29. CFD

37 4 4
                                    


Ruangan sejuta rahasia. Ruangan yang mungkin menjadi tempat favorit pria bernama lengkap Richard Zanquen De Angelo. Di tempat inilah Aliya merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelum-sebelumnya. Berduaan dalam ruangan sebenarnya bukanlah hal benar. Namun Richard berhasil membuat Aliya tak beranjak pergi. Lebih parahnya membuat gadis itu kesulitan bernapas. Bagaimana tidak, jika pria itu tiba-tiba meraih tangannya dan membiarkan gadis itu merasakan detak jantungnya.

Terkesiap. Aliya kontan mengangkat wajah. Menatap Richard penuh tanda tanya.

"Ka-mu mau ngapain?"

Richard diam. Hanya menyunggingkan senyum dan menyorot dalam mata Aliya.

"Ini bukti kalau aku punya jantung dan punya perasaan untuk kamu," jelas Richard kemudian. Menurunkan tangan yang tadinya memegang pergelangan tangan Aliya.

Aliya mengerti. Tangannya yang mengepal kini diregangkan. Matanya menatap lurus pada tangan yang sudah melekat tepat di dada kiri Richard. Terus merasakan getaran jantung pria itu. Debaran yang entah kenapa membuat rasa hangat mengaliri setiap pembuluh darahnya. Senyum membungkus wajah ayunya. Pendar bahagia menyala di kedua bola matanya. “Ternyata lo punya jantung. Syukurlah ternyata lo manusia,” celetuk gadis yang kini sangat enggan jauh-jauh dari Richard.

Richard mengernyit. "Memang selama ini kamu pikir aku apa?" Terkekeh.

"Malaikat," jawab Aliya. Mencetak senyum di bibir pria itu. Beberapa detik kemudian, Aliya menurunkan tangannya. Berganti menatap wajah Richard dengan saksama.

Richard sedikit merundukkan wajah⸻memandang Aliya. “Kenapa lihatinnya gitu?”

"Jantung lo kenceng banget gitu tapi kok muka lo biasa aja sih?" heran Aliya. Richard tersenyum kecil lalu mengangkat bahu.

Aliya geleng-geleng kepala sambil berdecak kagum. "Hebat banget ya lo bisa menyembunyikan perasaan dengan ekspresi yang begitu tenang."

Richard menaik-turunkan alisnya sembari tersenyum jenaka.

Aliya mengerling. "Kalo dipikir-pikir lo tu nyaris sempurna tau gak," ujarnya dengan mata menerawang jauh.

"Masa?"

"Serius." Aliya mengangguk.

Richard berpikir sebelum kemudian bertanya, "Mau tau apa kekuranganku?"

Aliya menatapnya lebih intens. "Apa?"

Richard balas menatap. "Kurangku ... kalau gak ada kamu."

Tremor.

Tidak demam, tapi panas. Hanya dalam hitungan lima detak jantung, gadis itu bangkit dari duduknya. Wajah yang sudah sedari tadi kaku menjadi semakin kaku sekarang. "Gu-gue mau meledak." Buru-buru ia melangkahkan kakinya menjauhi Richard.

"Huh?" heran Richard.

"Gue mau pulang," kata Aliya saat sebentar lagi tiba di pintu keluar dari ruang rahasia tersebut.

"Loh?" Richard beranjak bangkit dan bergegas menyusul Aliya. "Baju Reina mana?"

Aliya menghentikan langkahnya. Mengeluarkan pakaian Reina dari dalam tas lalu menyerahkannya pada Richard dengan kepala yang menunduk. "Thank you. Bye." Setelah itu, Aliya berlari keluar dari ruang rahasia yang berdampingan dengan kamar pria itu.

"Eh, mau aku anterin gak?" teriak Richard.

"Gak perlu."

"Kenapa?"

"Gue takut mobil lo ikutan meledak."

"Masa’?"

"Di dapur."

"...."

***

Pagi. Pukul 06.15. Matahari sempurna membelah cakrawala. Menebarkan sinar hangatnya. Menebarkan janji kehidupan yang baik. Membantu subur tanaman. Berfotosintesis. Burung-burung gereja terbang ke sana ke mari. Bercicit menambah keriuhan kota. Juga mengisi lengangnya jalanan komplek perumahan di mana Aliya tinggal di sebuah indekos.

Sepagi itu Richard sudah berdiri di depan kos pacarnya. Duduk di atas sepeda sport yang menjadi alat transportasi untuk menemani perjalanannya pagi ini. Semalam, melalui telepon, mereka sepakat untuk berolahraga pagi ini.

[Aku udah di depan].

Pesan untuk Aliya sudah ia kirim. Selang beberapa saat kemudian, gadis yang ditunggu pun datang. Kompak mengenakan kaos oblong berwarna dongker lengan pendek dan celana training panjang berwarna hitam. Juga sepatu sport putih. Janjian. Sok romantis ceritanya. Mumpung punya warna yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada motif, dan Richard mengenakan jaket sementara Aliya tidak. Jaket yang dikenakan pria itu berwarna dongker sepadan dengan warna bajunya ⸻jaket yang dikenakannya dibiarkan tidak terkancing. Aliya sendiri plong memakai kaos lengan pendek. Menurutnya tidak apa. Cuaca sepertinya bersahabat. Pagi yang hangat. Yakin tidak turun hujan.

"Loh kok pake sepeda sih?" Alih-alih mengucapkan selamat pagi dengan senyuman, Aliya malah mengeluhkan transportasi yang dikendarai oleh Richard. "Ini sepeda lo? Lo dari rumah kesini pake sepeda?"

Lalu Richard menukas. Mengingatkan lagi bahwa semalam ia menginap di apartemen-nya Eko yang tidak jauh dari kos Aliya.

"Oh iya. Jadi, sekarang kita mau ke CFD pake sepeda? Capek tauk! Nanti sampe sana kita malah gak jadi ngapa-ngapain." protes Aliya.

Richard menghela napas. "Kalau gak capek namanya bukan olahraga."

"Tapi tujuan kita kan mau lari pagi. Kalau udah capek duluan di perjalanan, kapan larinya?"

"Pengen banget lari ya?" Richard memicingkan matanya menatap Aliya.

"Iyalah. Kan udah lama," jawab Aliya cepat.

"Lari di hatiku aja," balas Richard enteng.

Aliya menghentakkan kaki kanannya. Mendengus sebal. "Gak lucu!" Ditinjunya lengan Richard yang spontan mengaduh kesakitan. Geleng-geleng kepala. Terkikik geli.

"Kamu bilang kalo Mira temen kamu itu gak mau ikut, Si Eko juga gak mau diajak gabung, makanya aku kepengen pake sepeda. Gak jauh juga lokasinya. I'ts okay lah."

"Tapi kan, aku juga capek berdiri di belakang, Lang."

Richard menggeleng tak mengerti. "Sejak kapan lo jadi cewek manja gini? Bukannya lo anak silat ya? Seharusnya kebiasa dong sama hal kayak gitu."

Aliya memicingkan matanya. "Kok lo jadi pake lo-gue sih?"

Richard tak menanggapi pertanyaan Aliya. Hanya menoleh ke belakang sembari mengedip pada Aliya, mengisyaratkan agar gadis itu lekas naik.

Aliya mendesah pasrah. Mengambil posisi berdiri di belakang dan memegang kedua bahu Richard. Gadis itu akhirnya sadar, dia terlalu cerewet baru sepagi ini. Sebenarnya Richard tidak salah. Moodnya saja yang buruk. Pria itu jadi kena sasaran.

"Udah?" tanya Richard.

"Udah," jawab Aliya lemah.
Richard tersenyum. "Lemes banget. Beneran mau pergi atau enggak ni?"

"Bener," sahut Aliya. Masih dengan suara yang lemah.

Richard memutar lehernya. Belum sempat mendapati wajah Aliya yang cemberut, ia malah mendapat jitakan keras di keningnya. Siapa lagi yang menjitaknya kalau bukan Aliya.

Richard meringis kesakitan. Mengusap-usap keningnya. Untung sayang.

"Ayo jalan," desak Aliya.

"Kamu kenapa sih?"

Aliya menarik napas berat. "Gue lagi kesel Alang. Udah, jalan aja gak usah mikirin gue," aku Aliya.

"Kesel kenapa?"

"Nanti deh gue ceritain. Udah, ayo jalan."

Richard menggeleng.

"Kok enggak sih?"

"Aku tanya sekali lagi, kamu beneran mau pergi atau enggak?"

"Iya, aku mau," jawab Aliya, agak menekankan nada bicaranya.

"Kalau dipanggil sayang mau?" Richard mengulum bibirnya, menahan senyum.

Aliya refleks menepuk punggungnya. "Alang!"

Mengerang. Entah Aliya menyadari atau tidak, Richard kewalahan dengan ‘gerak refleks pukul’ yang menjadi kebiasaannya. Pasalnya⸻cewek itu tidak seperti cewek kebanyakan⸻pukulannya sakit. Untung sayang. Lagi lagi perasaanlah yang membuat Richard tidak mempermasalahkan apa pun. Menerima saja tabiat buruk kekasihnya.

Richard menoleh ke belakang. Kali ini tak ada halangan untuk melihat wajah perempuan yang dicintainya.

"Ciee yang lagi senyum senyum,” godanya setelah mendapati pipi Aliya yang merah bersemu. Gadis itu lalu mencubit bahu kanan Richard hingga membuat bahunya refleks terangkat. Ahh lagi lagi.

"Jalan nggak?!” Terdengar seperti nada ancaman.

Richard melenguh pelan setelah mengusap bekas cubitan Aliya di bahunya. "I … yaa Sayang," sahutnya dengan tempo yang sengaja dibuat lamban. Kakinya kini bergerak mengkayuh sepeda. Sementara itu, Aliya hanya terdiam, membiarkan lengkungan di bibirnya kian melebar dan jantungnya kian berdebar.

"Mentari?" panggil Richard saat sudah menjalankan sepedanya menjauhi kos Aliya.

"Hm?"

"Kamu inget gak dulu aku pernah bilang seandainya aku jadi langit aku gak akan biarkan mendung berada di sana ...," Aliya mencoba memahami dan mengingat ucapan Richard yang masih menggantung, "Sama seperti aku yang gak akan biarkan mendung menghiasi wajah kamu." Aliya mengingat itu. Kini ia mulai tidak dapat menahan degup jantungnya yang terasa ingin meledak-ledak.

"Aku memang gak akan pernah jadi langit untuk bumi tapi aku bisa menjadi langit untuk kamu, Mentari," ucap Richard tulus. "Dan itulah yang tadi sedang aku lakukan. Aku sedang berusaha membuatmu tersenyum." Sesekali Richard menoleh ke kanan atau kiri.

"Kamu tau? Melihatmu tersenyum sipu saat sekali saja aku memanggilmu dengan sebutan sayang, membuatku berencana untuk mengucapkan panggilan sayang itu sejuta kali sehari. Aku ingin melihatmu tersenyum sebanyak itu dan bahkan lebih."

Aliya tertawa pelan. Antara senang dan geli. "Kok lo tiba-tiba jadi puitis gitu sih," celetuknya. "Belajar di mana?"

"Oh itu, tadi malam kursus sama Eko."

Mendengar hal itu membuat Aliya tertawa keras. "Siapa lo bilang? Eko? Bwahaha. Emang Eko bisa manis gitu ya? Perasaan mukanya kecut deh. Haha."

Richard terkekeh. "Ya enggaklah. Yang manis itu cuma aku. Yang ganteng juga cuma aku dan yang paling penting ...." Richard menoleh ke kiri. Sengaja membiarkan Aliya melihat senyum di bibirnya. "Yang paling kamu cinta juga aku." Pandangannya kini kembali fokus ke depan. Sementara bibirnya tersenyum lebar.

Aliya hanya bisa menelan ludah mendengar kata-kata manis yang keluar dari Richard. Hening.

"Ngomong-ngomong ...." Richard memecah kesunyian. "Kayaknya aku belum pernah sekali pun bilang ini sama kamu."

Alis Aliya bertaut. "Bilang apa?"

"Selamat pagi Sayang."

Speechless.

Aliya terdiam membeku. Sikap manis Richard sepertinya benar-benar akan membuat Aliya rentan terkena diabetes sekaligus serangan jantung. Ini gila!

***

Pukul 06.30 mereka tiba di Jl. M.H Thamrin. Jalanan yang menjadi salah satu lokasi car free day setiap minggu di Jakarta. Tampak sejumlah orang sedang melaksanakan aktifitas olahraga. Mulai dari stretching, senam, lari kecil, lari sedang, lari besar (Apaan nih😰) sampai lari dari kenyataan. (Ciaa, becanda). Para pedagang kaki lima pun sibuk menggelar barang dagangannya.

"Gue pake sepeda, lo lari," ujar Aliya begitu turun dari sepeda dan Richard masih mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Kemudian mencagak sepeda. Duduk di baku jalan. "Gue istirahat dulu," katanya dengan napas yang masih tersengal. Peluh bercucuran di sekitar wajah dan punggungnya.

Aliya mengambil duduk di sebelah Richard. Menoleh dan memperhatikan wajahnya dengan detail. "Gue bilang juga apa. Belum apa-apa udah capek."

"Iya kamu bener," sahut Richard menyetujui.

"Jadi lo masih mau lanjut atau gimana? Keringet lo banyak banget."

Richard menyodorkan pipinya ke dekat Aliya. Kontan kepala Aliya bergerak mundur. Alisnya bertaut, heran.

"Mau ngapain?"

"Lap-in keringet aku."

Aliya melotot kemudian tersenyum miring. Membuang muka lalu mengatakan, "Ogah."

"Pilih ngelap keringet atau dipanggil sayang seumur hidup?"

Aliya terhenyak. Memutar bola matanya, berpikir sebelum kemudian menoleh ke arah Richard yang sedang menunggu jawabannya. "Dipanggil sayang seumur hidup, sejuta kali sehari," jawabnya disusul dengan tawa kecil dan bibir yang mencebik. Mengejek.

Richard tercengang. "Sumpe lu?"

"Sumpe gue," sahut Aliya tanpa beban. "Ayo mulai dari sekarang!"

"Apanya?"

"Bilang sayang." Aliya beranjak bangkit dan melipat tangan di depan dada. "Gue hitung."

Richard menghela napas. Geleng-geleng lalu mengelap keringatnya sendiri dengan handuk kecil yang bergantung di lehernya. Setelah itu ia bangkit dari duduknya. Berdiri sejajar di sebelah Aliya.

"Sayang," kata Richard kemudian.

"Satu," hitung Aliya keras. Diam diam, menutup mulutnya. Menahan tawa yang sudah menggantung di ujung lidah. "Sambil lari yok!"

"Iya Sayang tapi nanti ya Sayang kalau sayang udah ngunci rantai sepeda si Eko, Sayang," jawab Richard dengan nada tak enak. Jujur, kalau sebanyak ini ia pun merasa risih. Ia jadi menyesali ucapannya sendiri.

Aliya tak mampu menahan diri. Terkikik geli. "Sepedanya kan mau gue pake," katanya di sela tawa.

"Oh ya udah."

Aliya menaiki sepeda. "Ya udah lo lari ya?"

"Hm," sahut Richard. Mengayunkan langkah. Berlari kecil. Sementara itu, Aliya mengikutinya, mengayuh sepeda pelan.

"Udah terhitung lima ya," kata Richard.

Aliya tak mengiyakan. Masih asyik tertawa. Richard mendelik. Menyipitkan mata menatap Aliya. "Ngapain nangis?"

Aliya mengulum bibirnya. Berusaha untuk tidak tertawa kembali. "Lagi ketawa, bukan nangis," sanggahnya.

"Oh," sahut Richard, memasang wajah datar. "Kirain lagi nangis, habisnya ketawa sama nangis gak ada bedanya. Sama-sama cantik." Usai mengeluarkan pujian tulusnya, ia pun berlari lebih kencang mendahului Aliya yang sedang berusaha menepiskan debaran di dadanya. Ah, lagi lagi selalu ada cara untuk pria itu membuat gadisnya tersenyum. Entahlah. Entah Richard yang punya seribu cara, atau Aliya yang punya seribu cinta untuknya⸻atau bahkan lebih. Cinta yang membuat semuanya terlihat indah.

  Menyenangkan.

Aliya menyusul. Mensejajarkan dirinya dengan Richard. "Ayo bilang lagi, masih lima loh," cecarnya.

"Sayang sayang gak sama sayang kalau sayang gak sayang sama sayang gimana sayang mau sayang sama sayang," ujar Richard cepat tanpa titik koma. Setelah itu ia menghentikan langkah, mengambil napas.

"Lima," kata Aliya keras. Bibirnya senantiasa tersenyum. Terus mengkayuh sepedanya meski sadar Richard telah tertinggal di belakang.

Richard merengut. "Kok masih lima?" pekiknya, kembali berlari, mengejar Aliya.

"Siapa suruh cepet cepet. Gak keitung."

Richard kembali menghentikan langkahnya. Meletakkan kedua tangan di pinggang. Mengatur napas. Matanya mengarah pada Aliya yang terus mengkayuh sepeda meninggalkannya. Meski tidak begitu jauh karena Aliya mengayuh dengan pelan-pelan saja.

Richard merogoh saku celananya. Mengeluarkan obat dari dalam tempat berbentuk seperti toples tapi berukuran kecil. Ia buru-buru menelan obat tersebut sebelum ⸻"Alang lo sakit?" Sebelum Aliya mengetahuinya, tetapi sayang sudah terlambat.

Tiba-tiba saja Aliya menghentikan sepeda. Memandang ke arahnya. Cemas. Gadis itu lekas putar balik arah. Namun sekonyong-konyong seorang pengendara sepeda yang melaju cepat menyenggolnya hingga membuat Aliya hilang keseimbangan. Jatuh ke sisi kiri. Kedua telapak tangannya bersinggungan langsung dengan aspal.

"Sorry," teriak lelaki pengendara sepeda yang menabrak Aliya tanpa merasa bersalah. Ia malah berlalu begitu saja tanpa membantu sedikit pun.

Richard yang melihat kejadian itu langsung berlari menghampiri Aliya sembari meneriaki si pelaku tabrak lari. Memaki.  Menyumpah serapah.

Aliya mengerang kesakitan. Richard bergegas membantu Aliya dan sepedanya bangun. Aliya beringsut duduk, berselonjor di trotoar. Meratapi lecet di kedua telapak tangannya sambil merengek.

"Sakit ya Sayang? Sini aku tiup ya Sayang." Tiba-tiba saja Richard sudah duduk bersila di sebelah dan berhadapan dengannya. Memegang dan meniup kedua telapak tangannya. Lupa pada larangan Aliya untuk tidak menyentuhnya.

"Hu ... hu .... Gak lucu tau!"

"Gak ada yang mau ngelawak Sayang," sahut Richard lalu kembali meniup telapak tangan gadisnya. Sungguh, jauh di lubuk hati ia sedang berusaha menahan tawa. "Aku cuma mau ngelunasi hutang manggil sayang sejuta kali sehari kok," imbuh pria itu dengan nada dilembut-lembutkan dan ekspresi wajah diimut-imut-kan.

Aliya berhenti merengek. Terkekeh geli. Melihat ekspresi wajah Richard membuatnya tak bisa menahan tawa.

Richard tersenyum menatap Aliya sambil tetap meniup telapak tangan gadisnya.

"Apotek belum buka, aku juga gak bawa peralatan P3K. Jadi, aku sengaja buat kamu ketawa. Biar lupa dulu sama rasa sakitnya."

Aliya tersenyum lebar. Menyorot Richard dalam.

"Sebelum diobati kamu harus ketawa dulu biar lupa sama rasa sakitnya."

Senyum di bibir Aliya seketika sirna. Namun Richard tidak menyadari hal itu. Matanya fokus menatap guratan luka di telapak tangan Aliya. "Masih sakit?" tanyanya lembut. Sementara yang ditanya hanya terdiam membisu dengan tatapan jauh menembuh dimensi yang entahlah.

"Mentari?"

"..."

"Mentari Sayang?" Intonasi yang terdengar menggoda.

"..."

Richard mengalihkan pandangan, menatap Aliya. Kaget tatkala mendapati mata gadis itu yang berkaca-kaca.

"Mentari kamu kenapa?" Tepat setelah itu, butiran air bening jatuh merembes di pipi Aliya.

Richard panik. "Kamu kenapa? Sakit banget ya? Aku tiup lagi ya." Ia pun meniup telapak tangan Aliya dengan cepat. Bukannya berhenti menangis, Air mata Aliya malah semakin menderas disertai dengan sedu sedan yang membuat Richard kebingungan setengah mati.

"Duh, kok makin nangis sih ..."

"..."

"Aku panggil sayang lagi mau? Biar ketawa."

Tidak ada jawaban. Apalagi suara tawa.

***

Makasih sudah membaca ceritaku. Jangan lupa vote ;)

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Where stories live. Discover now