18. Hujan dan Air Mata

46 11 2
                                    

Beberapa detik yang lalu, dosen baru saja keluar kelas karena pelajaran telah usai. Para mahasiswa pun berbondong-bondong keluar kelas. Selepas ini mereka tidak ada jadwal kuliah lagi.

Setelah berkemas-kemas, Putri menghampiri Aliya. Duduk di sebelahnya. Untuk ke sekian kali, gadis itu mengajak Aliya pulang bareng. Namun untuk ke sekian kali pula ditolak. Dengan alasan klise; tidak mau merepotkan.

"Alaah lo nolak mulu mah. Sekali-kali gak apa-apa lah," bujuk Putri lagi. Menyelipkan protesnya.

"Iya Al. Bareng sama Putri gini." Dini yang kini berdiri di samping mereka menimpali. Risa tiba-tiba menggandeng lengannya dan mendengarkan perbincangan mereka.

"Enggak deh. Gak papa kok. Gue pulang sama Mira aja," alibi Aliya lagi.

"Loh, bukannya tadi lo bilang Mira hari ini pulang lebih lama ya?" Putri memicingkan matanya pada Aliya.


"Ah itu ...." Aliya gugup. Matanya dialihkan ke sembarang tempat asal tak bertemu tatap dengan ketiga temannya yang melemparkan sorot curiga, "tadi dia chat gue katanya bisa pulang bareng kok." Sebisa mungkin mencoba untuk berbicara tanpa tergagap.

Putri tak menepiskan sorot curiganya sama sekali. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Aliya, membuat Aliya spontan menarik kepalanya mundur. "Semenjak dua menjak balik dari panti, lo rada aneh ya. Gelagat lo selalu mencurigakan," desisnya tajam. Aliya menanggapinya dengan tertawa sumbang.

"Emang gue gimana? Gue buat apa? Ngaco lo ah." Bergegas ia bangkit berdiri dengan ransel yang sudah melekat di punggungnya. "Ayok jalan bareng sampe depan," ajaknya kemudian dengan rasa cemas kedoknya akan terbongkar.

Ketiga teman akrabnya itu pun mengintili langkahnya dengan hati penuh tanda tanya. Karena entah mengapa, Aliya bersikap berbeda semenjak kembali dari panti.

***

Seorang lelaki berkemeja kotak-kotak hijau, memberhentikan motor scoopy-nya tepat di depan halte bus.


"Ayo naik," serunya pada satu-satunya wanita yang duduk di halte itu. Wanita yang ternyata Aliya tersebut beranjak dari duduknya. Berjalan menghampiri lelaki yang tak lain adalah Richard. Setibanya di sisi jalan, ia berkata, "Tumben pake motor."

"Gak papa. Udah lama aja," sahutnya tenang. "Buruan. Langit gelap. Kayaknya mau hujan," ujarnya seraya memandangi langit yang mendadak diselimuti awan hitam. "Nih pake." Menyodorkan helm pada Aliya yang lantas mengangguk. Mengambil dan mengenakan helm. Lalu menaiki motor Richard. "Siapa suruh pake motor. Udah tau cuaca begini," komentarnya begitu duduk.

Richard menghela napas. "Maaf Tuan Putri," kelakarnya. Memerah malu pipi Aliya. Tanpa ia sadari Richard pun turut tersenyum. Sejurus kemudian melajukan motornya. Menyusuri jalanan Jakarta yang cukup ramai. Pelan-pelan saja ia mengendarai motor. Agak lama, kecanggungan menyelimuti keduanya sampai akhirnya Aliya membuka suara.

"Ngomong-ngomong suaminya Bunda Karin udah pulang belum ya?"


Sesaat Richard berdeham. Matanya melirik spion kiri yang memantulkan wajah Aliya. "Udah," jawabnya ala kadar. Tidak tau bagaimana caranya memperpanjang jawaban atau sekedar basa-basi saja.

Aliya hanya manggut-manggut. Dia pun sama bingungnya dengan Richard. Padahal sudah beberapa kali mereka dihadapkan dalam situasi berdua di satu kendaraan seperti ini⸻seperti saat mengerjakan tugas kuliah bersamamisalnya, tetapi tetap saja belum menghilangkan kecanggungan di antara keduanya. Akhirnya Aliya memutuskan untuk diam saja sepanjang perjalanan menuju ke panti. Menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. Diam-diam, Richard berulang kali melirik pantulan wajah Aliya di spion kiri motornya dan tersenyum begitu manis.

***

Tepat di warteg yang sama, tempat di mana hubungan mereka sudah layak dianggap sebagai teman bukan lagi seperti Tom & Jery, Richard memberhentikan motornya.

"Mau ngapain?" tanya Aliya bingung.

"Laper," jawabnya sembari melepaskan helm.

"Kenapa gak makan di sana aja?"

"Gue lapernya sekarang Aliya."

Aliya ber-ooh ria. Ia pun turun dari motor dan melepaskan helmnya. Tetapi ada masalah saat mencoba melepaskan helm itu. Dan lebih bermasalah lagi ketika tiba-tiba Richard membantunya melepaskan helm tersebut. Ya, jantungnya yang bermasalah. Wajahnya seketika memanas.

"Udah ayok," Richard menarik tangan Aliya. Tak sabar dengan kebengongan Aliya yang tak mengerti situasi dan kondisi, alias sikon.

Tiba-tiba Aliya menarik tangan yang dipegang oleh Richard hingga menyebabkan pria itu refleks berbalik badan. Keningnya berkerut saat matanya menangkap raut wajah Aliya yang berubah panik dan memerah bak kepiting rebus. "Why?" tanyanya kemudian.

"Lo gak boleh pegang-pegang tangan gue. Kata Mira gak boleh! Kalo cowok sama cewek pegangan tangan nanti ceweknya bisa hamil, gitu kata Mira. Gue gak maulah. Pokoknya lo jangan sentuh-sentuh gue!" cerocos Aliya. Spontan Richard tergelitik rasa geli. Pipinya gelembung menahan tawa.

Love Is Sacrifice (Sedang Revisi)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora