21. Jadi Milik gue ya?

48 9 1
                                    


Mike menarikembuskan napasnya dalam-dalam. Bersandar pada dinding ruangan di mana putra satu-satunya dirawat. Pria paruh baya itu terkadang menempelkan telinganya ke dinding. Menajamkan indera pendengaran. Agar bisa menangkap suara apa pun yang sekiranya mencurigakan. Bila itu terjadi, dia berjanji untuk segera masuk ke sana. Tak akan ia biarkan seseorang yang ia cintai menghilang lagi. Cukuplah yang sudah sudah.

Lagi. Mike menghela napas. Sesak memenuhi rongga dadanya. Oh kemanakah ia hendak lari dari rasa sakit yang menghunjam jantungnya? Lelah. Butuh sandaran. Tembok saja tak cukup membuatnya tenang. Ia butuh seseorang. Ya, hanya satu orang. Tidak lebih. Permintaannya tidak banyak. Hanya satu orang.

Wajah wanita itu tiba-tiba muncul dalam ingatannya. Seketika membuat batinnya mencelos. Kepalanya berdenyut. Dipijitnya kening dengan sebelah tangan. Tak seharusnya dia mengharapkan seseorang yang sudah mati.

“Om?!” Suara itu membuat Mike tersentak dan langsung mengangkat kepala. Mendapati wajah Aliya, dia terdiam. Mengatup mulutnya rapat-rapat. Meski tidak mirip, wajah Aliya telah berhasil menghadirkan bayangan wajah Bram, sahabatnya, dalam ingatan. Ada sesuatu yang ingin ia katakan saat melihat wanita itu, tetapi tertahan di ujung teronggokan. Mike hanya terdiam. Lama menatap Aliya. Hingga gadis itu memanggil lagi.

“Om?!”

“Huh?” spontan Mike. Memandang seperti orang linglung.

“Saya boleh jenguk Richard?” tanya Aliya cepat. Terdengar tidak sabaran. Mike menjawabnya dengan anggukan. Lalu gadis itu masuk ke dalam. Tepat saat itu, sayup Mike mendengar suara Richard mengatakan, “Seharusnya aku mati aja!” Sontak Mike bangkit dari duduknya. Namun kembali duduk lagi ketika mendengar Aliya menghentikan niat buruk Richard. Dan ia pun memilih menjadi pendengar di balik tembok. Sampai tak sadar ada yang datang, bertanya sesuatu, dan kemudian duduk di sebelahnya.

Mike hanya mendengarkan suara dari dalam. Semuanya. Semua perasaan yang terpendam dalam hati Richard. Semua yang membuat lukanya kembali basah. Bahkan perih.

“… kembalikan Reinaku ….” Detik itulah air mata jatuh menitik di pipi Mike. Detik berikutnya dia menghapus butiran bening itu. Kemudian beranjak dari duduk. Pergi. Ke tempat  di mana ia hanya sendiri. Benar-benar sendiri.

Sepeninggalnya Mike, laki-laki yang duduk di sampingnya sedari tadi, mengusap air mata. Melanjutkan jejak Mike menjadi pendengar setia. Entah sampai kapan. Biar waktu yang menjawab.

***

"Gue gak yakin lo temen gue. Gue mau lo pergi atau lo akan tau akibatnya. Gue gak akan segan segan nyakiti lo!" Kalimat itu berdengung-dengung telinga Aliya. Tanpa sadar membuat tangannya mengepal. Tanpa sadar juga membuatnya berhenti melangkah. Hanya tinggal mengulurkan tangan saja, Aliya bisa membuka pintu dan benar-benar meninggalkan Richard.

Dan benar-benar kehilangan pria itu.

Gigit bibir. Tidak sanggup ia bayangkan itu terjadi. Jika Richard mengakhiri hidupnya, maka sama saja dengan mengakhiri kebahagiaan Aliya. Iya, dia bahagia. Bersama laki-laki itu.

Ahh, Aliya benci jatuh cinta, tetapi ia akan lebih benci lagi jika harus kehilangan Richard. Sesaat ia memejamkan mata. Seolah mengumpulkan keberanian untuk melawan besarnya ego dan gengsinya. Beberapa detik sesudahnya, ketika kembali membuka mata, ia pun berbalik badan. Setengah berlari. Memilih kembali kepada Richard.

Tanpa izin, dicampakkannya garpu dari tangan Richard yang lantas tersenyum penuh kemenangan setelah menyaksikan gadis itu menyelamatkannya. Tidak meninggalkannya. Ya, dia memang sudah percaya diri jika Aliya akan melakukan hal itu.

"Jangan lakuin gue mohon. Gue sayang lo Richard! Gue mohon jangan. Lo memang brengs*k, gak tau diri, kurang ajar, tapi lo jangan mati ya? Gue sayang lo," mohon Aliya, panik dan heboh sendiri. Kepala yang menunduk dan kedua tangan menangkup di depan wajah membuat ia tidak melihat betapa gembiranya Richard karenanya.

"Gue gak nyangka gue dapat bonus," ujar Richard enteng. Aliya mengangkat kepala dan menurunkan tangannya.

"Maksud lo?"

"Niat gue sih cuma mau ngetes seberapa tulusnya elo. Eh, gak taunya malah dapat ungkapan perasaan sayang sekalian." Richard tak mampu menahan senyum.

Pipi Aliya seketika merah bersemu. Spontan membekap mulutnya sendiri. Richard terkekeh geli melihat sisi imut gadis itu.

"Lo gak punya pilihan kata yang lebih baik ya buat nyatain perasaan ke gue?" teringat olehnya bagaimana Aliya mengungkapkan perasaan tanpa mengesampingkan umpatan untuknya.

Aliya melotot. Sungguh ini di luar dugaan. Apa yang sudah ia ucapkan bukan apa yang ia ingin sampaikan. Dia hanya telah kalah pada perasaannya, dan ini bukan niatnya. Kalimat seperti itu sungguh mengalir begitu saja.

"Lo salah denger! Gue gak ngomong itu!" Suaranya terpendam di balik tangannya yang masih saja menutupi mulut. Lekas ia berbalik badan. Memunggungi Richard. Menurunkan tangan.

"Aw," rintih Richard keras membuat Aliya kembali berbalik badan. Menghadap Richard yang nampak sedang memegangi dada kirinya dengan raut wajah seperti menahan sakit. Aliya kalang kabut.

"Lo kenapa? Apa yang sakit? Gue panggilin dokter ya?"

Richard mendelik, melihat wajah panik Aliya. Bibirnya dimasukkan penuh ke dalam mulut karena menahan senyum dan tawa.

"Lo kenapa sih? Perlu gue panggilin dokter atau enggak?" tanya Aliya lagi.

"Hati gue yang sakit. Sakit kalau lo tinggalin gue."

Deg.

"Richard!! Lo apaan sih!" Aliya meninju lengan Richard. Pria itu meringis dan terkekeh geli.

"Lo istirahat. Gue mau balik!" Aliya berbalik badan. Baru selangkah berjalan, tiba-tiba Richard memegang tangannya. Sontak matanya membulat besar. Untuk ke sekian kalinya, pria itu berhasil membuat jantungnya porak poranda.

"Gue gak nyentuh elo kok. Gue cuma nyentuh kain yang membalut tangan lo jadi jangan marah,” cengir Richard.

Aliya gigit bibir. Menghela napas lalu berkata, "Ya udah iya. Lepasin kalo gitu, gue mau balik!"

Richard tak menurut. Juga tak mengiyakan perkataannya.

"Richard, please! Lo butuh istirahat juga kan?"

"Gue lebih butuh lo.” Mata yang tajam dan dingin itu kali ini menatap punggung Aliya dalam-dalam. Penuh pengharapan dan kasih sayang.

"Richard? Lepasin gue bilang!"

"Jadilah kekasih gue Aliya."

Apalagi ini Tuhan???

"Richard please jangan becanda!" gereget Aliya.

"Balik badan dan lihat gue Aliya. Lidah bisa aja bohong tapi mata enggak," lembut kata Richard membuat jantung Aliya semakin berdebar.

"Aliya please? Lihat gue ...."

Aliya memejamkan mata. Mengumpulkan sisa-sisa keberanian untuk menatap Richard dalam kondisi jantung yang tak keruan. Beberapa saat kemudian, ia pun berbalik badan. Perlahan, dan penuh keraguan, Aliya menggerakkan bola matanya. Menatap Richard dengan benar pada akhirnya. Maka tampaklah ketulusan tergambar di manik mata milik pria itu. Pria yang kini menyunggingkan senyum termanis yang ia punya. Senyum yang tidak biasa. Senyum yang tidak pernah diberikan pada gadis selain dirinya. "Gue sayang lo, Aliya Mentari,” katanya. Selembut angin yang bertiup semilir.

Aliya kikuk. Tak bisa lagi berkata-kata. Mana pernah ia bayangkan seorang sekelas Richard bisa mengatakan cinta padanya.

"Jadi milik gue ya?"

Dia tak menduga kalau perasaannya akan terbalas. Padahal, ketika dia menyadari telah jatuh cinta pada Richard, ia tak mengharap apa pun dari lelaki itu. Sekedar mencintai saja itu sudah cukup baginya.

Tiba-tiba dua bayangan wajah yang amat Aliya kenal, kembali dalam ingatan. Wajahnya yang merah bersemu seketika berubah keruh. Ia lantas menggeleng. "Maaf, gue gak bisa."

Senyum di bibir Richard musnah. Tangan yang sedari tadi memegangi pergelangan tangan Aliya, diturunkan. Bertanya, "Kenapa? Lo yang bilang kalau sayang sama gue kan? Terus kenapa lo nolak?"

"Hmmm," Aliya gigit bibir seraya berpikir. "Mak-maksud gue ta-tadi, sayang sebagai temen gak lebih. Itu doang."

Richard menatap Aliya lebih dalam. Menerka-nerka apakah yang disampaikan oleh Aliya benar atau tidak.

"Ya udah." Richard pasrah. Benar atau tidaknya apa yang dikatakan oleh Aliya, dia tak akan memaksakan kehendak. Lagi pula, waktu dan tempat sangat tidak efektif untuk menyatakan perasaan kepada seorang wanita. Ah, payah! Kenapa terlalu buru-buru. Dan kenapa pula harus di hari berkabung seperti ini?! Sungguh kakak yang kurang ajar. Untung saja arwah Reina tidak gentayangan dan mencekiknya saat itu juga.

"Iya. Ya udah kalau gitu," sahut Aliya. Sorot matanya tampak pasrah tetapi juga tak rela. Tak mungkir, ada rasa kecewa menyelinap di dalamnya. Kenapa Richard tidak berjuang lebih keras untuk membuatnya menerima perasaan itu?

"Rasanya gue perlu bilang ini," kalimat Richard sengaja menggantung.

"Apa?"

"Kalau alasan lo nolak karena gue gak punya agama, maka gue minta, tolong bikin gue jatuh cinta lagi sama agama elo sama seperti gue jatuh cinta ke lo," ujar Richard lugas. Aliya tercengang. Tak tau harus merespon bagaimana. Richard pun tak mendesaknya untuk merespon.

Mendadak hening.

Lama mereka sama-sama terdiam. Sampai akhirnya rengekan Aliya memecah keheningan. Richard melemparkan tatapan heran pada Aliya.

"Kenapa? Kan gue yang lo tolak, kenapa lo yang nangis?"

"Hwaaaa ... kepala gue sakit. Lo gak peka banget sih! Udahlah dari tadi berdiri mulu. Capek tau!!"

Sumpah demi apa. Lo imut banget kalo lagi nangis. Bukannya merespon keluhan Aliya, Richard malah terdiam memaku memandangnya. Namun sesaat kemudian feeling-nya membuat tangannya bergerak menyentuh kening Aliya.

Auto panik!

"Lo demam? Jadi mata lo merah karena lo demam?"

Aliya mengangguk-angguk. "Gue jarang banget sakit. Jadi, sekali sakit, rasanya nyakitin banget, gue gak sanggup ... hwaaa .... Dari tadi gue nahan rasa sakit di kepala demi nemuin lo tau gak?! Tadi sebenarnya gue nangis bukan karena lo tapi karena emang dasarnya gue lagi sakit. Hiks hiks."

"Dih, jujur amat," gumam Richard, menahan geli. "Lo duduk dulu, tu kursi di samping, lo sendiri yang anggurin." Menyadari keberadaan kursi kosong di sampingnya, Aliya pun duduk. Sedang rengekannya belum usai.

"Biar gue pencet tombol panggilan darurat untuk manggil dokter buat lo."

"Gak usah. Gue gak dalam keadaan darurat kok. Lagian gue gak mau disuntik. Gue juga gak mau minum obat. Ribet!"

"Loh?"

"Gue mau istirahat sebentar aja. Gue yakin nanti gue baikan." Aliya melipat kedua tangannya di sisi ranjang kemudian membenamkan kepalanya di sana.

"Tapi ⸻”

"Kalau lo manggil dokter gue bakal marah, gak akan mau nemuin lo lagi. Titik!"

Richard mendesah pasrah. Tidak mengiyakan atau pun menolak.

"Oh ya satu lagi! Gue minta maaf karena sapu tangan yang tadi gue pake bekas ngelap ingus."

"Hueks." Richard menyeka pipinya dengan kasar.

Aliya tersenyum puas tanpa diketahui oleh Richard. Lalu setelah itu pun tak ada lagi pembicaraan di antara mereka.

Setelah agak lama ….

"Aliya?" panggil Richard. Tak ada jawaban. "Tidur?" Masih sama. Tak ada jawaban. Richard menghela napas. Udah tidur kayaknya, pikirnya.

Lalu tiba-tiba dada kiri Richard terasa sakit. Sontak saja tangannya bergerak memegangi dadanya yang terasa sakit itu.

Gue memang harus panggil dokter untuk gue sekaligus Aliya, pikirnya. Dengan mata yang tertutup karena menahan sakit, tangan bebasnya pun bergerak hendak memencet tombol panggilan darurat. Namun sekonyong-konyong sebuah tangan menyentuh tombol tersebut lebih dahulu. Richard yang kaget spontan membuka mata. Didapatinya wajah lelaki aneh yang tak lagi asing di matanya.

"Eko," serunya datar. Ya, memang Eko yang mendadak seperti jelangkung jelangset; datang tak diundang, pulang tak tau jalan. (Pake maps dong, ya elah)

"Kenapa lo gak bilang tentang masalah lo ke gue? Selama ini lo anggap gue apa sih? Lo pikir gue cowok apaan?!" protes Eko. Richard terbengong. Setengah Shock. Setengahnya lagi jijik.

"Mana gue capek lagi nungguin urusan lo sama Aliya kelar. Lama banget lo berdua ngobrol! Ngapain sih? Bedah buku? Atau bedah hati?"

Richard melotot. "Maksudnya? Lo udah lama di sini?" Eko mengangguk-angguk.

"Jangan bilang kalau lo nguping?" panik Richard. Eko melemparkan senyum jahatnya. Richard menunggu jawaban. Namun, pertanyaannya belum sempat terjawab karena tiba-tiba dokter dan seorang perawat datang masuk ke ruangannya.

***

Matanya mengerjap-ngerjap. Baru saja terjaga dari tidurnya. Sesaat kemudian, matanya terbuka sempurna. Penglihatannya menangkap plafon berwarna merah muda. Perlahan ia beranjak duduk. Kepala yang terasa agak berat membuatnya kepayahan untuk bangkit. Tiba-tiba Mira yang membawa semangkup sup dan segelas air putih hangat, datang membantunya duduk. Sup dan air putih hangat yang ia bawa diletakkan di atas nakas.

"Loh? Kok lo ada di sini?" heran Aliya.

"Terus gue mau di mana lagi kalau gak di sini?" Mira duduk di sisi ranjang.

Aliya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Barulah ia sadar di mana dirinya berada. "Kok gue bisa di sini? Bukannya semalam gue di rumah sakit ya?"

Mira menghela napas lalu menjawab dengan santai, "Semalam lo pingsan ...."

"Apa? Pingsan?" Aliya menatap tak percaya. Mira mengangguk.

"Iya. Badan lo panas banget semalam. Lo lupa ya apa yang terjadi semalam?" Gantian Mira yang merasa heran.

Aliya memutar bola matanya. Mencoba mengingat kejadian semalam. Tetapi, dia tak mengingat apa pun kecuali momen saat bersama Richard saja. "Emang gue kenapa?"

"Beneran gak inget?" Mira mengorek kepastian.

"Iya. Kenapa sih?"

"Lo semalam pingsan, terus ya dirawat di rumah sakit. Tapi tiba-tiba lo bangun terus ngamuk pengen pulang ke rumah orang tua lo, pokoknya lo gak mau di rumah sakit, cuma gak mungkin juga ngantar lo pulang ke rumah. Jadi, gue bawa lo ke sini, " tutur Mira kemudian. Aliya mendengarkan dengan seksama. Anehnya, penjelasan Mira tak membuat ia mengingat tentang hal itu.

"Masa sih? Kok gue gak ingat sama sekali ya?"

"Lupakan. Namanya juga orang sakit. Mungkin lo memang lagi gak sadar waktu itu."

Aliya teringat sesuatu, tentang bagaimana ia merasa rindu untuk pulang ke rumah. Mungkin itu penyebab alam bawah sadarnya memerintahkan jasad kasarnya untuk ngotot pulang ke rumah.

"Sekarang lo dah baikan?" tanya Mira sembari menyentuh kening Aliya. Sorot matanya jelas menunjukkan perhatian yang benar-benar dari hati.

Aliya tersenyum kecil melihat teduhnya tatapan sahabatnya. "Kepala gue doang yang sakit," akunya.

"Oo. Tapi badan lo alhamdulillah udah gak panas lagi ya," Mira mengambil semangkuk sup ceker ayam buatannya. "Lo makan dulu ya. Gue buatin makanan kesukaan lo nih. Nanti habis makan lo minum obat," serunya dengan senyum merekah.

Mata Aliya berbinar. Haru. Senyumnya pun ikut merekah. "Makasih banyak. Suapin dong," manjanya. Mira tertawa kecil dan tanpa protes, ia pun menyuapi Aliya pelan-pelan.

"Ah, enak banget," puji Aliya.

"Iya dong siapa dulu yang masak."

"Mira gitu loh," celetuk Aliya.

Mereka pun tertawa renyah. "Oh ya gue nitip ya?" pinta Aliya.

"Nitip apa?"

"Nitip minumin obat gue. Gue males. Gue yang makan, elo yang minum obat dan gue yang sembuh. Ini namanya sahabat sejati," seloroh Aliya. Mira menyentil telinga Aliya dengan kuat. Aliya mengaduh kesakitan dan memegangi telinga yang ternodai oleh sentilan tangan Mira.

"Jangan ngebantah deh lo. Katanya gak suka sakit, tapi disuruh minum obat males," omel Mira.

"Iya bawel. Gue nurut." Aliya pasrah.

"Nah gitu dong. Oh ya lo udah tau kan kalau Reina meninggal? Gue dapat kabarnya di grup kampus. Kenapa sih lo gak bilang sama gue?"

Reina. Ah, Aliya ingat sesuatu. "Sekarang jam berapa? Gue harus ikut mengantarkan Reina ke pemakaman.

Mira memperlihatkan jam yang melingkar di tangan kirinya. Sontak Aliya membelalakkan mata. "Udah jam sepuluh!! Ampun, gue telat pake banget. Seharusnya gue jam enam tadi udah berangkat. Kenapa lo gak bangunin gue sih? Kan gue belum salat Subuh juga! Kok lo tega sih gak bangunin gue! Gimana dong ini??" histeris Aliya. Suaranya yang keras membuat Mira menutup telinganya.

"Bukannya dua hari yang lalu lo bilang lagi pms. Gue pikir masih makanya gak gue bangunin. Lagian tadi badan lo masih anget."

Aliya menepuk jidat. "Ah iya." Menghela napas berat. Sejurus kemudian berseru, "Tapi kan tetep aja seharusnya gue datang."

"Udah gak papa. Gue tadi datang kok ke sana. Nyampein kondisi lo. Mereka ngerti kok. Apalagi Richard," jelas Mira. Ia pun kembali sibuk menyuapi sup ke dalam mulut Aliya. Beberapa saat kemudian, sup tersebut telah habis tak bersisa. Mira membawa mangkuk sisa sup ke westafle dan mencucinya. Setelah itu, menyerahkan obat pemberian dokter kepada Aliya. Aliya pun meminumnya dengan raut wajah tampak ogah-ogahan.

Mira duduk berselonjor di ranjangnya sendiri. Sembari memalis ke arah Aliya, ia berkata, "Kasihan ya Reina. Meninggal dalam keadaan kafir."

Aliya terhenyak. Tiba-tiba saja kata-kata Richard terngiang di telinganya.

"Kalau alasan lo nolak karena gue gak punya agama, maka gue minta, tolong bikin gue jatuh cinta lagi sama agama elo sama seperti gue jatuh cinta ke lo."

Aliya membuang jauh pandangannya ke luar jendela kamar yang terbuka lebar. Mengembuskan napas berat. Memikirkan apa yang harus ia lakukan. Mendadak ia takut. Takut jika orang sebaik Richard terus jatuh ke jalan yang salah. Namun bisakah dia membuat Richard jatuh cinta kembali pada Islam? Sementara ia sendiri belum berislam secara kaffah. Ia belum benar-benar mereguk nikmatnya mencintai Allah atau bisa dibilang, dia belum jatuh cinta pada Allah. Salat yang selama ini ia jaga, hanyalah bentuk dari kewajiban saja bukan kecintaan. Lalu dia harus bagaimana?

"Aliya?" panggil Mira.

"Hmm," sahut Aliya tanpa menoleh.

"Udah seberapa jauh hubungan lo sama Richard?"

"Huh?"

***

Makasih buat yang udah baca, vote dan komen ;)

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Where stories live. Discover now