22 | AGAIN

37 21 2
                                    

Pagi ini, lagi-lagi hanya mereka bertiga yang tegak bersisian dengan kepala tertunduk—dimarahi dan dinasehati selayaknya bocah lima tahun. Merekalah Verena, Soobin dan Kai.

“Kalian membolos, kan? Orang tua Kang Taehyun menghubungi kalau Taehyun mengalami kecelakaan bahkan sebelum jam pulang! Orang tua Choi Beomgyu juga sempat menyalahkan pihak sekolah atas hilangnya anak mereka dua hari yang lalu. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian semua, ha!” Bapak guru bimbingan konseling bernama lengkap Kim Jong Dae itu menatap dengan mata berkilat marah, dengan dengusan ia melanjutkan, “Tegakkan kepala kalian! Jawab saya! Yak, Choi Soobin!”

Soobin langsung mendongak detik itu juga, “Maafkan kami, Pak. Kami tahu ini kesalahan kami. Bapak boleh menghukum kami,” lirihnya, maniknya yang menyorot kerlip biru terang itu sempat membuat sang guru terenyuh.

Pak Jongdae kini mengalihkan perhatian kepada lelaki di samping Soobin, “Huening Kai.”

“Ya, Pak?” Kai melirik takut-takut. Mata biru lagi.

Sang guru mulai berdeham tak nyaman, “Ehm, kau ini murid baru, bukan? Mengapa berani berulah dengan membolos?”

Kai menggigit bibir bawahnya, menunduk lagi. “Maaf, Pak. Saya salah.”

Kini sang guru menatap pada satu-satunya anak perempuan. “Kim Verena.”

“Ya, Pak?”

Ah, kali ini ungu.

Pak Jongdae langsung membuang napas gusar dan menarik kursinya untuk maju. Mengetuk-ngetukkan jemari pada permukaan meja sebentar, kemudian mengelus dagunya. “Kalian ini ... Bersaudara? Sepupu?”

Tiga murid yang sedang dalam status bermasalah itu langsung saling lempar pandangan tidak terima.

“Saya? Dengan mereka ini?” ucap ketiganya, terlalu serentak bagaikan telah terikat batin.

Pak Jongdae mengangguk. “Iya. Mata kalian warna-warni bagai gulali. Dan saya ingat betul mata Kang Taehyun dan Choi bersaudara juga berwarna biru. Kalian berenam juga kerap terlihat bersama akhir-akhir ini. Apa hubungan antara kalian?”

Tiga anak disana meneguk ludahnya masing-masing. Bingung memilih kalimat jawaban paling tepat. Kami bertiga adalah bangsawan! Harusnya berkata demikian saja biar urusannya kelar. Tapi, mereka jelas tahu tak banyak guru yang mempercayai garis keturunan demikian dan cenderung mengabaikan perbedaan kasta yang masih hadir di tengah generasi sekarang.

“Kami ... satu nenek moyang.” Kai menjawab sekenanya, hampir saja Verena menoyor kepala belakangnya karena jawaban mengawur itu.

“Bukankah kita para manusia memang satu nenek moyang? Maksud saya, homo sapiens dan lain sebagainya itu. Itulah yang...”

“Kami hanya keturunan campuran yang kebetulan menghasilkan gen warna mata seperti ini. Memang sama persis, tapi kami sama sekali tak ada hubungan darah, keluarga atau apapun, Pak,” jelas Soobin, setidaknya lebih konkrit.

Tidak ada hubungan keluarga, namun satu darah khas bangsawan. Sama-sama bangsawan, namun terdapat tingkatan kasta.

Mereka terlahir berbeda dengan anak lainnya, bersama kemampuan masing-masing yang di luar nalar pula.

Sejenak Pak Jongdae berpikir keras, entah mengapa otaknya malah mengaitkan dengan sistem darah-darahan pada film drakula dan vampir yang sering ia tonton. “Yang penting, kalian bukan drakula, bukan?”

“Tentu bukan, Pak.” Verena sudah terkekeh pelan.

“Oke, baiklah. Bagaimanapun yang terpenting, saya berharap agar kejadian ini tak lagi terulang. Biarlah itu menjadi aksi bolos terakhir kalian. Reputasi kalian di sekolah ini sudah baik, ada baiknya jika kalian menjaganya dengan baik pula.” Pak Jongdae mengusap-usap dahi kala memikirkan secara cepat hukuman apa yang ketiga murid disana dapatkan. “Nah, sekarang sebagai hukumannya kalian harus menyapu halaman di sekeliling sekolah.”

FALSITY Where stories live. Discover now