33. Teman Kecil

33 1 2
                                    

Richard berdiri di depan pintu. Sementara jemarinya sibuk memasukkan password untuk membuka pintu tersebut. Beberapa saat kemudian ia pun berhasil membukanya.

"AAA," tiba-tiba seorang laki-laki berteriak, sembari menutup dadanya yang telanjang.

Richard mengusap telinga. Meringis dan menatap sinis ke arah lelaki yang tengah berdiri di depan pintu kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk saja.

"Richard lo bikin gue kaget aja. Kirain siapa," tangannya yang masih menempel di dada kini bergerak turun. "Kok lo bisa di sini sih?" tanya Eko. Laki-laki pemilik apartement.

"Karena gak di sana," jawab Richard datar. Setelah melepaskan sepatu dan meletakkan di rak, ia pun berjalan mendekati sofa bed yang terletak tepat di depan Tv dan lantas duduk di sana. "Kok lo baru mandi jam segini? Pulang dari kampus ke mana lo?"

"Tadi gue ketemu sama kawan gue waktu SMP jadi ngobrol ngalor kidul dulu. Tumben lo nanya nanya. Mulai perhatian sekarang ya."

Richard mencebik. "GR!" ketusnya.

"Hmm, mau tidur di sini lagi lo?" tanya Eko seraya mencari pakaian dalam lemari.

"Iya. Kenapa memang? Gak suka?" sinis Richard.

"Bukannya gak suka.Tapi lo udah terlalu sering tidur di sini, emangnya lo gak kasihan sama bokap lo? Ditinggal mulu."

Richard menyandarkan tubuhnya di sofa bed. Menghela napas berat dan melipat tangan di dada. "Kalau gue tidur di rumah pun, bukannya gue tidur di ketiak bokap gue juga kan? Jadi buat apa tidur di rumah."

"Ya, setidaknya lo bisa ngobrol apa aja gitu."

Memejamkan mata, Richard mengatakan, "Bagi gue, rumah itu tak selalu berarti rumah sungguhan. Tapi tentang kepada siapa gue pulang. Dan rumah gue adalah Reina. Kalau Reina gak ada, berarti gue gak punya rumah."

Setelah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek selutut, Eko pun duduk di samping Richard. "Gue lihat lo banyak berubah semenjak sama Aliya. Gue ikut seneng. Apalagi waktu lo bilang punya rencana untuk masuk Islam. Tapi, saran gue nih ya, sebelum lo melakukan berbagai macam perubahan yang lebih baik, lo harus perbaiki dulu hubungan lo sama orang tua lo. Walau bagaimana pun, mereka lah yang menyebabkan lo terlahir ke dunia ini."

Richard terhenyak. Sekelebat bayangan wajah ayahnya melintas dalam pikiran. "UAS tanggal berapa ya?"

Eko meringis. Sebal dengan tingkah laku Richard yang tampak sengaja mengalihkan pembicaraan. "Senin depan," jawab Eko kemudian.

"Ooh," sahut Richard. Perlahan membuka mata, lalu mengambil remot Tv yang tergeletak di atas meja. Namun perhatiannya teralihkan saat melihat sebuah buku tebal yang berada di bawah remot tersebut.

"Kisah dua puluh lima Nabi dan Rasul, gumamnya. Lo punya buku kayak gini juga?"

"Kayak gini gimana maksud lo?" tanya Eko, sedikit ketus.

"Ya, buku yang berbau agama maksud gue." Richard kembali meletakkan remot yang ia pegang, memilih untuk membuka buku tersebut.

"Perasaan semua buku berbau kertas," kekeh Eko.

"Gue serius."

"Iya iya," tukas Eko. Ada. "Masih banyak tuh di rak gue. Mau lihat lo? Lo selama ini belum pernah lihat rak gue kan?"

Richard mengangguk menanggapi pertanyaan Eko. Sementara matanya sibuk memperhatikan lembar demi lembar buku milik sahabatnya itu. "Buku yang lo koleksi nilainya plus. Tapi kenapa kelakuan lo minus ya," cibirnya.

Eko menghela napas. "Gue memang gak sesempurna Nabi dan Rasul atau tokoh-tokoh agama Islam lainnya, tapi paling tidak gue mau berusaha jadi lebih baik. Salah satu caranya itu ya dengan baca buku-buku bernuansa Islami."

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Where stories live. Discover now