Mablas dua

132 22 10
                                    

Seminar ke dua telah dimulai malam ini pukul 19.18 Waktu Indonesia Barat. Fando dan Oca memakai hoodie seragam yang sudah diberikan oleh sekolah masing-masing.

Oca mencatat pertanyaan dan jawaban semua dengan ringkas, malam ini style rambut yang ia pilih adala kepang satu. Membuat leher jenjangnya terlihat indah. Itu lah yang sedari tadi Fando pikirkan. Hingga ia tak sadar bahwa dirinya sedang diberi pertanyaan oleh sang pembawa acara.

"Hallo, perkenalkan nama kamu." Fando masih bergeming. Namun tak lama kakinya sengaja ditendang oleh Oca membuat ia kembali tersadar.

"Fando, perkenalkan nama saya Arfando dari sekolah SMA Dions dua belas."

"Apa kamu pernah jadi bahan pembulian di sekolah atau di tempat lain? Jika tidak keberatan bisakah berbagi cerita dengan kami?"

Fando terdiam sejenak, lalu mengambil mikrofon yang diberikan pembawa acara tersebut. "Saya nggak yakin ini bisa dibilang pembulian atau bukan. Waktu saya duduk di kelas tujuh sekolah menengah pertama sampai saat ini. Saya dijauhi banyak teman dengan alasan yang kurang masuk akal."

"Kok ada ya yang mau jauhin cogan kayak dia." Bisikan seseorang masih dapat Fando dengar.

"Terlepas dari seberapa sempurna saya, anda atau kita. Bullying itu bener-bener nyata, dan nggak memandang latar belakang. Baik atau jahat, kaya atau miskin, tua atau muda, dan lain-lain," Ia menjeda sejenak ucapannya.

"Bisa aja ucapan kita hari ini, kemarin, atau mungkin besok bisa berdampak negatif pada mental seseorang. Tergantung aja, kalo kita sama-sama tahu mana yang baik dikeluarkan dan mana yang nggak perlu dikeluarkan."

Ia terkekeh samar. "To be honest, saya pernah ada di posisi keduanya. Sampai korban bullying saya milih keluar dari sekolah. Tapi sekarang malah saya yang jadi korban juga, this like a karma? Nggak juga. Kehidupan 'kan berputar. Tapi saya mikir, 'Oh begini rasanya." Bener-bener capek. Saat kalian terbiasa hidup normal sebelum adanya bullying, tiba-tiba itu hilang semua cuma karena satu masalah sekecil wijen."

Fando melirik sekilas Oca yang kini tengah menatapnya. "Dan bullying itu nggak melulu tentang sikap kasar atau perlakuan yang diberikan si pembuli ini. Saat bicara, saat mengobrol dengan korban atau juga komentar di media sosial. Ya kalau kalian buli saya dampaknya bisa naikin followers instagram saya ya nggak apa-apa dikit. Ini mah ninggalin sakit hati, mental illness, pikiran, beban hidup banget tau nggak sih."

Beberapa senyuman ditujukkan kepada pemuda tersebut. "Bercanda. Masa mental sendiri disama-samain sama followers." Fando mengulum bibirnya sejenak lalu kembali melanjutkan, "Saya punya kakak perempuan. Dia pernah bilang, kesalahan apapun itu bakal selalu diingat oleh orang lain sampai kapanpun walau memang cuma sekecil biji wijen. Apalagi yang punya masalah di media sosial, itu lebih beresiko karena jejak digital nggak akan pernah luntur. Beliau juga pernah bilang, penindasan yang paling menakutkan bagi remaja itu dalam lingkaran keluarganya sendiri."

Gemuruh tepuk tangan membuatnya kembali menjeda ucapan. "Keluarga itu seharusnya jadi rumah nomor satu tempat pulangnya kita, tempat istirahat kita. Tapi kalau keluarga saja ikutan menindas siapa lagi yang dijadikan pegangan?"

Pemuda dengan almameter biru mengangkat tangan membuat Fando mempersilahkan ia untuk berbicara. "The gods be with you," Ujarnya.

Fando mengangguk paham. Kemudian menanggapi, "That's it. Kalimat itu nggak pernah keluar dari pikiran saya kala itu. Sampai akhirnya kepikiran sesuatu, 'Gue cuma bersama Tuhan di sini. Tuhan yang jadi rumah gue, yang jadi tempat keluh kesah. Terus kenapa gue masih ada di dunia kalau di sini aja gue nggak ada rumah untuk singgah? Lebih baik dong gue ketemu Tuhan cepat?' Gue harap lo nangkep apa yang gue maksud, Bro." Ucapannya disambut hangat dan sebuah tepukan ia dapatkan dari pemuda tadi.

72 Days Cenayang. (completed) ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora