33. Kenyataan

4.4K 1.1K 908
                                    

Berhasil kabur dari ruangan kerja Fedelin membuat Januariz sedikit gugup. Sebelum kepala Fedelin mengarah pada celah di lemari dan menaruh curiga, Januariz bergerak 2x lebih cepat untuk melarikan diri dan sukses tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Lelaki itu buru-buru memasuki kamarnya yang bercahaya remang dan berguling ke atas kasur, menyelimuti tubuh menyerupai orang yang tidur pulas. Januariz menduga bahwa Fedelin mungkin sudah mencurigai dirinya dan akan menuju kamarnya seraya memeriksa, tetapi dugaannya salah besar. 

Fedelin sama sekali tak mengunjungi kamarnya. 

Januariz berdecih. Lagi pula, sejak kapan Fedelin sudi untuk pergi ke kamarnya? 

Kenyataan bahwa hubungan ayah dan anak itu tak pernah membaik membuat Januariz menutup mata. Memilih untuk tidur meski kepalanya dipusingkan oleh banyak pertanyaan termasuk tentang folder Juli yang ada di laptop dan tentang April yang terancam dikeluarkan dari sekolah. 

Pagi harinya, Januariz terbangun dan bergegas menuju sekolah. Ia tak sabar untuk mencari tahu, hal konyol apalagi yang disembunyikan oleh Fedelin selain folder bertuliskan Juli yang ada di layar laptopnya hari ini? 

Menuruni anak tangga, Tania sempat mencegah langkah Januariz dan mengajaknya untuk sarapan bersama di dapur. Lelaki itu menoleh sekilas mendapati Fedelin duduk di sana, menyesap teh hangat di mana asapnya mengepul seraya memperhatikan Januariz dengan tajam. 

"Aku buru-buru ke sekolah, bun."

Dibandingkan bergabung untuk sarapan dengan suasana yang dingin, Januariz memilih untuk melanjutkan langkah menuju sekolah, membiarkan Tania yang menatap penuh harap pada dua laki-laki yang selalu bertolak belakang di kediamannya dan semua itu selalu membuat Tania sedih. 

Januariz bergegas mencari angkutan umum di trotoar sembari memasang earphone, menghirup udara Jakarta yang lumayan gerah. Kendaraan berlalu lalang dengan berisik, memeriahkan pagi hari di kota yang tak pernah sepi. Beberapa saat setelah menemukan angkutan umum, ia pun bisa bernapas dengan tenang sembari melirik arloji yang menempel di tangan kanannya.

Di samping menikmati perjalanan menuju JIPS, Januariz melakukan pengelanaan waktu dalam pikirannya yang mulai kacau. Dimulai dari folder bertuliskan Juli yang ada di laptop ayahnya dan juga tentang April yang terancam dikeluarkan dari sekolah. Ia tak tahu alasan apa yang membuat April akan dikeluarkan dari sekolah. Mungkin saja tentang kasus bullying yang dilaporkan menjadi satu-satunya alasan yang masuk akal untuk saat ini.

Turun dari angkutan umum, Januariz berpapasan dengan April yang secara kebetulan baru saja turun dari mobil yang dikemudikan Muzdalifah. Gadis itu tersenyum cerah saat menemukan Januariz memandanginya.

"Hey, Jan!" sapa April, Januariz hanya membalas tegurannya dengan kening yang terangkat ke atas. "Lo ngerjain tugas lagi, nggak? Hati-hati loh bisa kena ciduk Bu Pundrama lagi kalau lo mau bolos dari kelas."

Untuk pertanyaan yang satu itu, Januariz tak menjawab. Hanya terus melangkahkan kaki dengan sebelah tangan yang menggantung tas di punggungnya. Kemudian, langkahnya terhenti, menatap ragu ke arah April ketika mereka melewati koridor kelas yang sepi.

"Kalau nanti lo dikeluarin dari sekolah, apa yang bakal lo lakuin?"

April ikut menghentikan langkah kakinya dengan dahi yang mengernyit. "Huh?"

"Pengawasan dari lembaga perlindungan anak masih berlangsung, meski Red Blood nggak pernah berulah lagi, tapi apa lo yakin sekolah nggak bakal bertindak lebih jauh—untuk licik misalnya?"

"Gue harus tahu kenapa sekolah ngeluarin gue, kalau alasannya nggak logis gue mau sekolah bertanggung jawab . Yah, kayaknya itu yang bakal gue lakuin."

Seamless (TERBIT)Where stories live. Discover now