Twenty tri II

123 23 0
                                    

Jangan lupa play mulmed-nya dan baca artinya. Happy reading, aku cinta kalian.

***

"Boomerang di kapan pun itu, di saat gue sendiri kejadian tadi gue takut keulang lagi."

Oca menahan napasnya sebentar lalu membuangnya perlahan, "Lima jam lagi pergantian hari, bisa nggak sih seluruh jam di dunia berhenti buat gue?"

"Enggak bisa, lo bukan anak Presiden soalnya." sahut Fando santai.

Gadis itu tak mengindahkan ucapan Fando. Matanya kembali berkaca-kaca terlihat dari samping yang hanya terkena pancaran cahaya lampu taman. "Jadi, besok tolong jangan bangunin gue lagi."

Tiba-tiba benda asing memasuki telinga kirinya membuat ia menoleh ke samping. Pemuda itu tengah menatap sembari memakai earphone di telinga kanannya. Mereka memakai satu earphone untuk berdua.

Fando tersenyum simpul. "Dengerin lagunya, ini ada artinya juga bisa sekalian lo baca," ujarnya sembari menyerahkan ponsel kepada Oca.

Oca mengambil handphone itu melihat sebentar judul lagu yang Fando berikan. 00:00 (Zero O'clock) by Bts.

Ia sudah tahu jelas lagu apa itu. Lagu yang dinyanyikan dengan bahasa korea oleh boyband asal Korea Selatan. Tanpa pikir panjang pula Oca mulai membaca lirik terjemahan lagu itu. Baru dapat tiga bait jiwanya sudah merasa tertampar.

Tetesan air berhasil melewati pipi tirus gadis itu. Fando memposisikan tubuhnya miring, netra pekatnya menatap lekat-lekat wajah sedih sosok itu. Ingin sekali rasanya mengusap aliran air itu namun ia biarkan agar Oca menemukan ketenangannya malam ini.

Fando terkekeh melihat bibir gadis itu bernyanyi kecil namun tidak sesuai dengan bahasa yang lagu itu gunakan. Gadis itu bernyanyi asal, yang terpenting nadanya sama, pikir Oca.

Gadis itu mengusap pipinya sendiri dengan tangan kanan yang menyerahkan ponsel kepada Fando.

"Udah?" Oca mengangguk.

"Semuanya nggak akan berakhir, nggak akan berubah, nggak akan berhenti. Tapi, di lima jam yang akan datang nanti tepat di pukul 00:00, lo punya hari baru, harapan baru dan kesempatan yang baru."

Gadis itu menghembuskan napas. "Gimana?" Fando bertanya.

"Sedikit tenang, makasih," ujar Oca.

Fando mengangguk sembari mengulas senyum. "Sama-sama."

"Bukan buat lo. Buat yang bikin lagu ini." Oca menyahut dengan suara masih sedikit terisak.

Pemuda itu menyimpan kembali ponselnya lalu memilih bangkit. "Udah, gue mau balik, ngantuk. Lo mau pulang nggak?"

Oca menggeleng.

"Yaudah, tapi nanti kalo ada cewek putih nanyain anaknya, jawab aja ular melingkar di atas pagar ember bocor war wer wor."

"Itu apaan?"

Fando mengangkat bahunya sembari mengambil jaket di atas kursi taman. "Mantra kali, jawab aja begitu."

"Oke."

"Gue balik ya, jangan malem-malem di sini. Nih, pake aja biar nggak dingin," Fando berujar sembari melempar jaketnya yang mendarat tepat di pangkuan gadis itu.

Oca menatap kepergian Fando. Sebenarnya ada rasa tak ikhlas di dirinya saat pemuda itu semakin lama semakin menghilang dari penglihatan. Tapi di sisi lain dirinya butuh waktu sendiri.

Ia menunduk, menatap jaket yang diberi oleh pemuda itu. Harumnya rasa vanilla. Ia dibuat berpikir di malam hari.

"Kenapa ya cowok ganteng parfumnya rasa vanilla?"

Ia menyium dalam-dalam jaket itu. "Ya nggak cocok juga sih cowok ganteng parfumnya minyak GPU."

"Permisi."

"Dipikir-pikir cocok aja sih orang ganteng diapain pun tetep cakep."

"Permisi."

Oca menoleh melihat seorang wanita berdiri dibelakangnya.

"Lihat anak saya nggak, Dek? Tadi lari-larian ke sini."

Oca menggigit bibirnya, kemudian menggeleng. Tanpa berucap lagi wanita itu pergi begitu saja. Namun saat langkahnya baru genap dua, rambut panjangnya sudah lebih dulu ditarik oleh Oca.

Saat wanita itu hendak menangkap Oca. Ternyata gadis itu sudah lebih dulu berlari terbirit-birit menjauhi dirinya.

***

Oca menidurkan tubuhnya di atas kasur. Netranya menatap lurus langit-langit kamar. Mengingatkan akan malam itu, saat perutnya terasa kram dan tertidur di lantai.

Bayangannya buyar saat pintu kamar bersuara seperti ada orang yang hendak masuk. "Belum tidur, Ca?"

Oca memposisikan tubuhnya duduk. "Belum, Kak."

Calvin memilih duduk di ujung kasur milik sang adik. "Sini kenapa sih Kak samping gue, jangan di ujung gitu kayak orang mau malam pertamaan aja."

Yang lebih tua terkekeh. "Kalo udah songong begini sama gue berarti udah baik-baik aja. Ya?"

"Nope."

Calvin tersenyum kecut. "Mau cerita?"

Oca mengangguk. "Kemarin malem gue mimpiin kakek, Kak. Kakek kangen kita, sama Naufal. Makanya gue mau nemuin kakek tadi."

"Besok kita ke makam kakek ya," ucap Calvin sembari mengelus sayang rambut sang adik.

"Lo nggak ada jadwal bimbingan mata kuliah, Kak? Nggak balik ke kosan lo?"

"Males, di sana lagi ada yang hajatan semingguan penuh campur sarian berisik banget."

Oca tertawa. "Enak lah, bisa numpang makan rendang di sana."

"Ya kalo gue tau ada rendang malam ini juga gue balik. Temen kosan gue kemarin coba masakannya cuma capcay doang sama acar."

Oca kembali tertawa.

"Udah lo tidur ya, besok sekolah gue anter, pulang sekolah kita ke makam kakek. Oke?"

"Siap!"

Calvin menatap sayang pada adik perempuan satu-satunya ini. Terkadang masih berperilaku manja. Namun, juga terkadang terlihat mandiri.

Beberapa kumpulan memori di masalalu kala teman sejatinnya hanyalah Oca saja membuat Calvin menyesal telah ikut menekan sang adik, beberapa minggu lalu. Sungguh tak terlintas di pikirannya bahwa setiap manusia mempunyai porsi masing-masing.

"Oca, jangan lupain peran gue. Gue abang lo, butuh sesuatu bilang aja. Gue emang nggak bisa harus mantau lo kayak dulu waktu lo kecil, tapi gue masih bisa denger cerita lo," ia berujar lembut.

Jelas ucapan itu membuat Oca merangkak menghampiri kemudian menghambur dalam pelukan pemuda berumur 22 tahun itu.

-----
Terima kasih!

72 Days Cenayang. (completed) ✔Where stories live. Discover now