25. Dilema

48 5 1
                                    

Senyum di bibir Richard lantas padam begitu tiba di rumah. Padahal tadi sedang rekah-rekahnya. Kini, baru membuka pintu saja, senyumnya sudah menghilang tak berbekas. Muram.

Pelan-pelan ia berjalan. Menyapukan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Berharap ada sosok gadis pendek yang tengah berdiri menatapnya tajam dengan bibir yang mencebik dan mulut yang pedas akan cacian. Atau sosok yang duduk di kursi roda, menatapnya tajam dalam bungkam, hingga Richard bertanya, "Lupa caranya ngomong?"

Sering. Setiap malam, dan lebih sering lagi ketika Reina mengalami kelumpuhan. Setiap Richard pulang entah dari mana pun itu, Reina seakan tak pernah luput dari pandangannya. Seperti memang sengaja menungguinya walaupun sekadar untuk melempar caci atau ledekan. Namun Richard tidak pernah marah. Cacian yang dilemparkan oleh Reina tak pernah mengurangi rasa cintanya sedikit pun.

Setiap cerca yang keluar dari mulut adiknya, hanya ditanggapi dengan senyuman dan geleng-geleng kepala. Kadang kala ia menyempatkan diri menasihati Reina. "Jadi cewek itu harus lembut.” Sebuah kalimat andalan Richard yang terekam paling kuat di memori Reina, sampai sampai, ketika mulut Richard terbuka untuk mulai berceramah, kalimat itu langsung disambar oleh Reina dengan gaya mencibir.

Richard mengembuskan napas berat. Kerinduan membuat dadanya terasa sesak.

Langkahnya terhenti tepat di kamar Reina yang sudah tidak lagi berpenghuni. Richard membuka pintu kamarnya dengan kunci yang saat ini menjadi haknya untuk menyimpannya.

Keheningan menyambutnya bersama rindu yang semakin lama terasa berat. Memandangi ruang kamar bernuansa cream milik adik yang telah berpulang tanpa pernah kembali barang sejenak.

Biasanya, setiap malam sebelum tidur, Richard selalu datang ke kamar Reina yang anehnya selalu tidak dikunci.

Biasanya, Richard mendapatkan pelotototan Reina ketika ia belum tidur.

"Are you snoop?!" tudingan itu yang keluar sesuka hati dari bibir mungil gadis itu. Richard pun bergegas menutup pintu lalu kembali lagi. Memberikan kecupan hangat di kening ketika mendapati Reina yang sudah terlelap. Rutinitas itu seperti menjadi kewajibannya semenjak Mama mereka meninggal.

"Kakak rindu kamu Rein ...," lirihnya tertahan. Embun yang sedari tadi menggantung di pelupuk mata pecah seketika. Kerinduan membuat air matanya terjun bebas menjejaki pipi.

"Ah." Richard segera menghapus air matanya. Mencoba tegar. Ia pun melangkah masuk ke kamar Reina dan duduk di spring bed yang biasa menjadi tempat peraduan sang adik. Matanya menatap kosong ke arah bantal yang biasanya digunakan Reina untuk tidur, yang mana ada wajah yang senantiasa ia kecup sebelum ia terlelap.

   Seandainya saja waktu dapat diputar kembali ....

Ah, tidak ada gunanya juga menyesali.

Lagi lagi Richard mengembuskan napas berat. Ia lalu mengeluarkan Hp dari dalam saku celananya lalu mencari sebuah nama di kontak dan menelponnya.

Tak butuh waktu yang lama, panggilannya terjawab.

"Halo?" terdengar suara gadisnya menyapa.

Richard tersenyum getir. Bibirnya bergetar menahan air mata yang kembali ingin tumpah.

"Mentari?" pelan suaranya memanggil.

"Hmm?"

"Aku rindu ...." Suara yang tercekat. Serak. Runtuh pertahanannya. Air mata itu jatuh lagi. Menetes satu persatu.

"Gu ... gue rindu Reina ...."

Terdengar helaan napas dari Aliya. "Jangan ditahan Richard. Kalau mau nangis keluarin aja. Gue gak bakal ngejek lo cengeng kok."

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Where stories live. Discover now