23. Jadian

39 8 1
                                    

"Gue pernah denger," ujar Risa. Di kantin Fikom dia menikmati bakso bersama kedua temannya. Putri dan Dini.

"Apa?" tanya Dini setelah meneguk teh botol miliknya.

"Cuma kabar angin sih, katanya keluarga Richard itu Ateis," jelas Risa, memelankan suaranya.

Entah bagaimana ceritanya gosip seperti itu mengambang. Mengalahkan penyebab kematian Reina yang bahkan tidak diketahui orang lain terkecuali yang ada di TKP tak lama setelah kejadian itu. Seperti pembantu dan Aliya misalnya. Jika biasanya Mike sering mampir di televisi karena cemerlang prestasi perusahaannya, maka tidak begitu saat kabar buruk menghampiri. Jangankan wartawan, polisi saja tidak tahu. Ya, Mike memang mengunci rapat alasan kematian Reina. Lagipula, kesaksian pembantu, dan tayangan di CCTV sudah menjelaskan semuanya, jadi dia tak perlu memanggil polisi untuk menyelidiki kasus itu.

Namun kini, alih-alih membahas kematian putri bungsu Mike, Risa malah membahas identitas keyakinan keluarga Mike yang ia dengar dari mulut ke mulut.

"Ah, masa?" serentak Putri dan Dini.

Sembari membuka snack-nya, Dini bertanya, "Emang bisa ya Atheis hidup di Indonesia? Bukannya sila pancasila yang pertama 'ketuhanan yang Maha Esa', sementara mereka gak punya Tuhan?" bingung Dini.

"Setau gue sih gak papa asalkan enggak menyebarkan Ateisme di Indonesia ini. Bisa di penjara! Terus soal perkawinan dan ngurus KTP juga mereka susah. Diwajibkan memiliki agama. Kebanyakan, orang Ateis di Indonesia ini sengaja mencantumkan agama di dalam KTP sebagai bentuk formalitas aja," jelas Putri dengan serius.

"Kok tau?” tanya Risa. Mengernyitkan alisnya menatap Putri.

“Dari google,” jawab Putri tenang. Lalu menjulurkan tangannya mengambil sebuah bakwan. Sebenarnya jauh sebelum Risa tahu, Putri sudah tahu duluan jikalau keluarga Mike itu Ateis. Jadi sudah lama jugalah ia mencari tahu tentang hal itu.

"Terus mereka gitu juga nggak? Agama apa yang mereka cantumkan di KTP?" Kini Dini yang bertanya.

"Mana gue tau. Emang gue siapanya mereka," jawab Putri ketus. Lalu mengunyah bakwannya dengan perlahan.

"Tanya Aliya aja. Gue rasa mereka udah deket sekarang," timpal Risa. Putri yang mulutnya tengah mengunyah bakwan manggut-manggut memberi setuju.

"Kenapa lo berasumsi kalau mereka udah deket? Gue gak pernah tuh lihat mereka deket di kampus selain dari tampil di depan untuk mata kuliah Pak Agung." Dini heran. Putri lekas menelan bakwannya habis lalu memberi penjelasan.

"Nah itu. Bukannya kemarin mereka kayak Tom & Jery? Gak pernah klop. Nah kemarin kayaknya bisa klop. Gue juga pernah mergoki mereka saling lempar senyum. Dan, Aliya juga mulai berubah," Putri menjeda kalimatnya, "Lo berdua ngerasa gak sih belakangan ini dia agak aneh?"

Mereka mengangguk.

"Aliya lebih kalem sih rasa gue," ujar Risa.

"Kayak orang lagi jatuh cinta," sahut Putri.

"Waah berat dong ujian cinta Aliya. Jatuh cinta sama laki-laki tak beragama," kata Risa, prihatin.

"Hmm, tapi kan itu masih kabar angin," sahut Dini.

"Hmmm, kadang-kadang, gue lihat Aliya tu rada goblok juga ya?" kata Risa. Sontak Putri melotot lalu menimpuk Risa dengan buku kecil di atas mejanya.

"Jaga mulut lo! Kalo mau jelekin seseorang langsung di depannya, jangan main belakang! Apalagi kawan sendiri!"

Risa meringis. "Gue kan cuma bilang rada goblok. Itu doang," sanggahnya.

"Ah. Apapun tetep aja salah!"

"Tapi kan biasanya kita ngomong asal jeplak juga tuh," ucap Risa lagi, membela diri.

"Yah, itu kan di depan bukan di belakang!" tegas Putri.

Risa manyun lalu berkata, "Cinta banget lo sama …” Ucapannya berakhir setelah Putri menyumpali mulutnya dengan bakwan. Alhamdulillah. Risa kenyang.

***
"Richard gue mau," kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Aliya. Menghentikan pergejolakan batinnya.

Tawa Richard seketika berhenti. Ditatapnya serius wajah gadis di hadapannya. "Mau apa?" Alisnya bertaut.

"Gue mau jadi pasangan lo, Richard," jawab Aliya dengan mantap.

"Huh?"

Aliya menghembuskan napas lalu berkata sekali lagi, "Gue mau jadi kekasih lo. Gue mau."

Perlahan bibir Richard mengukir sebuah senyuman. "Are you serious?"

Aliya mengangguk. "Tapi ada syaratnya."

Kening Richard berkerut. "Syarat?"

"Iya. Syaratnya adalah ... pertama; lo gak boleh nyentuh gue sedikit pun, kayak rambut gue yang lo acak-acak tadi juga gak boleh." Richard mendengarkan dengan seksama. "Kedua; lo harus berusaha kembali ke agama Islam dan yang ketiga; lo harus baik sama orang, gak boleh jutek, harus ramah pokoknya dan gak boleh males-malesan lagi belajarnya. Dan yang keempat; hubungan kita harus dirahasiakan baik di dunia nyata atau pun di dunia maya. Lo gak boleh publikasi di facebook atau sosmed mana pun itu. Gak boleh buat bio berpacaran dengan gue tanggal segini terus kasi emot kunci kunci sama love love gitu, gue gak mau pokoknya."

Richard terkekeh mendengar syarat keempat yang diajukan Aliya secara polosnya. "Lo pikir gue anak alay,” protesnya.

"Ya, bisa jadi. Mana gue tau lah."

"Gue punya sosmed juga enggak."

"Oh iya ya?"

"Iya. Ya udah. Apalagi syaratnya?"

"Hmm." Aliya berpikir sejenak. "Udah. Itu aja. Gimana? Sanggup?"

Richard mengedip sekali. Memutar bola matanya. "Hmm, soal Islam, mohon bimbing gue ya?"

Aliya mengangguk keras dengan senyum di bibirnya.

Richard pun mengangguk. "Gue sanggup."

Aliya tersenyum lebar hingga menampakkan rentetan giginya. "Makasih," ucapnya.

"Gue yang seharusnya berterima kasih. Baru pertama kali gue bisa tersenyum dalam keadaan di mana hati gue sedang merasa kehilangan. Dan itu semua karena lo," Senyum di bibir Richard merekah. Wajahnya cerah, matanya pun berbinar indah. Untuk kesekian kalinya, Aliya terpaku menatapnya. Dan beberapa saat mereka saling bertatapan penuh kasih sayang.

"Aliya?" terdengar suara memanggil nama Aliya. Entah suara siapa, yang jelas bukan berasal dari suara Richard. Lalu siapa?

Serentak mereka menoleh.

Aliya terkesiap. Terlonjak kaget. "Bunda???" Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rasa takut menghampiri disertai rasa ketidakpercayaan akan kehadiran ibunya yang benar-benar mendadak dan di waktu yang tidak tepat pula. Dengan cepat ia menghampiri  dan menarik ibunya menjauh dari Richard.

"Bunda, Aliya seneng banget bisa ketemu Bunda. Tapi kok tiba-tiba bisa di sini? Gimana ceritanya?"

"Kan anaknya sahabat Ayah kamu meninggal, ya Bunda dateng lah," jawab wanita paruh baya yang giginya sudah tak utuh lagi.

"Siapa yang kasih tau?"

"Mike. Siapa lagi, wong kamu gak mau kasi tau."

"Terus Bunda ke sini sama siapa dan pake apa? Dan ...." Aliya mempertimbangkan lagi pantas atau tidaknya pertanyaan ini diucapkan, "berapa lama Bunda berdiri di situ?" akhirnya pertanyaan pertama yang melintas di kepalanya terucap juga.

"Bunda ke sini sendirian, dijemput anak buahnya Mike dan Bunda baru aja ngelihat kamu di sini sama dia."

Aliya menghela napas lega.

"Kenapa toh?" Bunda memicingkan matanya. "Kamu kayak ketakutan gitu?"

"Enggak kok," Aliya menggeleng keras, "cuma kaget aja Bunda tiba-tiba datang.” Kalimatnya ditutup dengan cengiran.

"Oh ya, jadi ceritanya Bunda dikabari terus dijemput sama anak buah Om Mike?"

"Iya. Kan udah Bunda bilang."

"Oke. Gak papa. Asalkan Bunda gak nikah lagi aja, sama Om Mike."

"Hush, ngawur kamu!” Entah kenapa Aliya merasa nada bicara ibundanya terlalu tinggi saat itu. Sampai ia sendiri terkejut. Namun beberapa detik setelahnya, wanita tua itu nyengir lebar. “Kamu gak lihat gigi Bunda udah kayak nenek-nenek yang ada di lirik lagu burung kakaktua." Aliya terkekeh geli mendengar celetukan ibunya. "Lagian, apa kamu gak tau?" Memelankan suaranya, "kalau dia murtad terus Ateis pula. Ya Bunda gak mau lah!"

Aliya tersentak. Matanya melebar sempurna. "Memangnya kenapa kalau murtad dan Ateis? Kan bisa aja sih diajak masuk ke agama kita."

"Loh? Kamu ini gimana? Tadi katanya Bunda gak boleh nikah sama Om Mike tapi sekarang kamu kok kayak nyuruh Bunda nikah sama dia? Piye toh?"

"Eh?" Aliya memutar bola matanya. "Enggak. Bukan gitu maksud Aliya."

"Hmmm." Bunda menatap menyelidik. Mata Aliya yang dialihkan kemana-mana, tak sengaja melihat Richard yang masih berdiri menunggunya.

"Oh, ayo Aliya kenalin sama anak Om Mike." Aliya pun membawa Bundanya pada Richard.

Richard menyunggingkan senyum pada ibunya Aliya. "Halo?" sapanya. "Tante Tiara kan?"

Wanita paruh baya itu mengangguk dan balas tersenyum. "Kok tau?"

"Papa pernah cerita dulu dan sering banget makanya inget." Richard sendiri tidak mengerti kenapa Mike selalu menceritakan keluarga Aliya bahkan setelah hubungan keluarga renggang. Setiap ada kesempatan, Mike selalu membanggakan Bram, suami Tiara. Namun tidak begitu sering membicarakan tentang anak-anaknya. Padahal Richard lebih suka kalau Mike membicarakan Aliya.

"Ooh gitu. Hmm, tambah ganteng ya kamu.” Tiara terdiam. Matanya memendar menyapu taman yang sekarang ia pijaki. Lalu berjalan-jalan menghampiri bunga-bunga. Richard dan Aliya mau tak mau mengikutinya tanpa komentar.

“Kamu pasti gak ingat dulu waktu kecil saat kami main ke rumahmu, kamu itu polos banget, gak ada sungkan sungkannya minta tolong ngelapin ingus sama Tante," cerocos Tiara sembari menciumi aroma bunga mawar berwarna kuning. Mendelik wajah Richard lalu tersenyum ganjil.

Sementara itu, Aliya mulai bingung harus bereaksi seperti apa menyikapi sikap blak-blakan Ibunya. Rasanya ingin tertawa tetapi juga tidak tega karena ibunya sudah mempermalukan Richard yang tampak tersenyum aneh ke arahnya. Aliya cengengesan menanggapi.

"Udah ayok Bunda, kita masuk ke dalam."

"Oh, ayok."

"Ngomong-ngomong, Denis mana Bun? Gak ikut?"

"Dia gak mau. Tapi Bunda udah minta tolong sama keluarga Bani untuk ngejagain dia."

"Yakin gak papa?"

"Insyaa Allah. Mereka kan orang baik."

***

Dua gelas jus jeruk dingin menemani perbincangan mereka berdua. Richard dan Dokter Fahri. Kali ini dengan latar yang berbeda dari sebelumnya. Kemarin mata Richard disuguhi nuansa hijau, kali ini hanyalah warna yang sudah setiap hari menyatu dalam penglihatannya. Hitam dan putih. Dua warna itu saja yang menghiasi dinding kamarnya yang bertema monokrom tersebut.

Dokter Fahri yang datang untuk berbela sungkawa, diajaknya berbincang di kamarnya. Duduk di sofabed yang terletak di depan Tv. Bukan hal asing lagi bagi Fahri untuk duduk di kamar pasiennya itu.

"Wajahmu terlihat cerah hari ini Richard. Saya pikir, wajahmu akan mendung sebagaimana orang yang baru kehilangan. Ada apa?" tanya Fahri, membuka pembicaraan.

Richard menyeruput minumannya lalu melemparkan senyum kepada Fahri. "Sudah menemukan vitamin ya?" tebaknya. Diselingi kekehan kecil di ujung kata.

"Tebakan yang benar Dok," ujar Richard dengan senyum yang tak kunjung hilang dari bibirnya. "Bukannya saya tidak merasa sedih atas kepergian adik saya, tetapi ada seseorang yang berkata, nikmatilah setitik nikmat dalam hidup ini. Untuk itu, saya mencoba melakukannya. Karena di saat saya kehilangan seorang yang saya cintai, saya juga menemukan seorang yang juga mencintai saya. Saya rasa ini patut disyukuri."

"Waah. Saya senang sekali mendengarnya."

"Hmm, saya rasa, terapi saya gak perlu dilakukan lagi, Dok. Terima kasih atas bantuannya selama ini."

Fahri manggut-manggut. "Oke kalau gitu. Tapi, kalau ada apa-apa, jangan sungkan sungkan hubungi saya ya? Insyaa Allah saya siap membantu.” Bibirnya mengulas senyuman tulus.
"Jujur, walaupun pertemuan kita lebih sering membahas soal gangguan yang kamu alami, kamu itu sudah saya anggap seperti adik saya sendiri.” Senyumnya kian merekah. Richard menatapnya lekat. Mencoba menyelami sorot mata Fahri yang kemudian ia menemukan ketulusan di dalamnya.

Senyum Richard ikut melebar. Menyadari suatu hal.

Inilah dua titik nikmat yang harus ia syukuri. Lain waktu, akankah ia menemukan dan menyesali jutaan nikmat yang pernah ia abaikan?

***

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Where stories live. Discover now