42. Cita-cita

13 1 0
                                    

Mata Aliya melirik dari lantai bawah hingga lantai lima gedung berwarna putih keabuan di hadapannya. Kali pertamanya gadis itu menginjak kantor MK Group. Richard yang mengajaknya singgah ke tempat itu tepat setelah puas menghabiskan waktu di pasar malam yang direkomendasikan oleh Putri. Tadinya Richard mengajak main ke mall, atau ke wahana bermain yang mahal. Namun, saat grup chat Aliya cs berbunyi dan membincangkan soal pasar malam yang tersisa tiga malam terakhir, ya, gadis itu pun mengajaknya ke sana. Satu-satunya yang Aliya incar di pasar malam itu adalah naik bianglala. Permainan itu membuatnya bisa berteriak sepuasnya tanpa rasa malu. Sayangnya, Richard muntah-muntah setelah itu.

“Aku lupa di mana, tapi kayaknya kantor Ayahku dulu gak jauh dari sini, deh. Perusahaan sekuritas jugak.” ujar Aliya setelah mengamati keadaan di sekitarnya. Didampingi Richard, wanita itu memasuki kantor tersebut. Dua resepsionis menyambut, tetapi tak banyak berkomentar setelah melihat Richard. Sepertinya mereka tahu dia siapa.

“Kamu mau lihat lihat dulu?” tanya Richard. Menyadari Aliya celingak-celinguk memperhatikan seisi kantor.

“Eh, gak usah.” Aliya tersenyum canggung, “Udah mau jam sepuluh, kata kamu, kantor ini tutup jam segitu, kan?”

“Iya, sih, tapi bisa tetep buka kalau aku yang minta. Di sini kan penjagaannya dua puluh empat jam. Jadi enjoy aja.”

“Papa kamu di mana?” tanya Aliya.

“Masih di ruangannya mungkin. Jangan cari dia.”

“Kenapa?”

“Nanti aku cemburu.” Aliya meringis mendengar jawabannya. Sementara Richard terkekeh geli. “Becanda. Aku cuma takut kalau kita ketemu dia, entar malah disuruh nikah lagi.”

Aliya mendelik. “Oo, jadi kamu takut nikah sama aku?” tanyanya menantang.

Richard tak langsung menjawab. Membuka pintu lift dan masuk ke sana. Aliya pun mengikuti langkahnya sembari menunggu jawaban.

“Aku sih gak takut,” ujar Richard sembari memencet tombol lima di dalam lift, “tapi kamunya berani nggak … nikah sama aku? Udah siap memang?” Pria itu jail menyikut lengan Aliya. Tersenyum geli lalu berdeham.

Pipi Aliya sontak memerah. Jantungnya lagi berdegup cepat. Lagi dan lagi, Richard berhasil membuat gadis itu tak berkutik menahan kegugupan.

“Udahlah gak usah dibahas,” elak Aliya. Berusaha mengontrol ekspresi wajahnya menjadi setenang mungkin. Namun sayangnya tidak berhasil. Richard masih melihat pipinya bersemu merah.

“Iya, deh,” pasrah Richard. Berhenti menggoda Aliya. Tak ingin menanggung resiko dipukul kalau ia terus lanjut menggodanya. Lagipula, di lift itu hanya tinggal mereka berdua dan dia merasa jantungnya mulai berdetak tidak normal saat ini.

Beberapa waktu berlalu, lift pun berhenti di lantai lima. Keduanya keluar dengan langkah yang sama. Richard tersenyum mesem-mesem memandang langkah kaki mereka yang bergerak serirama. Saat kaki kirinya melangkah, kaki kiri Aliya pun melangkah. Begitu pun sebaliknya.

“Hei, jalan lihat lihat,” tegur Aliya pada Richard yang hampir saja menabrak seseorang.

“Ah, iya,” sahut Richard yang kemudian mengangkat kepalanya. Kembali fokus ke depan dengan senyum yang tidak juga menghilang.

“Sebenarnya kita mau ke mana sih? Kamu gak akan ngajak aku ke tempat yang gelap kan? Kita gak akan berdua-duaan, kan?” Aliya menyipitkan matanya menatap Richard sebentar.

“Gelap sih enggak, tapi kalau berduaan mungkin iya.”

Aliya kontan berhenti, dan tentu saja membuat Richard refleks terhenti. Gadis itu lalu  melemparkan kilatan tajam matanya pada Richard. “Kalau gitu gak jadi deh. Kita balik aja.” Baru saja ia hendak berbalik badan, Richard langsung meraih pergelangan tangannya.

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Onde histórias criam vida. Descubra agora