mangkok bubur kepada ibunya. Lalu beranjak keluar. Namun bukannya ke toilet, gadis itu justru duduk di kursi tunggu dan menangis tersedu-sedu.

“Mentari ….”

Aliya menutup wajahnya. Geleng-geleng kepala. Berpikir bahwa ia telah berhalusinasi mendengar suara Richard membuatnya merasa semakin frustasi. Mengapa dia harus mengingat Richard di saat seperti ini? Dia tidak suka itu. Dia bahkan menyesali kebodohannya mematikan handphone demi tidak ingin diganggu kebersamaannya dengan Richard.

“Mentari ….”

“Arrrggh.” Aliya mengibas-ngibaskan tangan di udara. Namun satu tangannya malah tertangkap oleh tangan seseorang. Gadis itu lantas mengangkat kepalanya. Sontak matanya melebar. Terlonjak kaget melihat siapa sosok yang kini berdiri di hadapannya.

“Richard?”  Hampir Aliya memekik. “Kok lo bisa ada di sini sih?!”

“Maaf, aku ngikutin kamu.” Richard tertunduk sebentar.

Aliya berdecak sebal. Pasalnya dia tidak merasa diikuti oleh siapa pun tadi. Kalau tahu, sudah pasti dia akan menghentikannya. Apalagi kalau orang itu adalah Richard.

“Kamu … ngapain di sini?” tanya Richard kemudian. Dia baru saja tiba, dan sempat hampir tertinggal jauh saat di perjalanan mengejar motor yang dikendarai Aliya dan Bani tadi. Pria itu pun hanya melihat Aliya masuk ke rumah sakit ini. Setelah itu dia kehilangan jejak, dan mau tak mau menyisiri rumah sakit mencari keberadaan Aliya. Lantas baru sekarang menemukannya.

“Bukan urusan lo,” ketus Aliya. Kemudian duduk. Mengusap jejak air matanya lalu melipat tangan di depan dada. Cemberut.

“Siapa yang sakit?” tanya Richard lembut. Mengambil duduk tepat di sebelah Aliya.

“Tauk ah.” Aliya memalingkan muka.

“Mentari, aku minta maaf. Jangan marah terus. Aku gak bisa tidur kalau begini.” Memelas wajah Richard.
“Bodo amat,” sahut Aliya.

Richard mengembuskan napas berat sebelum kemudian melanjutkan, “Tadi, di atap, aku cuma mau benerin selimut kamu, terus tangan aku tiba-tiba bengkok makanya⸻”

“Tiba-tiba bengkok?” potong Aliya. Tersenyum miring. Sebenarnya dia merasa geli mendengar pilihan kata yang diucapkan Richard barusan.

“Tante?” Ucapan Richard seketika membuat mata Aliya terbelalak. Refleks menoleh ke samping. Tepatnya ke arah Richard dan ibunya yang tengah berdiri di depan pintu.

“Kamu … anaknya Mike, bukan?” Entah kenapa Aliya merasa pertanyaan yang dilontarkan oleh ibunya bukanlah sebuah keramahan menyambut tamu jauh. Lebih terdengar seperti sedang marah, atau bahkan mau mengusir.

“Iya, Tante.” Richard bangkit berdiri, lalu menyalim tangan Tiara. “Ngomong-ngomong, siapa yang sakit, Tante?”

Tiara menyipitkan matanya menatap Aliya, lalu beralih pada Richard. “Jadi sebelum ke sini, kalian ketemuan dulu ya?”

Mampus aku. Batin Aliya. Dia cemas sekarang. Sepertinya Tiara mendengar ucapan Richard tadi.

“Ng … i-iya, Tante,” aku Richard. Menganggukkan kepala dengan sopan.

“Ooh.” Tiara manggut-manggut. Tak ada segaris pun senyum tercetak di wajahnya. “Kamu bisa pergi dulu, nggak? Saya mau bicara sesuatu sama Aliya.” Kalimat itu terdengar begitu dingin dan menyeramkan. Tak hanya Aliya, Richard pun merasakan hal yang sama.

“Hm, iya, Tante.” Richard berjalan mundur. “Permisi.”

“Kalau perlu gak usah balik lagi, ya?” Richard pucat pasi mendengar kalimat terakhir Tiara yang dibarengi dengan senyum sinis. Segera tangan wanita itu menarik tangan Aliya entah ke mana. Richard memandangi kepergian mereka dengan hati bertanya-tanya.

***

Tiara membawa anak gadisnya ke lorong rumah sakit yang lebih sepi dibanding tempat sebelumnya. “Kamu pacaran sama dia?” to the point ia. Tanpa memberi kesempatan untuk Aliya menghela napas sejenak.

“Kamu matiin hp gara-gara laki-laki itu? Kamu gak mau diganggu begitu?” tanya Tiara dengan suara yang pelan tetapi penuh penekanan.

Aliya hanya diam dan menundukkan kepalanya. Tidak ingin membenarkan, apalagi menyangkal. Kedua-duanya sama-sama beresiko. Diam mungkin pilihan terbaik untuk mengurangi resikonya.

“Jawab, Aliya!” Nada suara Tiara mulai meninggi. Tangannya mencengkeram erat lengan Aliya yang berdiri tepat di hadapannya.
Aliya merunduk semakin dalam. “Maaf,” lirihnya. Hanya kata itu yang bisa ia lontarkan. Entah bagaimana cara ibunya mengartikan, itu terserah.

“Kamu.” Tangan Tiara turun dari bahu Aliya. Terdengar napasnya berderu kian kencang. “Kamu selalu begitu. Minta maaf aja terus. Setelah itu diulangi, lalu minta maaf lagi. Terus aja begitu. Kapan kamu benernya sih, Aliya?!”

Aliya masih diam. Bukannya ia tidak tersinggung dengan ucapan ibunya. Tentu saja ia tersinggung. Meski bukan pertama kali kalimat yang bernada menyudutkannya itu keluar dari bibir Tiara, dia tetap tidak bisa memungkiri hatinya yang sakit saat mendengar kalimat itu. Dia tahu apa kesalahannya, tetapi dia merasa tidak terima jika dianggap terus melakukan kesalahan. Dan tidak ada pembenaran sekali pun untuk apa yang telah ia lakukan demi ibunda tercinta. Aliya sudah berusaha semampunya, tetapi satu pujian pun tak pernah ia dapatkan dari Tiara.
Seharusnya manusia tidak boleh haus akan pujian. Namun salahkah jika ia berharap dipuji oleh ibunya? Hanya pada satu orang wanita, salahkah? Salahkah jika terus merasa dahaga akan pujian dan tepukan bangga sang ibu di puncak kepalanya?

“Sebenarnya aku anak Bunda atau bukan, sih?” Tak pernah Aliya sangka ia akan seberani itu melafadzkan pertanyaan teramat mengerikan itu.
“Kamu bilang apa?” Tiara mengernyit. Aliya menundukkan kepala. Wanita paruh baya itu pun dapat melihat mata putrinya yang kini ditutupi cairan bening.

“Gak papa, Bun,” geleng Aliya. Berikut senyum palsu tampil di bibirnya. Dia pikir bisa membohongi wanita yang telah membesarkannya selama ini. Padahal tidak sama sekali.

Hening. Aliya menundukkan kepala lagi. Sementara Tiara berpaling muka. Raut wajahnya tampak sedang memikirkan sesuatu. Hingga beberapa detik kemudian, kalimatnya kembali muncul di permukaan lidah. “Mike yang sudah membuat perusahaan Papa bangkrut.”
Bukan main terkejutnya Aliya. Tanpa aba-aba kepalanya kembali tegak. Kedua bola matanya akhirnya bertemu dengan tajamnya sepasang mata milik Tiara. Keduanya saling bersitatap untuk beberapa saat. “Bunda barusan ngomong apa?” tanya Aliya kemudian. Hendak memastikan bahwa pendengarannya benar-benar salah. Rasanya tidak mungkin kalau Mike yang terlihat baik dan senantiasa tersenyum tulus seperti ayahnya itu yang telah mengkhianati sahabatnya sendiri.

“Sebenarnya Bunda gak mau bilang ini, tapi lihat hubungan kamu sama Richard yang semakin jauh, kayaknya Bunda harus cerita.”

“Apa?” desak Aliya.

“Seharusnya Bunda curiga sejak lihat berduaan waktu itu, tapi rasa percaya Bunda sama kamu bikin Bunda gak mau berpikir-pikir macem-macem.”
“Apa Bunda?” Aliya nyaris mengeraskan volume suaranya. Dia sungguh tidak sabar. Rasanya Tiara dari tadi bertele-tele.

Tiara melenguh panjang. Memejamkan mata, hingga kemudian membukanya dan berkata, “Mikelah yang membuat keluarga kita bangkrut. Bunda pikir kamu tahu setelah masuk ke rumah mereka.”

“Gi-gimana mungkin?” gagap Aliya. Dia tidak menyangka fakta seperti ini yang ia dengar. Sedikit pun tak pernah terlintas di benaknya bahwa penyebab kebangkrutan itu adalah orang yang sangat ia percayai bukan pelakunya. Namun bagaimana dengan pertanyaan itu?

“Kamu percaya sama saya?” Pertanyaan itu, apakah ini maksudnya?

Lalu bagaimana dengan perusahaan MK group yang ia lihat waktu itu? Lokasi yang rasanya sama dan bergerak di bidang sama. Inikah alasannya?

“Kamu satu-satunya anak yang tahu rahasia ini. Bahkan semua orang percaya kalau perusahaan itu resmi diserahkan kepada Mike dan bukan paksaan. Selama ini Ayah nyuruh Bunda diam dan mengikhlaskan semuanya. Ayah bilang Mike hanya cemburu, dan kita juga sudah cukup menikmati kekayaan itu. Tapi jujur …,” Suara Tiara berubah serak, “Bunda masih belum terima. Bunda bisa merahasiakan ini dari kalian semua, tapi Bunda gak pernah berhenti minta uang dari Mike. Itulah kenapa selama ini kamu tidak pernah kesusahan membayar uang kuliah. Bunda cuma sengaja mengulur waktunya supaya kamu gak curiga.”
Aliya tercekat. Mematung menatap wajah sang ibu yang kini nyaris basah pipinya. Kedengarannya memang masuk akal. “Tapi kenapa Bunda bisa dengan tenang datang berkunjung ke rumah Om Mike waktu itu?” Masih ada yang berusaha ia pastikan. Ia berharap, ada hal yang tidak masuk akal yang bisa mematahkan fakta itu.

“Lalu Bunda harus bagaimana kalau pesan terakhir Ayah adalah menyuruh berdamai dengannya? Dan, entahlah, Mike selalu berusaha berdamai dengan kita, tapi Bunda tetap gak bisa. Walau dia bilang mau kembalikan semuanya, Bunda tetap gak bisa. Bunda hanya mengambil apa yang paling Bunda butuhkan untuk kita. Selain itu enggak!” tekan Tiara. Air mata sontak luruh menelusuri pipinya. “Jadi waktu Bunda datang ke rumahnya itu hanya berpura-pura. Walau Ayahmu udah gak ada, Bunda merasa dia mengawasi, dan akan kecewa kalau Bunda terang-terangan menunjukkan permusuhan itu.”

Kepura-puraan yang sungguh apik, hingga Aliya tak bisa menemukan sedikit pun celah kebohongan di dalamnya. Tanpa sadar sudut kiri bibirnya terangkat. Membentuk senyuman yang menurut Tiara adalah pertanda ketidaksukaan.

“Tapi sekarang Bunda gak mau berpura-pura lagi. Bunda mau kamu putuskan hubungan dengan keluarga itu. Termasuk dengan Richard!”
Termasuk dengan Richard!
Kepala Aliya terasa pening mendengar titik akhir dari fakta pahit yang dilontarkan sang Bunda. Memang apa salah Richard hingga dia juga harus dijauhi? Bukankah tidak ada orang yang bisa memilih akan menjadi anak siapa. Pun, tidak ada yang bisa mengendalikan orang lain dan tunduk seperti kemauannya. Richard tidak salah apa-apa. Aliya yakin itu.

“Memang kenapa, Bunda?” lirih suara Aliya. Namun masih tertangkap oleh indera pendengaran Tiara.

“Kenapa? Kamu tanya kenapa?”

“Hm,” angguk Aliya. Tatapannya begitu dingin. “Memang apa hubungannya sama sikap Bunda selama ini? Cara Bunda memperlakukanku beda dengan anak-anak Bunda yang lain. Dan, apa itu ada hubungannya sama Om Mike dan keluarganya? Apa karena itu Bunda memperlakukanku seperti anak tiri? Hmm?” Tidak ada sedikit pun nada yang melonjak tinggi dari cara gadis itu berbicara. Begitu santai dan perlahan. Namun sungguh menggores hati Tiara, dan Aliya sadar itu.

“Anak tiri?” beo Tiara. Kembali matanya berkaca-kaca.

“Iya,” angguk Aliya lagi. “Ya, walaupun gak sekejam cerita dongeng. Maafkan anakmu yang tidak tahu diri ini. Seharusnya Aliya gak boleh berpikiran seperti itu.” Gadis itu mengayunkan langkahnya. Sambil menunduk lemah, dia berlalu meninggalkan sang ibu yang terdiam seribu bahasa.

***
Richard merasa tidak benar jika menguping pembicaraan orang yang terang-terangan mengusirnya agar tidak mendengar apa pun. Namun ia juga tidak tahan harus berdiam diri sementara menunggu Aliya kembali. Pria itu begitu ingin tahu apa yang akan terjadi pada gadis yang ia cintai. Tatapan Tiara tidak ada sedikit pun keramahan, dia jadi takut kalau Aliya yang menjadi pelampiasan kemarahan yang harusnya tertuju padanya.

“Maafin aku, Mentari.” Pria itu akhirnya lanjut mengikuti langkah kedua wanita yang berjalan semakin jauh meninggalkannya. Dahinya sontak mengkerut saat melihat tempat Aliya dibawa adalah lorong yang sepi dan memiliki pencahayaan yang redup. Penting sekali sepertinya sampai harus berbicara jauh dari keramaian seperti ini. Pria itu lalu menajamkan pendengarannya. Roman wajahnya cukup terkejut kala mengetahui betapa tidak suka Tiara kepadanya. Namun jauh lebih terkejut ketika mengetahui apa alasannya.

“Mike yang sudah membuat perusahaan Papa bangkrut.” Kenyataan yang ia dengar itu ibarat batu besar yang mendadak jatuh ke kepalanya. Tubuhnya hampir limbung. Bahkan jantungnya lagi-lagi berdenyut nyeri. Berdetak sangat cepat hingga membuat tangan dan bibirnya bergetar, serta sendi kaki terasa melemah. Dan setelah itu, fakta demi fakta yang meluncur bebas dari bibir Tiara berhasil menumbangkannya. Pria itu tak lagi mampu untuk sekadar berdiri tegak dalam waktu satu detik saja. Satu tanganya meremas dada dengan sangat kuat. Sementara satu tangannya yang lain meraba-raba mencari pegangan. Tak jauh dari tempatnya ada dua buah kursi kosong. Dia hanya mampu meraih kaki kursi itu. Perlahan bangkit. Lalu berjalan gontai meninggalkan dua wanita yang ia yakin masih mendebatkan ia dan keluarganya.

“Tapi sekarang Bunda gak mau berpura-pura lagi. Bunda mau kamu putuskan hubungan dengan keluarga itu. Termasuk dengan Richard!” Kalimat terakhir yang ia dengar masih berdengung mengikuti setiap langkah kakinya. Membuat dadanya semakin sakit. Bagai ada peluru yang baru saja menembus jantungnya.
Entah untuk yang ke berapa kalinya, pemuda itu merasa sekarat. Benar-benar sekarat.

Brukkk.

Pandangannya mulai menggelap. Pria itu berharap Aliya tidak pernah melihat apa yang terjadi padanya sekarang. Aliya tidak boleh tahu betapa egoisnya ia selama ini.

“Dokter, tolong, temen saya pingsan!!!” samar Richard mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Setelah itu semuanya gelap. Benar-benar gelap.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang