34. Awal yang Baru

27 2 0
                                    

Jam dinding menunjukkan hampir jam sebelas malam. Obrolan mereka belum usai sejak empat jam yang lalu. Lantas, Richard pun menyudahi pembicaraan itu. Rasanya sudah terlalu lama dia berbicara, tidak seperti biasanya.

"Gue mau tidur di rumah deh," putus Richard kemudian.

Eko mengangguk paham. "Ya udah kalau gitu. Hati-hati ya."

Richard pun akhirnya meninggalkan apartmen yang ditinggali oleh sahabatnya itu.

***

Richard sudah tiba di rumah. Keadaan rumah temaram. Hanya lampu luar saja yang menyala terang. Dari pintu gerbang, Richard disambut oleh satpam yang memang bertugas dua puluh empat jam menjaga rumah. Sementara saat ia menginjakkan kaki ke dalam rumah, tak ada siapapun yang menyambutnya.

Menghela napas, Richard berusaha membuang rasa sesak yang tiba-tiba menyelinap masuk dalam benaknya. Mencoba mengusir sunyi yang seolah memborgol jiwa. Sementara itu kakinya terus melangkah. Ingin segera menemui Papanya. Begitulah. Memang ini tujuan utama Richard pulang. Tampaknya lelaki itu sudah termakan nasihat Eko. Yah, baguslah. Setidaknya, dia masih menyimpan rasa peduli meski sedikit saja.

Richard memilih masuk ke dalam ruang kerja Mike. Seingatnya, Papanya biasa menghabiskan malam di ruang kerja. Menyelesaikan pekerjaan, baik dari kampus ataupun perusahaan lainnya.

Benar. Richard menemukan Papanya di ruang kerja itu. Tapi sudah terlelap di atas meja. Pelan-pelan Richard berjalan menghampirinya. Berniat untuk membangunkan dan meminta Mike tidur di tempat yang lebih nyaman.

Sebelum membangunkan, Richard memandangi wajah Papanya itu. Mike yang tertidur pulas dengan tangan sebagai bantalnya. Richard menatap lebih dekat. Sudah lama sekali tidak memandangi Papanya sedekat itu. Kini ia dapat melihat jelas kerutan serta gurat lelah yang tersirat di wajah Papanya. Menghela berat, hatinya terenyuh. Tersadar bahwa orang tuanya yang satu itu sudah mulai menua, sementara hubungan mereka belum baik-baik saja.

Kini tatapan Richard beralih pada sebuah kertas foto yang berada di bawah tangan Mike. Penasaran, ia pun mengambil kertas tersebut. Menariknya dengan hati-hati. Matanya sontak membesar begitu melihat seseorang yang ada di foto itu. Keningnya berkerut bingung.

"Kenapa malah foto Mentari?" Batinnya bertanya-tanya.

***

Celana jeans dan kemeja panjang, adalah dua hal yang seolah sudah begitu melekat dalam diri Aliya. Sehingga, orang-orang di sekitarnya hapal betul dengan penampilannya. Jadi, jika ada yang berbeda sedikit saja, mereka tentulah menyadarinya. Apalagi jika perbedaan itu mencolok seperti saat ini. Gadis itu akhirnya mengenakan hijab. Pakaian yang memang seharusnya dikenakan oleh wanita yang mengaku dirinya muslimah.

Aliya berjalan dengan langkah yang ringan menyusuri koridor kampus. Melemparkan senyum lebar pada siapapun yang tengah memandanginya. Menampakkan gigi ginsul yang menambah manis parasnya. Terlihat begitu percaya diri. Seakan-akan melakukan perubahan bukanlah masalah bagi gadis itu. Walaupun sesungguhnya ia merasa gugup juga. Ada perasaan sedikit malu karena telah menjadi pusat perhatian saat itu.

"Aliya?" panggil seseorang dari belakang. Aliya lalu menoleh. Bibirnya seketika menuai senyum saat mengetahui siapa yang memanggil namanya. Berjalan menghampirinya.

"Alang," gumam Aliya.

Kedua sejoli itupun saling bertatapan dan melempar senyum.

Melihat wajah Aliya, membuat Richard mengingat foto yang digenggam oleh Papanya semalam. Sesaat, timbul keinginan untuk bertanya namun segera diurungkan. Toh, situasi yang terjadi adalah Mike melihat foto Aliya, bukan sebaliknya.

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Where stories live. Discover now