z1

124 23 6
                                    

Di sebuah kafe pertigaan jalan. Lima orang anak SMA duduk melingkar saling berhadapan. Salah satu dari mereka memiliki aura yang sangat mendominasi dengan sorot mata hitam pekat nan dingin. Tangannya memutar-mutar ponsel sembari menatap tajam satu-persatu dari mereka. "Pertemanan kalian itu kekanak-kanakan," ucapnya.

Mereka masih terdiam, tak mengerti apa yang Fando ingin bicarakan. Netra Elang itu beralih menatap seorang pemuda yang ada di sebelah kirinya. "Pandu, kenapa lo jauhin Oca?" Pemuda yang diberi pertanyaan menoleh kaget.

"Ya, ya enggak juga sih."

"Karena dijanjikan bakal masuk univ favorit dan harus jauhin Oca karena Oca turun nilai. Itu jawaban yang bener 'kan?"

Semuanya terkejut. Seolah lupa akan fakta bahwa pemuda di depannya kini sering disebut cenayang.

"Hah? Hahaha enggaklah yakali," kata Chika yang terdengar gugup.

"Chika, tante dan om lo dosen senior di univ favorit itu. Lo punya janji sama mereka bakal masuk univnya dengan empat teman lo. Tapi Oca turun nilai dan ngak menjanjikan. Terus lo ngehasut mereka bertiga deh."

"Nggak usah sok tau lo."

Fando memajukan sedikit kursinya. "Jawabannya tinggal iya atau enggak."

Namun, gadis itu tetap berusaha terlihat santai. "Enggak."

"Oke. Berarti iya."

Rahil menengahi. "Fan, lo ngapain deh ngurusin urusan kita?"

"Keberatan?"

Dewa ikut menyahut seolah tak ingin kalah juga, "Lagian Oca juga nggak apa-apa. Bahagia-bahagia aja dia hidupnya."

Fando mengangkat satu alis. "Wow, are you seriously? Padahal lo yang setiap hari ketemu dia. Tapi lo sendiri yang nggak mengenali dia?" Ia menjeda sejenak, "Lengannya yang ditutupi jaket itu ada banyak sayatan."

"Dia nggak kelihatan kayak yang lo omongin," ujar Chika.

Ia mengangguk. "Antara dia yang sembunyiin atau kalian yang emang pada dasarnya nggak se-care itu."

"Dia cuma minta apa sih? Pelukan 'kan? Kenapa kayaknya sesusah itu buat ngasih?" Fando menatap Dewa yang kini tengah sibuk menggigiti sedotan. "Dewa, kenapa lo milih leave group disaat Oca minta pelukan?"

"Kebanyakan grup, hp gue lemot."

Nyatanya itu bohong. Fando sedikit terkekeh mendengar jawaban dari pemuda itu. Hanya dengan suasana yang ia rasakan Fando dapat membaca alasan itu semua. "Kadang, disetiap pertemanan itu harus melibatkan simbiosis mutualisme. Ada timbal balik yang merata, biar nggak ada yang rugi dan berakhir perhitungan," ujar Fando.

"Lo nyindir gue?" Rahil bertanya tiba-tiba.

Pemuda itu tak menjawab. Ia masih ingin berbicara. "Dan gratisin beberapa mangkok es serut setiap minggunya bisa buat rugi juga. Belum yang minta nambah dua mangkok lagi ya 'kan, Pandu?"

Namun kenyataannya bukan sebuah jawaban 'iya' yang didapatkan melainkan sebuah decakan serta ucapan ketus, "To the point langsung aja, Fan."

"Lah, emang lo pikir dari tadi gue ngapain?"

Chika menyela lebih dulu. "Simbiosis mutualisme, tapi nggak jarang berubah jadi simbiosis parasitisme sih."

Raut wajah pemuda cenayang itu seketika berubah masam. Jari-jari yang sedari tadi saling bertaut kini berubah menjadi mengetuk-ngetuk meja. Netra hitamnya pun semakin pekat menusuk pada setiap mata yang ia tatap. "Posisi lo di parasitisme?"

72 Days Cenayang. (completed) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang