Ia menyengir, "Sebenernya mah gue netral aja gitu, kadang make logat Sunda biar lucu bukannya tiap hari kayak gitu,"

Aku terkekeh mendengar suara Dylan berubah menjadi suara netral dan benar-benar berbeda. Suaranya sangat berat melebihi Gaffriel, oh ya Gaffriel mempunyai suara berat layaknya om-om nackal. "Ooh biar humoris-humoris gitu?"

Dylan mengangguk dalam kekehan, "He'em gitu deh. Btw gue senang Bang Arden bisa kembali merasa dicintai dan gue senang Bang Arden dapetin lo,"

Aku mengernyit heran, "Hah? Maksudnya seneng dapetin gue?"

"Iya... lo kelihatannya setia dan bukan yang main-main, apalagi banyak mau,"

"Tau darimana? Dari hasil menjelajahi ciwi-ciwi?" Tanyaku dalam tawa mengingat Arden selalu mengucapkan Dylan adalah Fuckboy Bandung. "Haah... iya bener itu, pasti Bang Arden ngomongin gue kurang ajar."

"Jadi... lo belum punya pacar?" Entahlah tapi bibirku gatal ingin menanyakan ini.

"Sebenernya mah udah ada yang pas, yang beda dari yang lain cuma dia galak pisan suka takut aing kalo mau deketin tuh,"

Ternyata benar orang ganteng gak suka sama perempuan yang suka sama dia, tapi suka sama perempuan yang gak suka sama dia. Dari sini aku paham kenapa Cameron suka kepadaku karena berbeda dari para siswi lain, aku siswi yang paling benci dengannya hingga ia senang membuatku tambah kesal kepadanya karena itu cara dia untuk selalu ada di dihidupku. Aku baru sadar.

"Jadi lo gak ada interaksi sama dia?"

"Ada dong,"

"Apa?"

"Usilin dia sampe ngamuk di kelas, teriak-teriakan,"

Ya, apa yang Dylan lakukan sama persis seperti Cameron lakukan kepadaku. Aku jadi ingat bagaimana dulu ia bisa-bisanya menjadikanku babunya hingga menyuapi dan buka lapak catering di sekolah. Aku rindu masa itu seketika padahal dulu itu adalah hal yang paling kuingat karena aku sangat membencimu Cam.

Seketika senyumku mengembang, menepuk pundak Dylan beberapa kali hingga lelaki itu menoleh menatapku heran. "Pastiin temen lo gak ada yang anterin dia pulang ya, dan pastiin suatu saat lo bisa jadi orang yang berbeda. Jangan terus jadi orang yang dia benci, karena itu cara yang salah." Kataku dengan nada penuh arti yang kupastikan Dylan terheran hingga dia hanya mengangguk setuju. Kuharap dia benar-benar melakukan seperti apa yang kubilang.

"Woy! Cailah tegang amat lo dua, nih minum!"

Siang itu setelah sarapan selesai basket kami memilih pulang karena sore nanti aku akan bertemu dengan Bang Drico dan Kak Syira sebelum kembali pulang ke Jakarta. Beberapa meter lagi kami sampai hingga telpon Arden berbunyi disana, aku tidak ambil pusing dan terus mengobrol dengan Dylan sampai Arden membawa mobil kencang sekali membuatku heran. Aku tidak tau ada apa di telpon itu hingga wajah Arden berubah pucat dan membawa mobilnya kencang, bahkan untuk aku bertanya rasanya takut salah. Sampai di depan rumah Arden menoleh ke belakang menatap Dylan yang sedang bermain di ponselnya, "Dyl, parkirin mobil gue masuk duluan," ujarnya.

Refleks ikut turun Arden memegang lenganku cukup erat, "Kamu disini aja sampe mobilnya ke parkir, ya? Aku turun duluan." Ucapnya tegas dan mengicir pergi.

Dylan mengganti posisi duduknya ke depan setir memulai markir mobilnya ke garasi. "Arden kenapa Dyl? Kok tegang gitu? Terus suruh gue sama lo?"

Dylan menggidik bahu, "Nggak tau Kak, gue juga bingung gak biasanya doi begitu. Bentar deh gue markir dulu cepet biar kita tau ada apa," kata Dylan sama bingung sepertiku.

Selesai memarkir aku turun dan beriringan dengan Dylan, di ambang pintu aku bisa melihat sosok gadis berambut pendek memeluk Arden dengan tangisan, disana Mama Arden hanya berdiri bingung harus berbuat apa. Dylan juga tampak pucat seketika, "Kak, mau keluar aja?"

"Ada apa emang?"

"Di luar dulu yuk, beli batagor depan komplek sumpah enak banget,"

"Hah..?" Sebenarnya aku ingin tahu ada apa cuma aku harus mengerti keadaan dan mengikuti seperti apa yang Dylan bilang padaku.

✨✨✨

"Hai! Batagornya enak gak Na?"

Aku mendongak kaget mendapati Arden dengan perempuan yang masih saat ini aku bingungkan dia siapa. Dylan juga tampak terkejut entah karena apa. "Eh... iya enak Den," sahutku singkat.

Gadis di sebelah Arden tersenyum kepadaku, "Hai, Anna, ya? Gue Raven,"

Detik itu juga wajahku berubah datar tidak tau harus bagaimana. Dia Raven? Gadis di depanku Raven? Dia yang tadi memeluk Arden? Dia masalalu Arden?

"Hai Dylan! Aku pamit pulang, kapan-kapan kita ketemuan ya?"

Aku menoleh ke arah Dylan yang mengangguk dalam senyum dengan kikuk, "Ah... iya Teh siap kabar-kabaran aja, hati-hati Teh,"

Raven tersenyum manis, ia memegang pundakku dan pergi meninggalkanku dengan Dylan kembali sementara Arden mengantar Raven ke taksi yang ia pesan. "Dia Raven?" Tanyaku pada Dylan tanpa menatapnya.

"Iyaa Kak, kayaknya dia abis nyelesain masalah sama Bang Arden yang benar,"

"Hah? Emangnya dulu?"

"Dulu cuma dateng minta maaf, nangis, terus pergi deh,"

Aku mengangguk tenggerokanku seketika susah untuk menelan batagor yang kumakan. "Gue denger-denger juga dia lagi mau cerai tapi nggak tau juga sih, tau ah banyak drama dia. Tenang aja Kak gue tim Kak Anna kok,"

Aku tersenyum tidak kembali bertanya ataupun menanggapi ucapan Dylan. Lantas pelukan tadi ada makna nya?

Langit biru berubah menjadi jingga dan kini aku sudah berada di mobil untuk pulang ke Jakarta karna Bang Drico ada urusan mendadak, seperti perkiraan kutadi. Sejak saat Arden kembali kerumah ia sama sekali tidak mengungkit kenapa Raven kerumah dan memeluknya dan tentu aku tidak bertanya karena untukku itu adalah hak Arden untuk bercerita. Aku berusaha sebisaku untuk tetap berpikir jernih dan seperti biasa saja walaupun sebenarnya diriku sangat meronta-ronta ingin tahu apa yang terjadi. Percayalah ini menyebalkan sekali.

"Anna... we're okay isn't?"

"Hah? Kenapa nanya gitu?" Percayalah pura-pura seakaan baik-baik saja adalah hal yang menyebalkan.

"Gapapa nanya aja,"

Aku menyengir, "Gak jelas kamu tuh,"

Arden menghela, membuka kaca mobil untuk mengambil kartu tol. "Aku sayang kamu Na."

Aku menoleh menatap heran, otakku kembali mencoba memikir keras sebenarnya ada apa dan kenapa hanya saja hatiku tidak sinkron dengan otakku. Rasa untuk bertanya seperti hal yang salah. Aku tidak mau terlihat seperti pasangan yang posesif dan ingin tahu, aku ingin pasanganku yang bercerita sendiri karena itu hak dia.

Arden menoleh kepadaku, menghelus kepalaku, mengecup keningku lembut dan meraih tanganku erat seraya mengusapnya. "Aku cuma sayang Anna." Katanya lagi dengan tegas.

"Aku juga sayang Arden,"

"Gapapa kalo gak sayang, yang penting aku sayang Anna."

Aku benar-benar dibuat tidak mengerti, hal yang kubisa hanyalah menghela dan mengangguk. "Iya, aku juga harap untuk terus begitu."

✨✨✨

hmm ada apa nih 🤔

Metanoia Where stories live. Discover now