29 km.

109 21 0
                                    

Sudah dua dus air mineral Oca bawa sendirian. Baginya itu tak masalah demi anggotanya juga lagian kok. Tapi ia juga tak munafik bahwa ia saat ini sangat kelelehan, padahal baru saja satu kilometer keringatnya sudah bercucuran. Ia lalu memilih berjongkok sambil meminum air mineral gelasan dengan tangan kiri memegang gelas air mineral yang sudah kosong. Napasnya tak beraturan.

"Baru satu kilo aja udah tepar kamu, O."

Gadis itu memanyunkan bibir. "Oca, Pak. Capek banget lari dari sekolah sambil bawa kardus air mineral."

Pak Ridho meremehkan. "Lagian sok gaya lari sambil bawa kardus air," ujar beliau lalu berlari dengan muridnya kembali.

Mata gadis itu mengedarkan ke seluruh tempat. Di sini sangat ramai dari sekolah mana pun dan warga sekitar juga ada. Tapi yang sedang ia cari bukanlah cowok-cowok ganteng, melainkan pemuda cenayang itu.

"Ca, bagi air dong tiga."

Oca mendongak, matanya ia sipitkan karena silau akibat cahaya matahari pagi. "Oh? Ambil aja, Ndu."

Dengan cepat Pandu ikut berjongkok dan mengambil tiga gelas air mineral itu. Jika seperti ini Oca terlihat seperti pedagang asongan yang berjongkok menjajakan dagangannya.

"Ndu, Fando?"

Pemuda itu terus meminum air mineralnya hingga hampir tandas. Lalu menjawab, "Nggak datang, dia punya asma."

Netra gadis itu sedikit membelalak. "Parah banget ya?"

Pandu mengangkat bahu. "Dari kecil." sahutnya kemudian pergi meninggalkan.

Kemudian Oca mengambil ponsel pintarnya pada saku celana training, hendak menghubungi pemuda itu.

Oca : Fan, kok gak ikut sih?
Seru tau ada lomba makan genjer, lo pasti juara kalo ikutan.

Terkirim. Ia menghembuskan napasnya, setelah itu kembali berdiri dan berlari dengan temannya. Meninggalkan kardus kosong bekas air mineral yang telah dipungut oleh pemulung.


***

Fando meletakkan kembali dadu yang sempat ia mainkan. Hanya sekedar di putar-putar di tangan. Memikirkan betapa serunya sang teman-teman mengikuti acara hari anti kendaraan saat ini. Jujur saja, ia juga ingin mengikuti tapi apa daya dengan penyakitnya yang baru saja berjalan kaki satu kilometer pun sudah kambuh.


Gebrakan pintu lemari kayu miliknya mendominasi ruangan kamar Fando. Ia menoleh sekilas, sudah tahu itu ulah siapa.

"Dimana, Kak?"

Angin kencang menyambar wajah tenang pemuda itu dengan tiba-tiba.

Fando berdecak. "Jangan rese bisa."

Bukannya suatu bisikkan yang ia dapat. Kali ini sang kakak memberinya cekikikan yang jika didengar oleh telinga siapa pun terdengar halus nan lembut tapi bisa membangunkan bulu kuduk.

Kursi belajar milik Fando kini gantian yang bergerak berputar pelan. Seperti ada yang menduduki kursi itu. Fando berjalan menghampiri kursi belajarnya. Kemudian membalikkan kursi itu di lantai.

"Males bercanda," ucapnya dengan nada dingin.

Frin kembali berpindah tempat, kepalanya terus ia gerakkan perlahan dengan senyum yang merekah di bibir pucatnya. Kegiatannya selama satu tahun ini adalah hanya mengganggu dan menggoda manusia. Jari jemari kaki dan tangannya mencengkram kuat dinding kamar. Bergelayar dari sudut ruangan ke sudut yang lain.

72 Days Cenayang. (completed) ✔Where stories live. Discover now