7. Lomba

6.6K 1.4K 1.3K
                                    

Setelah berhari-hari menjalani berbagai jenis bimbel khusus, akhirnya April terjun kembali ke dunia perlombaan yang mengharuskan energi dalam otaknya terkuras banyak. Bukan hanya otaknya yang berjalan, tapi tenaga juga.

Di ruangan auditorium, terkumpulah lautan siswa-siswi yang memperjuangkan nama sekolah mereka, merebut piala emas yang di damba-dambakan setiap pihak sekolah. Tentu saja mereka adalah orang-orang terpilih dan tepercaya untuk bisa bersaing dengan puluhan sekolah yang ada di Indonesia.

April duduk sambil membaca buku-buku hasil latihan soal yang sudah ia pelajari selama beberapa minggu terakhir, persiapannya sudah matang dan tingkat kepercayaan dirinya juga tidak pernah menurun. Namun, bukan berarti ia akan meremehkan sekolah lain. April tahu, lautan siswa-siswi yang ada di ruangan ini punya kemampuan otak yang lebih darinya.

"Dia yang dari JIPS itu, yah?" bisik seorang guru wanita yang ada di belakang April. Pendengarannya menjadi tajam ketika menyadari bahwa suara itu sedang membicarakan tentangnya.

"Iya, JIPS mengutus orang lagi tahun ini. Utusannya masih sama seperti tahun kemarin."

"Ah ... pasti kita akan kalah lagi."

Belum tentu. Batin April mulai bersuara. Ayolah, kenapa mereka tidak berusaha optimis untuk anak didik mereka? Seakan-akan kemenangan April tahun kemarin membuat setiap sekolah tidak bisa memperjuangkan utusan mereka.

JIPS termasuk salah satu sekolah yang disegani oleh sekolah-sekolah lain. Selain karena bangunan kokoh yang tampak glamour dan berakreditas A, JIPS dikagumi karena memiliki banyak lulusan orang-orang hebat. Banyak pelajar yang menargetkan JIPS setelah lulus SMP nanti karena mendengar bahwa sistem pendidikannya sangat bagus. 

JIPS mengandalkan prestasi dari setiap kelas tambahan dari bakat mereka dan minat apa yang dituju pelajar. Karena berfokus pada prestasi minat bakat, JIPS pun tak pernah mengeluarkan peringkat kejuaraan karena ingin siswa-siswinya belajar dengan baik tanpa memikirkan peringkat. Hal itu menjadi banyak pelajar yang berkeinginan masuk JIPS.

"Dengar-dengar di JIPS ada yang bunuh diri. Kamu tahu, nggak?"

"Oh itu. Iya! Itu anaknya teman aku."

"Ya ampun, ada-ada saja yah anak jaman sekarang. Pikirannya terlalu singkat," seru wanita itu lagi, jelas di telinga April. "Tapi kenapa yah dia bisa bunuh diri? Apakarena sekolah atau orang tuanya?"

"Nggak tahu juga, bu. Kemarin saya bicara dengan mamanya, tapi mereka juga tidak tahu apa-apa. Mau menuntut sekolah juga nggak mungkin, JIPS itu kan—"

Suara mereka terhenti ketika menyadari bahwa salah satu guru JIPS, guru pendamping bimbel April mendekati kawasan mereka. Mulut-mulut yang tadinya semangat berceloteh itu menjadi kalap dan hening seketika.

April tertegun. Udara yang ada di ruangan itu seakan menyiksanya ketika mendengar celotehan tentang bunuh diri di JIPS, terlebih yang mereka bicarakan itu adalah sahabatnya sendiri.

"Sepuluh menit lagi pesertanya bakal diminta masuk ke dalam. Kamu nggak perlu gugup yah, Pril. Ibu yakin kok kamu bisa ngerjain soalnya dengan baik."

April mengangguk dan tersenyum. 

"Bu, April boleh tanya sesuatu?"

"Mau tanya apa, April?"

"Pihak sekolah ... apa berhasil bicara dengan orang tuanya almarhumah Septria, Bu?"

Mendengar pertanyaan dari April membuat Sang Guru mengernyit, tubuhnya langsung bergerak gelisah dengan melirik ke sekelilingnya berharap bahwa pertanyaan April tidak di dengar orang-orang.

Guru itu menggeleng. "Mereka masih berduka, jadi masih menutup diri dengan orang-orang."

"Di JIPS—apa ada yang pernah bunuh diri selain ...,"

Seamless (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang