16. di Panti

51 14 6
                                    

Saya menepati janji.
Selamat membaca 😊.

***

Mereka berbagi tugas. Putri mengumpulkan barang-barang dan juga mengambil uang yang dikirim beberapa teman mereka untuk disedekahkan. Sementara itu, Dini, Risa dan Aliya yang bertugas untuk belanja. Tidak lama karena tidak terlalu banyak yang dibeli, sebab ternyata tidak ada tambahan orang yang datang selain mereka berempat. Setelah selesai mereka pun berkumpul di rumah Putri untuk mandi dan bersiap-siap.

Sementara menunggu mereka siap, barang-barang belanjaan dititipkan pada Mira. Dia yang  bertugas untuk pergi duluan ke panti agar bisa lebih cepat memasak makanan untuk makan malam. Syukurnya, semua yang mereka rencanakan berjalan lancar. Mereka dapat menyelesaikan semua tugas dalam waktu yang cepat.

"Gak nyangka masih jam lima lewat lima belas. Mantap banget ide lo," puji Dini kepada Aliya yang duduk di bagian depan.

Aliya mengacungkan jempol dan menjulurkannya ke belakang.

"Gue gitu loh." Tangannya beralih menepuki dada dengan bangganya. "Aliya yang baik hati dan tidak sombong tapi suka pamer. Bwahahaha." Ia tertawa lepas. Entah apa yang lucu. "Gokil kan gue?" Dicoleknya dagu Putri yang sedang fokus menyetir. "Hahahahaha," Aliya tertawa lagi. Hanya dia sendiri. Tidak ada sahutan.

Krik.

"Hahahahaha."

Krik.

"Hahahahaha."

Krik.

"Hahaha..." Tawanya semakin memelan. Aliya mulai sadar bahwa tawanya sama sekali tak dapat menular pada teman-temannya. Ia pun terdiam. Dipandanginya teman-temannya secara bergantian. Putri tampak fokus melihat jalanan di depan. Sedangkan Dini dan Risa tampak sedang asyik memainkan Hp masing-masing.

Aliya mengangkat sudut kanan bibirnya. Kesal. Sorot matanya berubah tajam. Tanpa babibu lagi, Ia merebut Hp milik Dini. Seringaian kecil terukir di bibirnya. Tapi hanya sebentar. Sebab, Dini tak menggubris perlakuannya yang demikian. Ia malah asyik bermain dengan Hp bayangannya. Berlagak seperti phantonym.

"Kok gue dicuekin sih?!" Aliya merengek. Namun lagi-lagi tak ada tanggapan. Ia berdecak sebal lalu menyodorkan Hp Dini kembali ke tangannya. Lalu kembali menatap ke depan. Mendengus kesal. "Inikah yang di namakan sepi dalam keramaian?" tanyanya dengan nada sok mellow.

Krik. Tak ada jawaban. Aliya jadi benar-benar kesal. Dipukulnya dashboard mobil dengan keras. Ketiga temannya sempat terkejut dibuatnya. Serentak melirik ke arah Aliya yang sedang memegangi tangannya karena kesakitan. Hanya sekejap saja. Putri kembali fokus pada jalanan di depannya, sementara yang lainnya saling menatap penuh arti kemudian kembali sibuk memainkan Hp masing-masing. Setelah itu, keheningan melanda. Aliya pun mendesah pasrah. Yah, mungkin ini karma karena dia sering menjahili teman-temannya, begitu pikirnya.

Lima menit telah berlalu, mereka kini telah tiba di sebuah perkampungan. Putri lebih memelankan laju mobilnya. Tak beberapa lama kemudian, tibalah mereka di sebuah panti asuhan yang berdiri sederhana dengan pagar kayu mengitari kawasan panti tersebut. Spontan, mereka ~selain Putri ~ memandangi sebuah plang yang terpancang di sisi kanan pintu pagar. Meraka pun hanya manggut-manggut begitu mengetahui nama panti asuhan itu.

Putri buru-buru keluar begitu mobil sudah terparkir di depan panti tersebut. Mereka menatap keheranan, namun tak mengurungkan niat untuk segera keluar dari mobil.

Risa tercengang begitu menyaksikan Putri yang sedang berjongkok sambil memegangi perut dan tangannya.

"Lo sakit Put?" tanya Risa, mengernyitkan alis.

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora