30. Tampan

26 5 2
                                    


Ketika cerita lama kembali muncul di permukaan. Kenangan masa kecil yang indah. Sosok ayah yang hangat. "Sebelum diobati kamu harus ketawa dulu biar lupa sama rasa sakitnya. Jangan nangis ya sayang. Ayo kita ke dalam. Ayah obati." Kalimat yang pernah diucapkan saat dulu Aliya jatuh dari sepeda. Kelewat semangat karena baru pandai mengendarainya. Berujung diomeli ibunda. Ayahnya membela. Kenangan itu, ketika hadir, entah kenapa Aliya tidak dapat menahan diri untuk tidak menangis. Ia merasa begitu cengeng jikalau sudah menyangkut urusan kenangan. Tentang perginya sosok tercinta tanpa bisa kembali, memangnya siapa yang tidak sedih?

Kamu harus tertawa biar lupa sama rasa sakitnya. Kalimat bernada sama malah didengarnya lagi. Kali ini dari bibir Richard. Pria itu ibarat bensin. Menjadi pemicu bekobarnya api. Bekobarnya rindu dalam benak. Lagi lagi dia menangis.

Richard panik. "Kamu kenapa? Sakit banget ya? Aku tiup lagi ya." Ia pun meniup telapak tangan Aliya dengan cepat. Bukannya berhenti menangis, Air mata Aliya malah semakin menderas disertai dengan sedu sedan yang membuat Richard kebingungan setengah mati.

"Duh, kok makin nangis sih ..."

"..."

"Aku panggil sayang lagi mau? Biar ketawa."

Tidak ada jawaban. Apalagi suara tawa. Gadis itu justru menepiskan tangan Richard lalu duduk meringkuk. Memeluk lutut. Membenamkan wajahnya. Bahu berguncang.

Richard tahu Aliya masih menangis. Menghela napas. Sadar bahwa leluconnya tadi tidak memperngaruhi Aliya sedikit pun. "Kamu kenapa? Kalau sakit banget kita ke rumah sakit ya? Aku khawatir nih."

Masih tak ada jawaban. Beberapa detik berlalu, Aliya akhirnya mengangkat wajah. Menatap Richard dengan keadaan di mana mata dan pipinya telah basah oleh air mata. Richard menyorot sedih. Sungguh ia tidak senang melihat air mata menghiasi wajah pias wanita pujaannya itu.

"Alang?" panggil Aliya parau.
Richard mengernyit. "Ya?"

"Lo tadi megang tangan gue, apa gue bakal hamil sebentar lagi?"

"Uhuk." Kaget Richard dengan pertanyaan yang sama sekali tidak ia duga. "Kamu nangis gara-gara ini?"  Pipinya gelembung menahan tawa. Aliya sudah tak menangis lagi sekarang. Hanya saja ekspresi wajahnya terlihat masih menyimpan kesedihan.

"Aku gak nangis kok."

Richard terkekeh pelan. Berusaha untuk tidak melepaskan tawa sepenuhnya. "Terus apa dong?"

"Cuma air mata yang jatuh membasahi pipi."

Richard membuang napas. Berharap keinginan untuk mentertawakan kepolosan Aliya ikut terbuang. "Kamu beneran sepolos itu?"

"Benerlah. Aku memang masih polos, imut-imut, baik hati, tidak sombong, rajin menabung, cinta alam dan kasih sayang sesama manusia ⸻"

"Stop!"

"Kau mencuri hatiku," sahut Aliya, menyanyikan lagu DP dengan nada datar dan ekspresi longor andalannya.

Richard bangkit berdiri. Berbalik badan. Membelakangi Aliya. Membuka mulutnya lebar. Meregangkan rahangnya yang terasa mengeras karena terus-terusan menahan gelak tawa. Namun tak berani pula ia tertawa. Takut gadisnya tersinggung. Biarlah tersenyum saja.

"Alang?" panggil Aliya seraya mengusap air mata dengan sapu tangan yang diambil dari saku celananya. Setelah itu, ia kembali menyimpan sapu tangan itu di saku celananya.

Richard berbalik badan. Berjongkok di depan Aliya. "Hm?"

"Lo sakit apa?"

Richard terhenyak. Wajahnya sontak berubah pucat. Namun beberapa detik kemudian senyum kembali berkibar di wajahnya. “Gak papa kok. Gue gak sakit,” jawabnya tenang.

Aliya memicingkan matanya. "Terus kok minum obat?"

Richard diam. Berpikir sejenak. Menghela napas lalu mengatakan, "Aku sakit ...."

Aliya mengangkat alis. Menunggu jawaban dari Richard yang tampak ragu mengutarakannya.

"Cuma sesak napas aja kok," pungkas Richard berikut dengan sebuah cengiran.

"Ooh." Aliya manggut-manggut. "Kenapa gak bilang dari tadi? Kalau gitu lo gak usah lari. Kita jalan santai aja ya?"

Richard mengedipkan mata sekali. "Oke."

Aliya beranjak bangkit. Richard membantunya. Saling berpegangan tangan. "Ada yang luka lagi gak selain tangan?" tanya Richard.

"Kayaknya enggak ada. Cuma kaki gue aja yang berasa sakit," jawab Aliya sembari membungkukkan badan hendak memijat kaki kirinya. Namun tiba-tiba ia mengaduh kesakitan, mengibaskan tangan kirinya. "Aduh, gue lupa."

Richard dengan sigap menekuk lututnya dan berkata, "Biar aku aja," mendongak menatap Aliya yang sedikit terkejut melihat reaksinya. "Mana yang sakit?" tanyanya lembut.

"Ee itu di bawah lutut."

"Di sini?" Richard menyentuh tepat di bawah lutut Aliya.

"Hmm ke bawah lagi sedikit. Tapi lo beneran mau mijitin gue? Gak usah deh. Gak papa kok. Cuma sakit sedikit."

Richard menurunkan posisi tangannya. "Di sini?"

"Iya. Eh, tapi gak usah," tolak Aliya lagi. Namun Richard tetap bersikukuh. Ia memijat pelan bagian kaki yang terasa sakit bagi Aliya.

Aliya tak dapat berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa tersenyum senang melihat betapa perhatiannya sang pujaan hati.

***

Setelah puas berolahraga, mengisi perut dan bersenang-senang, Richard dan Aliya pun memilih untuk pulang. Menjauh dari keramaian area Jl. M.H. Thamrin. Di atas sepeda berdua. Bercengkerama tentang kebahagiaan yang sudah mereka lewatkan beberapa waktu yang lalu. Walau kebahagiaan itu masih terhitung hingga di detik ini.

Pagi yang indah bagi dua sejoli yang tengah dimabuk asmara itu. Meski langit tak lagi cerah. Cuaca berubah padam. Sepertinya tebakan Aliya tidak tepat kali ini. Langit seakan hendak memberi kejutan. Entahlah. Terkadang mendung tak berarti hujan akan turun. Bisa jadi hanya gelap saja. Tanpa menjatuhkan setitik air, lalu sekonyong-konyong langit kembali benderang.

Perjalanan mereka sudah cukup jauh meninggalkan lokasi CFD. Aliya mengutarakan kecemasan terhadap Richard yang sepanjang jalan mengayuh sepeda, bahkan sesekali kencang. Namun pria itu dengan tenang meyakinkan, “Kalau capek tinggal istirahat.”

“Kalau capek, kita gantian,” sanggah Aliya. Nyengir.

“Mana bisa. Tangan kamu kan masih sakit.” Aliya kontan mengatup mulutnya rapat. Melirik kedua tangannya yang kini dibalut perban. Tadi mereka sempat mengunjungi klinik.

Sesaat membisu. Agaknya lelah terlalu banyak berbicara sejak tadi.

"Oh ya.” Aliya membuka obrolan lagi. “Tadi gue ngelihat di Ig, ada info kajian di Masjid Al-Falah lusa temanya tentang Cukup Allah bagimu, judulnya: Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Ikutan yuk?"

Richard terhenyak. Matanya melebar beberapa saat. "Emang aku boleh ikut ya?" tanyanya kemudian.

"Boleh dong. Kenapa enggak?"

Richard berpikir. Terdiam cukup lama.

"Lang? Gimana?"

"..."

"Alang?"

"Eh. Iya."

"Kok diam?"

"Lagi mikir."

"Gak mau ikutan ya?"

Richard menarik napas berat. "Aku ingin masuk Islam karena keinginanku sendiri bukan karena kamu atau apapun itu. Aku mau melakukan itu dengan ikhlas tanpa merasa terpaksa."

"Aku gak pernah maksa Lang. Aku cuma mau menunjukkan jalan untuk kamu sampai ke sana. Dan ini adalah salah satu jalannya. Satu lagi, kamu harus tau, kalau hubungan kita gak akan berlanjut kalau masih beda keyakinan."

Richard merasa jantungnya ngilu saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Aliya. Gadis itu tak melihat perubahan wajahnya yang tadi riang menjadi suram. Richard pun memilih menyembunyikan gundahnya dengan tertawa kecil. "Iya, aku mau ikut kok. Aku kan gak nolak tadi. Aku cuma mau menyampaikan sesuatu yang harus kusampaikan sama kamu."

Aliya menghela lega. "Syukurlah kalau kamu mau."

"Iya."

Kembali sama-sama terdiam. Hingga kemudian Richard menagih janji Aliya untuk menceritakan sesuatu.

"Cerita apa ya?" Aliya mengerling. Tampaknya lupa.

"Tadi waktu aku jemput kamu terus kamu bilang lagi kesel,” perjelas Richard. “Kenapa?"

"Ooh itu. Gak papa. Masalah sedikit kok."

"Iya, apa?"

"Soal Mira. Tiba-tiba dia jadi pendiam banget. Dia tadi salat Subuh di awal waktu tapi gak bangunin aku, gak biasanya gitu. Aku tanyain ada apa tapi dia gak jawab apa pun."

"Hmm, begitu. Udah, beri dia waktu. Nanti pasti cerita juga. Kamu sahabatnya kan?"

"He'eh. Dia memang gak begitu terbuka sih orangnya."

"Seperti aku?"

"Hm. Maybe." Setelah itu, mereka tidak lagi bercakap-cakap. Membiarkan desau angin, dan deru kendaraan membising di telinga mereka. Pun sibuk dengan pikiran masing-masing. Begitu pula mata. Sibuk melihat jalanan di sekitar mereka. Sadar atau tidak, sesekali mereka tersenyum, melayangkan ingatan pada beberapa detik yang lalu. Saat-saat yang tak kalah menyenangkan dengan saat di mana mereka bisa menyusuri jalan di atas sepeda yang sama.

Beberapa waktu berlalu. Sepeda yang dikayuh Richard tak lama lagi tiba di kos Aliya.

Merasakan dingin menyergap kulit, Aliya pun mengeluhkan cuaca yang mendadak gelap. Membuka pembicaraan baru. Memandang hamparan langit. Sinar matahari sempurna terhalang gumpalan awan hitam yang bergulung-gulung. Angin kencang. Benar-benar pertanda hujan akan segera datang.

Richard tertawa kecil. "Kasian. Gak pake jaket sih." Jawaban yang tidak ingin didengar oleh Aliya. Gadis itu manyun. Menggerutu dalam hati. Gak peka. Itu kan kode supaya dia mau ngasi jaketnya untuk gue. Biar romantis kayak di tivi tivi.

"Gak usah ngarep aku bakal minjemin jaket ya," tegur Richard seakan mengetahui apa yang ada dalam pikiran Aliya.

Aliya melotot. Meringis. "GR," katanya ketus. "Sebentar lagi juga mau nyampe rumah, jadi ngapain juga pinjem jaket lo."

Richard tersenyum. "Kalau aku pinjemin jaket ke kamu, nanti aku sakit, kalau aku sakit gak ada yang jagain kamu."

Mendengar itu, Aliya pun tertawa renyah. "Kamu mau gombal lagi ya?"

"Enggak kok."

Aliya geleng-geleng kepala. Terserah. Dia tak dapat berkata-kata lagi. Merekah senyum cantiknya. "Lang?" panggilnya beberapa saat kemudian.

"Ya?"

"Gue pengen denger lo nyanyi lagi. Boleh?"

"Kok pake lo-gue lagi sih? Tadi kan udah aku-kamu," protes Richard.

Aliya mengerutkan kening. "Iya ya? Gak sadar. Udahlah lupakan. Mau lo-gue kek, aku-kamu kek, tetap aja gak mempengaruhi rasa sayang aku ke kamu."

"Bwahahaha." Gantian Richard tertawa lepas.

"Lah kok ketawa? Perasaan gak lucu."

"Lucu denger cewek gombalin cowok. Apalagi kalau cewek itu bernama Aliya. Aneh. Hahaha."

Aliya berdecak kesal, "Lo kan cowok gue. Apa anehnya.” Mengkerucutkan bibir.

"Iya deh iya," pasrah Richard.

"Ya udah cepetan nyanyi," desak Aliya.

"Harus ya?"

"Iya wajib. Sebagai lagu pengiring perjalanan Tuan Puteri yang akan segera tiba di istananya." Dengan semangat Aliya mengangkat tangan kanan yang sengaja dikepal.

Richard terkekeh. "Baik Tuan Puteri." Sesaat kemudian Richard berdehem. Kemudia bernyanyi, "Cantik⸻"

"Eh stop! Nyanyi yang lain dong," protes Aliya cepat.

"Gak bisa."

"Kenapa?"

"Karena aku cuma hapal lagu satu itu."

"Sumpe lu?"

"Sumpe gue, Sayang."

"Iish."

"Kamu aja yang nyanyi gimana?"

"Hmm." Aliya memutar bola matanya. Sejenak berpikir. "Oke, aku punya sebuah lagu. Ciptaan sendiri!" serunya, menggebu.

"Oh ya?" Richard antusias. "Mau denger."

"Ehem ehem." Aliya menarik napas lalu mulai bernyanyi. "Tampan ...." Sebenarnya itu bukan lagi ciptaan Aliya. Richard pun tau karena nada yang dinyanyikan oleh Aliya persis seperti lagu Kahitna-Cantik. Barangkali Aliya hanya mengubah liriknya. Entah bagaimana jadinya, Richard penasaran. Lagipula suara Aliya lumayan juga.

"Sikapmu sungguh menawan .... Membuatku melupakan ... keresahan .... Oo tampan ... bukan kuingin mengganggumu ... tapi apa arti merindu ... selalu ...."

Richard tersenyum lebar. Dalam hati merasa tertawa. Begitu senang mendengar nyanyian Aliya apalagi saat gadis itu mengucapkan kata tampan. Duh, gembiranya bukan main. Mungkin setelah tiba di rumah nanti dia akan loncat-loncat di atas ranjang. Atau kalau bisa meminjam sayap burung untuk dapat terbang ke langit ke tujuh. Ah, yang terakhir mustahil.

"Walau mentari terbit di utara ...." Sejak bait itu Richard ikut bernyanyi dan mereka pun kembali bernyanyi bersama dengan riangnya.

hatiku hanya untukmu

Ada hati yang termanis dan penuh cinta …

Tentu saja kan kubalas dengan seisi jiwa

Tiada lagi tiada lagi yang ganggu kita

Ini kesungguhan …

"Sungguh aku sayang Mentari ...."

"Sungguh aku sayang Alang ...."

Senyum dan tawa menjadi penyempurna lagu yang mereka nyanyikan bersama.

Seumur hidup aku tak pernah sebahagia ini. Sejak awal aku sudah memandang layaknya mentari, seperti namanya. Sekarang sudah terbukti. Dia sungguh mentari yang menghangatkan dan menerangi jiwa yang terlalu lama bersembunyi dalam kegelapan dan kesendirian yang menyakitkan. Selama ini aku terus mengeluhkan hidupku hingga merasa tak ingin hidup. Namun kini aku memiliki alasan untuk tidak mengeluh dan tiba-tiba untuk pertama kalinya setelah masa menyakitkan itu, aku ingin hidup. Ya aku ingin hidup bersama gadis yang membuatku menemukan alasan untukku hidup. Serta alasan untuk bahagia. Tuhan, jika kau benar ada, bisakah aku memohon untuk tidak kehilangannya? Atau jangan buat dia kehilanganku.

***

Makasih udah baca. Jangan lupa voment ;)

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang