1 + 1 = 11

148 26 10
                                    

Fando menghentikan motornya tepat di depan rumah bertingkat berwarna oren. Ia menurunkan seseorang.

"Makasih."

Pemuda itu tak menatapnya, melihat sekilas saja tidak. Dia benar-benar cuek dan dingin. Setelah dirasa sang penumpang sudah turun dari motor, ia kembali menyalakan mesin dan pergi tanpa meinggalkan sepatah kata pun.

Gadis itu mendengus sebal. "Dasar cenayang stress." Ia mengumpat. Kemudian melenggang pergi memasuki istananya.

Rumah berdesain sangat unik dengan warna dinding oren dan bagian lantai dua dipenuhi dengan tumbuhan tanaman hias. Jika saja bentuknya bulat maka akan seperti buah jeruk.

Kaki kanannya sudah menginjak bagian ruang tamu rumah. Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan seseorang yang menghampiri.

"Kamu abis pulang sama siapa, Kak?" Ia tersentak, tapi tak lama ia meringis sembari menggaruk surai hitamnya.

Oca menyahut, "Temen kok, Bun."

Sang Bunda menatap penuh selidik. Diikuti dengan mengangguk angguk samar.

"Bunda gak mau ya Kak kamu pacaran dulu, diumur kamu yang masih remaja gini mending perbanyak prestasi dulu soal pacaran bisa nanti-nanti." ujar sang Bunda.

Oca mengangguk paham dengan senyuman. "Iya, Bun, kakak paham. Lagian kakak juga maunya nggak langsung pacaran."

"Maunya langsung nikah?"

"Langsung cerai hehe." Sahutnya.

Sang Bunda menjewer telinga kanannya gemas. "Kamu itu kalo di bilangin dibawa bercanda mulu."

Anak gadisnya meringis. "Aduh Bun, maaf jangan salahin aku dong salahin ayah yang kelakuannya kayak aku juga."

"Enak aja, Ayah waktu muda mah kalem-kalem maco, tinggi, tegap, perkasa." Ayah menyahut tak terima.

Bunda mengangguk. "Ayah kamu dulu puitis banget, hari guru, hari kemerdekaan, hari raya selalu buat puisi."

Oca ternganga tak menyangka ternyata sang ayah jago juga dalam membuat puisi. "Seriusan Bun? Ayah selalu buat puisi untuk hari-hari istimewa itu?"

"Bukanlah, ya buat Bunda."

Ayah Oca menyesap secangkir kopi yang ada di tangannya. Oca baru tersadar, tumben sekali kedua orang tuanya lengkap berada di rumah. Biasanya mereka selalu tidak bersamaan pulang ke rumah.

"Hari ini hari terakhir kamu ujian semester 'kan, Kak?"

Oca menelan salivanya gugup. "Iya, Bun."

"Harus ranking satu loh pokoknya."

Sang anak belum memberi balasan. Terlalu bingung jika ia membalas iya namun nanti malah mengecewakan. Begitulah sang bunda. Selalu ingin nomor satu. Padahal Oca saja tidak begitu peduli dengan ranking-rankingan nilai seperti itu.

Ia memilih membalas dengan senyuman. Setelah itu berpamitan pergi ke kamar.

***

"Arfando."

Mendengar namanya di panggil oleh seseorang, ia menoleh ke belakang atau lebih tepatnya kepada sumber suara.

Terlihat seorang wanita berumur 40 tahunan berjalan menghampirinya dengan tas kulit di lengan. Baju kantor dan koper kecil yang dibawakan oleh salah satu asisten rumah tangga mereka.

Fando tau apa yang ingin dia lakukan dan apa yang ingin dia omongkan. Ia tak memberi reaksi apapun.

"Mama ada kerjaan di luar kota. Malam ini harus sudah sampai. Tadi Mama juga udah telpon Papa, katanya dua hari lagi dia baru bisa pulang. Kamu gapapa 'kan di rumah sendiri lagi?" 

72 Days Cenayang. (completed) ✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat