2. AADR?

225 22 7
                                    

Langit malam menjatuhkan rintik kecilnya. Mungkin pun sebentar lagi tetes dengan warna yang sama akan jatuh di pipi Aliya.Wajah yang diliputi kesedihan. Merebahkan diri di ranjang, dia peluk kamera kesayangannya. Memperhatikan inci demi inci kamera canon pemberian almarhum ayahnya saat hendak masuk kuliah.

"Kayaknya nggak bisa lagi deh, Mir," ujarnya dengan nada sedih. Sejenak menghela napas berat.Melihat kameranya yang retak hebat dan nyaris tak bernyawa. Menatap sayu. Sadar, ia bukan lagi anak orang kaya yang mudah membeli apa pun yang dia mau atau dia butuhkan. Selain itu, kamera itu adalah pemberian terakhir ayahnya.

"Lo udah coba bawa ke bengkel elektronik belum?" tanya Mira prihatin. Duduk di sisi kiri Aliya sembari membaca komik.

"Belum. Lagian parah gini. Mendingan ganti baru," sahutnya parau.

"Hm, elo sih nggak hati-hati. Cuma moto doang pake manjat pohon segala. Nggak pake di gantung lagi tuh kamera ke leher, gimana nggak jatuh!"

"Iya, gue salah," ujarnya pasrah. Matanya mulai berkaca kaca. Mira mengalihkan pandangannya dari komik dan mendapati ekspresi wajah sedih Aliya. Ia sangat paham. Aliya adalah tipikal gadis yang suka merengek saat merasa kesal, tetapi tidak ketika dia benar-benar sedih. Saat itu terjadi, yang dilakukan sosok Aliya adalah terdiam dan menutup air matanya. Seperti saat ini. Ia menimpa matanya dengan tangan, tak ingin ada yang melihat kesedihannya. Sayangnya, Mira sudah terlanjur melihat itu.

"Biar gue beliin yang baru," aju Mira kemudian.

"Enggak Mir. Gue dah terlalu banyak ngerepotin lo," tolak Aliya. Benar memang. Sudah terlalu banyak Mira membantunya. Bahkan kos eksekutif yang mereka tempati sekarang ini, Aliya hanya membayar dua puluh persen dari total biaya per bulannya. Sebenarnya gadis itu ingin yang sederhana, tetapi orang tua Mira menolak. Sedangkan Mira sendiri tidak mau berpisah dari Aliya, begitu pun sebaliknya. Awalnya orang tua Mira menawarkan untuk membiayai kosnya sampai akhir. Namun, Aliya menolak. Akhirnya, mereka meminta Aliya untuk membayar dua puluh persen saja dan keputusan itu di setujui.

"Tapi Al ...."

"Gue bakal marah kalau lo nekat beliin!" Aliya menurunkan tangan yang menimpa matanya. Sudah tak berembun lagi. Mira mendesah pasrah.

"Bukannya apa apa sih ...." Aliya beranjak duduk. "Foto kenangan kita kan banyak juga disini Mir." Tertunduk lesu.

Mira tercengang. Ekspresinya berubah panik. Spontan menutup komiknya lalu beralih menatap Aliya.

"Sumpah lo?" Aliya mengangguk sekali lalu mengangkat wajah dan menatap Mira dengan lemahnya.

"Memorinya ikutan rusak?" Mira semakin panik. Aliya hanya merunduk sedih. Mira memutar bola matanya. Berpikir sejenak.

"Kok bisa? Lecet ya?"

Aliya menggeleng.

"Kegesek gitu ya memorinya?"

Aliya menggeleng lagi.

"Jadi apa dong?"

"Nggak papa sih. Gue kan cuma bilang foto kenangan kita ada disini. Gitu doang, kok lo panik sih?" Pipi aliya gelembung menahan tawa.

"Aliyaaaaaaa kenapa sih lo tu nyebelin banget!!!" Gantian Mira yang merengek. Tawa aliya pun meledak.

"Gue salah apa? Lo yang nanggepi begitu! Bwahahahah. Ketauan lo cinta banget sama gue kan ngaku lo!"

"GR lo GR GR!" Mira berteriak tepat di telinga Aliya sehingga membuat ia berusaha menutup telinga. Sesaat kemudian Mira tertawa renyah lalu tersenyum bangga memandangi Aliya yang tertawa terpingkal-pingkal hingga terjengkang ke lantai. Mira tahu, Aliya sedang berusaha menutupi kesedihannya.

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Where stories live. Discover now