26. di Bawah Kolong Jembatan

34 5 2
                                    

Aliya tak menghiraukan panggilan dari Richard. Justru semakin mempercepat langkahnya. Rasa kesal membuat ia lupa tentang tugas yang akan mereka lakukan bersama. Sampai akhirnya Richard berhasil meraih lengannya.

"Gak usah pegang-pegang gue!" ketus Aliya.

"Iya. Gue bakal lepasin tapi lo berhenti dulu ya?"

"Gak mau. Gue mau pulang. Lepasin atau lo bakal ngerasain jurus gue!"

"Aduh ... stop dulu dong ngambeknya nanti kalau lo mau lanjutin lagi ngambeknya gak papa."

Aliya berdecak. Bukannya minta maaf malah gue disuruh ngambek lagi nantik, apaan sih dia, gerutunya dalam hati.

"Mentari, ayolah. Waktu kita tinggal hari ini. Besok gue gak bisa loh. Bunda sama Babe mau dateng ke rumah!"

Mendengar penjelasan Richard, Aliya pun menghentikan langkahnya. "Ya udah. Lepasin sekarang!"

"Okay, tapi lo janji gak bakal batalin rencana kita hari ini?"

Aliya membuang napas pelan lalu berkata, "Iya janji. Cepetan!" Richard mengangguk lalu melepaskan tangan yang mencengkeram lengannya.

Cewek itu lalu berbalik badan. Untuk sesaat ditatapnya Richard dengan ekspresi wajah ditekuk. Lalu berjalan kembali ke parkiran motor. Richard yang memandanginya hanya menghela napas lega.

"Lo pake motor ya?"

"Iya. Tenang, gue bawa jas hujan. Dan kalo pun ketinggalan, kita bisa berhenti kalo memang hujan nantinya.

"Oh."

Richard meringis. Pasrah.

***

Sudah setengah perjalanan, tapi mereka masih tidak saling bicara. Aliya terus menggerutu dalam hati. Merutuki Richard yang belum juga mengucapkan kata maaf. Padahal Richard pun diam karena sedang memikirkan cara untuk meminta maaf padanya.

Di depan mini market, Richard menghentikan motornya. Tanpa menjelaskan apa pun, Richard masuk ke dalam mini market tersebut dan berbelanja makanan ringan. Aliya juga masuk ke sana. Bukan karena mengikuti Richard melainkan karena dia memang ingin membeli sesuatu.
Tidak lama waktu yang digunakan Aliya untuk berbelanja. Berbanding terbalik dengan Richard. Wajar. Belanjaan yang dibeli Richard penuh satu plastik besar.

Aliya yang sedang duduk di motor menatap keheranan pada belanjaan yang sedang ditenteng Richard. Ia ingin bertanya tetapi diurungkan. Ya begitulah kalau cewek lagi ngambek.

***

Mereka telah tiba di tempat tujuan. Kolong jembatan. Ya, mereka memang ke sana. Akan membuat sebuah video berdasarkan tema yang telah ditentukan yakni 'Potret Kehidupan Masyarakat.

"Gue kameramen ya?" ujar Richard.

"Trus gue yang jadi pembicara gitu?"

"Iya dong siapa lagi?"

"Ogah ah. Gue terus. Gantian elo dong. Gue kan lagi bete'!"

Richard menghela napas. "Kita datang ke sini sebagai tim bukan sebagai pasangan, Mentari," tegurnya lembut tapi menohok. "Profesional dong. Suatu saat nanti lo bakal kerja kan? Makanya belajar dari sekarang. Jangan bawa perasaan selagi bekerja." Langkahnya pun sudah mendahului Aliya.

Aliya manyun. "Kok lo jadi nyeramahin gue sih?"

"Tapi gue bener kan?"

Aliya semakin kesal. Ia menghentakkan kakinya. "Lo tu gak dulu gak sekarang, sama-sama ngeselin tau gak!"

"Iya gue tau kok," sahut Richard santai. Membuat Aliya bertambah kesal.

"Iish!" Aliya mengepalkan tangannya. "Anggap aja sekarang gue gak lagi bete'. Tetep aja gue mau lo yang bawa acara Richard! Lo gak pernah sekali pun muncul di depan kamera!"

Richard menghela napas. Menghentikan langkah lalu berbalik badan. Ia mengulas senyum dan berkata, "Gini aja, lo jadi bawa tripod gak? Biar kita bisa bareng di depan kamera."

"Enggak. Lupa," ketus Aliya. "Pokoknya lo yang di depan," tegasnya.

Richard menghela napas sebelum akhirnya mengatakan, "Okey. Tapi senyum dulu dong."

Bukannya tersenyum, Aliya malah mengkerucutkan bibirnya. Lalu memasang tampang 'sok' garang. "Sini kameranya gue yang bawak!" katanya ketus sembari matanya menunjuk ke arah kamera yang dikalungkan ke leher Richard.

"Gak mau. Senyum dulu," Richard berkali-kali mengulas senyum manisnya. Tapi Aliya tetap tidak terpengaruh.

"Cepetan sini kameranya!"

Richard geleng-geleng. Lelah menghadapi Aliya yang keras kepala. Sekali lagi ia menghela napas lalu dengan lembut mengatakan, "Senyum dulu ... Sayang."

Sontak raut wajah Aliya berubah. Pipinya merah bersemu. Richard tertawa kecil melihat ekspresi gadis itu. "Mau dipanggil sayang lagi?" godanya.

Aliya menggeleng cepat. "Jangan!!" cegahnya sedikit berteriak.

"Ya udah. Senyum dulu kalau gitu." Richard mengangkat alis seraya tersenyum. Aliya kikuk dibuatnya. Tanpa disadari, sebuah senyuman tercetak begitu saja di bibirnya.

"Nah gitu dong." Richard melebarkan senyumnya.

"Ya udah sini kameranya."

"Ambil sendiri. Lo gak lihat tangan gue bawa apa." Aliya pun melirik ke kedua tangan Richard yang mana satu tangan sedang menenteng kresek belanjaan di mini market tadi.

"Tangan satunya ada."

"Gak mau."

"Letakin dulu barangnya!"

"No! Kalau gak mau ambil sendiri, biar gue aja yang jadi kameramen."

  Aliya meringis. "Ribet!" geramnya. "Lo sadar gak sih, lo tu tinggi!"

"Iya. Dan gue sadar kalo lo gak pendek!" balas Richard tersenyum jahil.

Aliya mendengus sebal. Dengan agak terpaksa, ia maju beberapa langkah hingga jarak antara mereka menjadi lebih dekat. Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa jantungnya bagaikan genderang yang dipukul dengan begitu cepat. Ia pun mengangkat kedua tangannya hingga melingkar di area leher Richard. Degup jantung yang semakin kencang membuat matanya terpejam dan pipinya merah padam.

Richard terkekeh geli. Gerakan Aliya terasa lamban sekali baginya. Aliya yang mendengar tawa Richard, spontan membuka mata lalu mendongak. Tanpa sengaja tatapan mereka saling bertemu. Richard tersenyum. "Lo ngapain sih? Lama banget. Jangan bilang lo mau⸻”

Aliya melotot geram. Sebelum bergerak cepat mengambil kamera dari leher Richard, terlebih dahulu ia memukul pelan dada laki-laki itu. Richard mengaduh kemudian tertawa renyah.

"Berisik!” geram Aliya yang kemudian berjalan mendahului Richard yang tertawa sambil mengikuti langkah gadis itu.

Dalam sekejap, Aliya melupakan rasa kesalnya kepada Richard. Menelusuri pemukiman kumuh di kolong jembatan seraya merekamnya dengan sebuah kamera yang kini telah bergantung di lehernya.

Tentulah tidak ia jumpai manusia berseragam atau sekedar mengenakan pakaian bagus. Tidak juga ia temukan deretan mobil atau pun sepeda motor terparkir di depan rumah. Bahkan sepeda saja tidak ada. Dan rumah mereka pun dikatakan tidak layak.

Beberapa penghuni rumah terlihat sedang membalik ikan yang sedang dijemur. Ada pula yang duduk bersusun saling mencari kutu. Ada yang sedang mengangkut air dari sungai dengan jeregen dan ember, dan ada juga beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sedang menyesap tembakau. Sebagai pelarian dari beban yang tak kunjung berhenti menghimpit kehidupan mereka.

Para anak-anak berlari kian kemari. Ada yang tertawa, dan ada pula yang menangis karena diganggu oleh anak yang lainnya.

Aliya terlarut dalam suasana itu. Ada rasa sedih yang membuat dadanya menjadi sesak. Membayangkan jika ia hidup seperti mereka, apakah ia masih bisa bersyukur?

"Abang ganteng datang woiii!" teriak salah seorang anak laki-laki yang mengenakan baju kaos merah kusam yang sudah kendur kerahnya. Anak-anak yang lain pun memandang ke arah ia memandang. Aliya memperhatikan mereka dibalik lensa kameranya.

"Bang Alang datang woii. Bawa jajan! Yeee ...," seru mereka yang kemudian berlari mendekat ke arah dimana sosok Richard atau yang juga dikenal sebagai Alang berada. Aliya pun menjeda rekamannya. Kaget dengan nama yang mereka sebutkan. Alang?

Mata Aliya bergerak mengikuti ke arah mana anak-anak itu berlari. Akhirnya ia pun bisa melihat sosok Richard yang melemparkan senyuman tulus dan hangat ke arah anak-anak kecil yang berlari dengan riang ke arahnya. Semburat senyum terpancar di bibir Aliya. Ia pun kembali merekam. Merekam momen di mana ada kebahagiaan yang terpancar di wajah anak-anak penghuni kolong jembatan. Anak-anak yang hidupnya mungkin tidak seberuntung anak-anak lainnya di luar sana. Anak-anak yang sedang dibahagiakan oleh laki-laki yang ia cintai.

Aliya berjalan mendekati mereka. Richard tampak kewalahan meladeni anak-anak yang meributkan jajanan yang ia bawa, yang kini sedang dipeluknya erat agar mereka tidak sesuka hati mengambilnya.

"Nanti dong. Jangan di sini. Kita ke pondok dulu ya?"

Aliya mengeryit. Pondok?

"Bagian ini jangan direkam!" teriak Richard sembari melambaikan tangannya ke kamera. Aliya hanya tersenyum kecil tanpa menghiraukan perkataan Richard. Sementara itu, tangan Richard habis ditarik dan tubuhnya didorong agar langkahnya cepat sampai ke pondok yang ia sebutkan tadi.

Beberapa saat kemudian, tibalah mereka di sebuah pondok kayu yang ukurannya pas untuk diduduki oleh sekitar lima belas orang anak saja.

"Duduk yang rapi baru Abang mau bagiin!"

"Ayo cepat duduk rapi biar dapat semua," instruksi seorang anak perempuan berambut keriting digerai. Mereka pun sibuk mengatur duduk masing-masing. Richard tersenyum lebar memandangi mereka. Ia memandang sebentar ke arah Aliya.

"Yang ini jangan divideoin!" pintanya lagi. Tapi lagi lagi Aliya tidak menghiraukannya. Malah menjulurkan lidah, meledek. Richard pun geleng-geleng kepala melihat ulahnya.

"Ayo Bang cepetan!!"

"Kita laper nih Bang! Dari tadi pagi belum makan!"

"Iye Bang. Aye juga. Babe lebih mentingin rokok daripade makan anaknye Bang."

"Sama Bang. Babe aye juga begitu. Malahan mabok-mabokan." Kompak, Aliya dan Richard saling pandang. Menatap penuh sarat.

"Iya. Oke Abang bagiin sekarang. Tapi jangan pada rebutan ya?" Richard pun mulai membagikan jajanan kepada mereka secara adil dan merata. Sepertinya hapal betul dengan jumlah anak-anak itu.

"Minggu depan kita mulai belajar lagi ya?"

Belajar?

"Kenapa gak sekarang Bang? Kita rindu belajar sama Abang."

"Sekarang Abang mau kerjain tugas kuliah dulu."

"Oke Bang."

"Kalian di rumah pada belajar kan?"

"Belajar Bang ...."

"Tapi Si Udin enggak Bang!"

"Udin?" Richard melemparkan pandangannya pada seorang anak berbaju kaos merah kusam yang kerahnya kendur. Anak yang dipanggil Udin itu menunduk sedih.

"Kenapa Udin?" tanya Richard lembut.

"Hmm …."

"Enyaknye marah Bang. Si Udin disuruh nyopet kagak boleh belajar." Richard terenyuh begitu pun dengan Aliya. Bahkan air mata sudah menggayuti pelupuk matanya.

"Bener Udin?" tanya Richard memastikan.

Si Udin hanya mengangguk pelan. "Buku yang Abang kasi disobek ama Enyak. Kata Enyak kalo Abang ke sini lagi, Enyak bakalan ngamuk tapi untungnya hari ini Enyak lagi kagak ade di rumah." tampak air mata turun menyusuri pipi Udin. Tanpa sadar, Aliya pun turut memecahkan bendungan air matanya.

"Tapi Udin mau belajar Bang, sumpeh demi Allah.” Udin memegang lengan Richard sembari menyeka air matanya. "Udin mau jadi kayak Abang. Udin mau sekolah sampe kuliah, Udin mau punya banyak uang terus bisa bantuin anak-anak kayak Udin dan kawan-kawan Bang," air mata kembali menyusuri pipinya. "Udin gak mau nyopet Bang, hiks hiks. Tapi ... Udin takut sama Enyak ...."

"Kita juga mau sekolah Bang ...." Serentak semua anak menyerukan keinginan mereka bersamaan dengan air mata yang jatuh dengan sendirinya. Mata Richard berembun. Tanpa berkata apa-apa, kedua tangannya direntangkan lalu dengan sangat mengerti, mereka pun menghambur dalam pelukan Richard. Anak-anak kecil yang malang itu tergugu. Menumpahkan air mata kesedihan mereka dalam rangkulan pemuda yang sudah cukup lama mengabdikan diri menjadi guru sekaligus sosok Abang bagi mereka.

Aliya yang menyaksikan itu hanya meneteskan air mata haru bercampur kagum. Kagum akan sosok Richard yang benar-benar di luar dugaan.

***

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vote😊

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang