28. Sungguh Aku Sayang Kamu

37 4 1
                                    


Sudah lebih dari tiga bulan hubungan mereka berjalan begitu saja. Richard sudah terbiasa ber-aku-kamu dan Aliya terbiasa mendengarkannya meskipun tak mengubah kebiasaannya untuk ber-lo-gue. Satu lagi, mereka sudah saling terbiasa memanggil nama kesukaan.

Pada suatu malam, Aliya datang ke rumah Richard. Hendak mengembalikan pakaian Reina yang pernah dikenakannya dahulu saat ia basah kuyup di hari kematian Reina. Dia sengaja datang malam itu, selagi teringat untuk mengembalikan pakaian Reina. Karena sering kali setiap bertemu Richard, dia terlupa membawa pakaian itu.

Setibanya di sana, ia langsung disambut oleh satpam yang kemudian menyuruhnya untuk masuk saja ke dalam rumah milik keluarga Angelo itu.

Aliya memencet bel. Baru dibuka setelah yang ketiga kalinya.

Cklekk.

"Neng tolongin saya Neng.” Bi Rumi lompat-lompat di tempat dengan ekspresi wajah panik. Membuat Aliya ikutan panik.

"Tolong apaan Bik?"

"Ini Neng tolong anter ini ke kamar Den Richard, saya nyium bau gosong Neng. Mungkin di dapur gak ada orang, lupa kalik," tanpa menunggu persetujuan, Bi Rumi menyerahkan tumpukan baju yang sudah disetrika, kepada Aliya. Lalu buru-buru pergi.

"Masuk aja ke kamar Den Richard Neng, orangnya gak ada," teriak Bi Rumi.

Aliya cengo. Beberapa saat kemudian, ia pun akhirnya melangkah masuk dan berjalan menuju ke kamar Richard. Sesampainya di sana, dengan agak ragu ia memegang kenop pintu lalu membukanya. Kepalanya melongok ke dalam kamar Richard. Memastikan ada atau tidaknya Richard di dalam.

"Alaang? Halo? Lo ada di dalem gak?" Aliya masih berusaha memastikan. Ya, siapa tau ada di kamar mandi yang berada di kamar itu. Namun setelah beberapa kali memanggil, tidak ada satu kali pun sahutan. Akhirnya, ia pun melangkah masuk dan meletakkan pakaian Richard di atas ranjang.

Tanpa mencoba untuk penasaran dengan apa saja yang ada di kamar Richard, ia pun kembali melangkahkan kaki hendak keluar. Namun tiba-tiba ia mendengar suara piano yang terdengar mendayu-dayu. Langkahnya pun seketika terhenti dan pendengarannya dipertajam.

Nada dering Hp kali ya? Pikirnya. Namun pemikiran itu terbantahkan karena suara piano itu terus terdengar, melewati durasi nada dering Hp. Aliya pun menjadi semakin penasaran. Ia lalu berjalan mencari sumber suara.

Pencariannya terhenti tepat di depan lemari. Telinganya pun dilekatkan di pintu lemari tersebut. Suaranya terdengar semakin dekat. Rasa penasarannya pun semakin kuat. Refleks, tangannya bergerak mendekati gagang pintu lemari, hendak segera membukanya.

Selang beberapa saat kemudian, Aliya hanya mendengarkan dengaan serius permainan piano itu sambil tetap memegang pintu. Tanpa sadar tangannya bergerak membuka pelan pintu lemari. Matanya terbelalak detik itu.

Ruang rahasia!

Rasa takjub memenuhi benaknya. Terlebih saat mendapati Richard di dalam ruangan itu.

Richard dengan lihai memainkan piano, menambah sempurna sosoknya. Aliya merasa sedang melihat seorang penyanyi sungguhan sedang berada di atas panggung. Bersinar seperti bintang. Mencetak sabit di wajahnya.

Perlahan kakinya melangkah. Tanpa ada keraguan. Musik yang dihasilkan oleh Richard seolah menciptakan magnet yang mampu menarik Aliya masuk. Menghampirinya.

Sekitar dua langkah dari pintu, Aliya berhenti. Penglihatannya kini beralih pada lukisan-lukisan yang berada di kanvas maupun di dinding. Apakah Richard yang membuat semua itu? Aliya berdecak kagum memandangi satu persatu lukisan tersebut. Tak sadar bila decakannya membuat Richard menghentikan permainan musiknya.

"Mentari?" Richard menoleh ke arah Aliya. Membuat wanita itu terlonjak kaget lalu  dengan segera melemparkan cengiran tak berdosa.

Richard menelengkan kepalanya. Menatap menyelidik. "Siapa yang ngajarin kamu gak sopan masuk ke kamar orang tanpa permisi?" tanya Richard sedikit ketus.

"Bi Rumi," celetuk Aliya.

Richard mengangkat sebelah alis. "Bi Rumi?"

Aliya mengangguk. "Jadi gini ...."

Richard bangkit dari duduk dan berjalan menghampiri Aliya. Tak lupa menegaskan wajah dan menyalakan ketajaman sorot matanya. Membuat Aliya sedikit merasa takut.

"Apa?" tanya Richard begitu sudah berdiri dengan jarak setengah meter di depan Aliya.

Aliya menatap Richard sebentar. Meneguk ludah. Memikirkan kembali jawabannya. "Gue ke sini mau mengembalikan pakaian Reina yang pernah dipinjemin waktu  kehujanan ...."

"Teruus?" Richard maju satu langkah, masih mempertahankan tatapan elangnya.

Lagi lagi Aliya menelan ludah. Jantungnya berdebar keras. Dia bingung apakah itu rasa takut atau gugup. Satu hal yang ia tau, kakinya mendadak lumpuh. Tak mampu menghindari Richard sedikit pun.

"Ee itu anu ...." Aliya gelagapan. "Pas Bi Rumi bu-bu-ka-in pintu, tiba-tiba aja di-dia min-minta tolong gue nganterin pakaian lo ke kamar ka-re-na dia mau ngecek bau ...."

Richard maju satu langkah lagi. "Bau apa?" Tatapan yang semakin tajam.

Mati kutu. Aliya dibuatnya semakin tak bisa berkutik. Refleks saja matanya terpejam dan mengatakan, "Bau ketek," dengan cepat.

Untuk beberapa detik, ekspresi sok garang Richard berubah menjadi shock. Setelah kembali menormalkan ekspresi wajahnya seperti sedia kala, ia pun berseru, "Serius!"

Aliya mendelik. Membuka sebelah matanya. "Emang tadi gue bilang apa?"

Richard melototi Aliya. Kembali bergerak maju selangkah. Membuat gadis itu kembali memejamkan kedua matanya.

"Lo marah ya? Ma-maafin gue," heboh Aliya. "Gue pergi sekarang deh." Ia pun bergerak hendak mengayunkan langkah. Namun tiba-tiba Richard memegang lengannya dan lantas tertawa renyah.

Aliya membuka matanya. Mendapati Richard yang tertawa penuh kemenangan. Aliya meringis. Menepiskan tangan Richard yang masih memegangi lengannya. "Gak lucu!" ketusnya, mengkerucutkan bibir.

Lambat laun Richard menghentikan tawanya lalu mengangguk-anggukkan kepala. "Iya iya. Maaf Sayang," ucapnya. Dengan sengaja membuat pipi Aliya berubah merona.

"Apaan sih?!" Aliya mendorong tubuh Richard hingga mundur beberapa langkah.

Richard tertawa kecil. "Bawa kaca gak?"

"Enggak," jawab Aliya, memalingkan wajah. "Buat apa emang? Di kamar lo kan ada kaca," lanjutnya ketus.

Richard lagi lagi tertawa. "Biar kamu lihat muka kamu yang udah mirip kayak babi ternak yang warnanya rada rada pink gitu loh. Hahah."

Aliya manyun. Lekas menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Gak ada perumpaan yang lebih pantas apa?” protesnya.

Richard geleng-geleng Memandang Aliya dengan bibir mencebik. Lalu berdiri di belakang Aliya. Kemudian, tanpa izin menarik kerah kemejanya. "Ikut aku!"

Aliya menurunkan tangan yang menutupi wajahnya. Tersentak kaget. Mau tak mau langkah kakinya mengikuti arah ke mana Richard menggeretnya dengan paksa.

"Yang bener ngapa sih Lang. Lo kira gue bayi kucing apa!" protes Aliya.

"Mending bayi kucing. Daripada aku bilang bayi babi. Hayo pilih mana?"

Aliya berdecak. "Alang Rese, nyebelin, ngeseliin ...." Ia misuh-misuh tanpa berusaha melepaskan diri dari Richard. Richard hanya tersenyum mesem-mesem menanggapi.

Richard mendudukkan Aliya di kursi panjang yang berhadapan dengan piano. "Berhubung kamu udah di sini, aku mau nantang kamu main piano." Ia langsung mengambil duduk di sebelah Aliya.

Aliya menoleh ke arahnya. Menatapnya tajam. Richard balas menatapnya, mengangkat alis, dan melipat tangan di depan dada. "Gimana? Bisa gak?"

Aliya menegapkan badannya lalu dengan lantang berkata, "Oke, siapa berani!"

Richard tertawa kecil. "Siapa yang berani?" tanyanya dengan nada meledek.

"Elo lah!" sahut Aliya cepat. "Gue gak bisa main beginian." Aliya bangkit berdiri. "Lagian dibanding main piano, gue lebih tertarik ngelihatin lukisan-lukisan yang ada di sini." Matanya bergerak memperhatikan satu persatu lukisan itu. Namun tiba-tiba Richard menariknya kembali duduk.

Aliya mengerjap-ngerjap. "Why? Itu semua lo yang buat kan?"

Richard hanya mengedipkan mata sekali.

"Lo suka ngelukis sama main piano?"

Richard mengangguk.

"Kalo gitu kenapa lo gak masuk kampus seni aja?"

Richard menghela napas sebelum menjawab, "Suka bukan berarti menjadi tujuan hidup kan?"

Aliya berpikir sejenak. "Iya sih.” Tiba-tiba ia mengingat sesuatu. "Tapi ngomong-ngomong lo dulu pernah bilang kalo lo gak suka musik kan?"

Richard mengangguk.

"Tapi kenapa?"

"Alibi doang," jawab Richard sekenanya. Kini Aliya mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuknya sambil memutar bola matanya. "Jadi ...." Aliya menatap pria itu serius. Sementara yang ditatap sedang memandangi jari jemarinya yang menekan tuts-tuts piano, sambil menunggu kata-kata Aliya selanjutnya. "Cita-cita lo apa?" tanya Aliya sambil memiringkan kepalanya ke kanan.

Richard mengembuskan napas lalu menoleh ke arah Aliya. Menatap intens. Aliya mengerjap-ngerjapkan matanya mendapat tatapan seperti itu. Richard memajukan kepalanya, memandangi Aliya dengan jarak yang lebih dekat. Aliya mengedipkan mata. Menelan ludah. Tiba-tiba saja paru-parunya terasa menyempit, tidak bisa bernapas dengan lega. Sementara itu, jantungnya terpompa sangat kencang dan wajahnya terasa memanas bahkan AC tak mampu mendinginkan wajahnya saat itu.

Richard tersenyum lalu mengatakan, "Bisa diulang lagi gak pertanyaanya?"

Aliya mengerjap-ngerjap. Berusaha keras meloloskan saliva yang mendadak nyangkut di kerongkongan. "A-apa ... cita-cita lo?" tanyanya, dengan bibir sedikit bergetar.

"Menikah sama kamu," jawab Richard mantap.

Aliya merasa jantungnya seolah berhenti detik itu. Untungnya dia tidak mati. Richard dengan  ekspresi begitu tenang, menjauhkan wajahnya dari wajah Aliya. Membuang muka. Tersenyum. Sebelum kemudian menoleh ke arah Aliya dengan memasang ekspresi tanpa senyuman atau apa pun yang menunjukkan bahwa telah terjadi sesuatu.

Sementara itu, Aliya terdiam mematung dengan kepala yang masih miring seperti sebelumnya.

"Udah. Kepalanya lurusin, nanti capek," tegur Richard. Tangannya bergerak menyentuh tuts piano. Aliya tersadarkan. Ia segera membenarkan posisi kepalanya. Melirik ke arah Richard sebentar.

"Kenapa?" tanya Richard.

Aliya menghela napas. "Kok lo bisa santai banget sih?"

"Apanya?" Richard menekan tuts piano dengan pelan.

Aliya mendelik. "Lo ...." Agak ragu mengatakan. "Lo nggak pernah merasa gugup gitu?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibirnya. "Lo gak punya jantung atau memang gak punya perasaan untuk gue sih?" Kalimat itu spontan saja meluncur bebas.

Richard sedikit kaget sekaligus geli mendengar ucapan Aliya. Sedikit, ia tersenyum.

Aliya menutup mulutnya. Tersadar dengan apa yang sudah diucapkannya.

Richard tidak menjawab pertanyaan Aliya. Ia memejamkan mata, menarik napas lalu memainkan piano itu kembali.

"Cantik ...." Richard menyanyikan sebuah lagu. Belum satu bait, nyanyian Richard berhasil membuat Aliya tersentuh. Entah sudah yang ke berapa kalinya Richard membuat Aliya takjub padanya.

"Ingin rasa hati berbisik ...." Kahitna-cantik. Aliya tau lagu itu. Ia menatap Richard lekat. Tanpa sadar, bibirnya telah melengkungkan sebuah senyum yang begitu indah.

"Untuk melepas keresahan ...." Richard menatap Aliya sambil melemparkan senyuman yang seratus persen tercetak begitu saja tanpa keterpaksaan.

"Dirimu ...." Mereka saling menatap.

"Ooo ... cantik ... bukan kuingin mengganggumu ...." Suaranya sejernih rintik hujan yang berjatuhan di tanah gersang. Menyejukkan, menenangkan, dan membahagiakan hati Aliya.

"Tapi apa arti merindu selalu …. Ooo walau mentari terbit di utara ... hatiku hanya untukmu ...

“Ada hati yang termanis dan penuh cinta ... tentu saja kan kubalas seisi jiwa .... Tiada lagi tiada lagi yang ganggu kita ...

"Ini kesungguhan ... sungguh aku sayang kamu ...." Tepat setelah itu, Richard menatap Aliya begitu dalam seakan menerobos dinding hati kekasihnya. Senyum terbaik penuh ketulusan pun terpancar dari bibir pria itu. Aliya hanya menatapnya sebentar dengan senyum di bibirnya yang tak mampu dihilangkan.

"Ehem," deham Aliya saat Richard menyudahi permainan piano-nya. "Sekali lagi dong di reff-nya," pintanya.

Richard mengangkat alis. "Sekali lagi?"

Aliya mengangguk mantap. Richard turut mengangguk. "Tapi kamu ikutan nyanyi juga ya? Tau kan lagunya?"

Aliya berpikir sejenak hingga kemudian mengangguk pelan. Menyetujui Richard.

Richard tersenyum senang. Ia pun kembali memainkan piano tersebut. Bernyanyi bersama. Saling menatap penuh arti. Melempar senyum. Menikmati kebahagiaan.

"Ada hati yang termanis dan penuh cinta .... Tentu saja kan kubalas seisi jiwa .... Tiada lagi tiada lagi yang ganggu kita .... Ini kesungguhan ... sungguh aku sayang kamu ...."

Seandainya bisa, pasti saat itu juga Aliya akan melompat-lompat di udara. Menari. Menggambarkan kebahagiaan yang membuncah di dalam dada. Seandainya dia tidak punya malu, maka tidak ada alasan bagi Aliya untuk tidak jungkir balik, lompat lompat, tegak lilin, khayang atau apapun yang bisa meluapkan kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan melalui kata-kata.

"Mentari?" Richard membuat Aliya yang sudah mulai menggila kembali waras.

"Hm?" Aliya hanya berani menatap Richard sebentar. Bagaimana bisa bertahan lama jikalau jantungnya saja sedang ber-DJ di dalam.

Richard memegang bahu Aliya, membuat mereka duduk berhadapan. Aliya hanya menurut dengan kepala yang tertunduk.

"Aku mau kasi tau kamu sesuatu," ujar Richard lembut.

"A-apa?" Aliya masih saja menunduk.

Richard meraih pergelangan tangan kanan Aliya dan menariknya pelan. Aliya mengerutkan kening, bingung dengan apa yang sedang dilakukan oleh Richard. Namun, meski demikian, ia masih menyembunyikan wajahnya.

Kini tangan kanan Aliya yang mengepal sudah berada tepat dan melekat di depan dada kiri Richard. Membuat cewek itu mulai merasakan detak jantungnya.

Mata Aliya membulat sempurna. Refleks mengangkat wajah. Menatap Richard penuh tanda tanya.

"Kamu mau ngapain?"

Richard tak langsung menjawab. Hanya menyunggingkan senyum dan menyorot dalam mata Aliya.

***

Angin malam menelisik wajahnya. Sesekali menyibak kerudung orange yang ia kenakan. Dia Mira. Sahabat Aliya yang sedang duduk di balkon kosnya. Membiarkan kakinya berjuntai-juntai ke bawah dan membiarkan matanya terus menatap ke atas. Pada langit malam yang menampilkan ribuan bintang-bintang.

Sudah lama telunjuk kanannya sibuk menghitung bintang. Sudah lama hitungannya salah. Sudah lama ia menghitung ulang. Dan sudah lama pula ia terus memikirkan sesuatu yang membuat wajah cantiknya menjadi terlihat menyedihkan.

Berkali-kali ia tersenyum. Berkali-kali juga menitikkan air mata. Lalu berkali-kali pula ia mengatakan kalimat itu. Kalimat yang pernah membuatnya berniat untuk melompat dari ketinggian, meregang nyawa, dan menghilang dari kehidupan.

Mira tak lagi menghitung bintang. Telunjuknya bergerak menuliskan sesuatu di udara. Atau tepatnya di hadapan langit.

"I ... hate ... me ...." Ya kalimat itu. Mira hanya mengulas senyum sambil menitikkan air mata.

***

Makasih udah baca. Jangan lupa vote :)

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora