36. Kenyataan macam apa ini?

34 2 0
                                    

Mike memeriksa tote bag sebelum dibawa oleh ajudannya untuk diletakkan ke dalam bagasi mobil. Ia memastikan terlebih dahulu jika benda yang dibutuhkannya tidak terlewatkan.

"Ada Om?" tanya seorang gadis yang tak lain tak bukan adalah Aliya.

"Oh, ada kok," jawab Mike setelah menemukan benda yang dicarinya. Bibirnya mengulas senyum, ramah seperti biasa.

"Syukurlah kalau gitu," ujar Aliya, mendesah lega.

Mike menyerahkan kembali semua tote bag kepada dua orang ajudannya. Kedua pria berpostur tinggi tegap itu pun lantas mengambil dan bergegas menunaikan perintah sang majikan.

"Makasih ya Aliya, udah mau bantuin Om," ucap Mike, lagi lagi menyunggingkan senyum.

Aliya mengangguk dan tersenyum unjuk gigi. "Sama-sama Om," balasnya.

"Ya udah kalau gitu, kita makan dulu ya?"

"Wah, saya gak bawa uang Om. Pas-pasan untuk ongkos naik bus nanti," tolak Aliya dengan lembut.

Seketika Mike tertawa renyah. "Kamu ini, gak usah sungkan sungkan sama Om. Kan Oom yang ajak kamu ke sini. Jadi, semuanya Oom yang bayar. Tenang aja," tutur Mike. "Kalau perlu kamu boleh belanja apa aja yang kamu mau," tambahnya lagi. Tanpa menunggu jawaban Aliya, ia pun melangkah pergi. Diam diam melepaskan tawanya. Ada secercah sinar di kedua bola matanya. Hanya dia dan Tuhan yang tau, bahwa hari itu adalah hari yang menyenangkan setelah sekian lama berteman dengan kepedihan.

Sementara itu, Aliya tidak ada pilihan selain mengikuti langkah kaki Mike. Sangat tidak sopan jika ia meninggalkan calon mertua tanpa izin.

***

"Gimana? Enak?" tanya Mike pada Aliya. Yang ditanya langsung mengangguk tanpa kata.

"Kelihatan sih. Itu makanannya udah habis," kekeh Mike. Melirik piring bekas gadis itu makan.

Aliya tersenyum lebar. "Udah lama banget Aliya gak makan di Mall mewah begini, soalnya harus ngirit uang Om. Tapi berkat Oom Aliya jadi ngerasain lagi makan di sini. Makasih ya Om."

Mike tersenyum. "Memang apa bedanya makan di Mall atau di tempat lain yang biasa kamu kunjungi di masa masa sekarang?"

"Bedanya" Aliya menggantung kalimatnya. Lanjut mengenang kisah yang sudah memutar di kepalanya sejak mereka tiba di restoran. "Bedanya, Aliya bisa merasakan kebahagiaan yang dulu pernah Aliya rasakan saat bersama keluarga. Apalagi Mall ini. Dulu Ayah...." Bibirnya melengkungkan senyum. Tak lagi melanjutkan kata-kata. Sudah cukup lama ia membendung air mata. Jika kisahnya dilanjutkan, maka air mata itu tak akan sungkan menganak sungai.

Tanpa Aliya sadar, Mike menatapnya dengan seksama. Gadis itu pun tak sadar, bola matanya sudah penuh dengan gumpalan bening yang siap pecah dalam waktu sekian detik.

"Kamu masih mau temenin Oom belanja nggak?" Pertanyaan itu sontak membuat Aliya sadar dengan kebisuannya. Lekas ia mendongak, menyimpan kembali air matanya.

"Oke Om," jawab Aliya seraya tersenyum. Mike pun balas tersenyum seraya menyorot dalam mata Aliya. Rasanya, ia melihat dirinya dalam diri gadis di hadapannya itu. Aliya yang tersenyum untuk menutupi kesedihan, persis seperti dirinya.

***

Malam sudah menunjukkan pukul sebelas. Bagi Richard, itu masih terlalu sore untuk tidur. Namun bagi Eko tidak. Sejak jam sepuluh tadi, Eko sudah tertidur dengan pulas di peraduannya. Membiarkan sahabatnya menyendiri dalam kegamangan.

Richard berbaring di dekat balkon. Kepalanya sedikit miring. Sengaja. Agar lebih mudah menatap langit. Dalam hatinya ia bercerita tentang apa yang sudah menganggu ketenangannya malam ini. Cerita yang ditujukannya pada langit maupun bintang yang bertaburan begitu banyak malam ini.

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora