2. Stranger

10.7K 1.8K 1.6K
                                    

 Hari ini, ada banyak wartawan yang berdiri di depan JIPS. Berupaya mewawancarai salah satu murid yang mungkin kenal dengan Septria Hanum karena mereka tak mendapatkan satupun informasi jelas mengenainya. Sekedar menanyakan motif atau kejanggalan yang mereka rasakan dari Septria sebelum adanya kabar nahas ini.

Wartawan melakukan itu karena tak ada dari pihak keluarga yang bersedia diwawancarai. Alhasil, para wartawan beralih ke JIPS. Mencari tahu siapa saja teman Septria yang bisa menjadi narasumber.

"April, Bapak tahu kamu teman baik Septria. Di luar sana ada banyak wartawan yang mencari teman Septria untuk diwawancarai. Kamu nggak perlu khawatir, kamu tinggal bilang saja kalau kamu tidak terlalu mengenal Septria," kata Kepala Sekolah, pada April.

"Saya nggak khawatir kok, Pak. Info apa pun itu juga akan saya berikan selagi bisa."

"Ini perintah, April."

April mengernyit. "Perintah untuk tutup mulut tentang Septria? Kenapa, Pak? Toh, kita semua nggak tahu alasan kenapa Septria melakukan itu."

"Makanya, ada perintah untuk diam. Cukup bilang kalau kamu tidak mengenal Septria dan menjauhlah dari wartawan."

"Septria siswi JIPS juga, Pak," sela April. "Kenapa info tentang dia harus dibatasi? Sebatas duka cita juga nggak bisa? Kenapa sih, Pak?"

"Dengan kalian pergi menghadiri pemakamannya, apa itu tidak cukup, April? Kamu memang penulis blog, tapi nggak semuanya harus kamu tulis di sana. Kalau kita bisa berbela sungkawa secara langsung, kenapa harus lewat postingan?"

Seperti inilah yang April tak suka dari jawaban Kepala Sekolah. Sama seperti jawaban Beliau ketika disinggung soal Red Blood yang suka membully. Rumit dan tak jelas. Padahal postingannya itu menghargai kalau Septria juga salah satu siswa mereka, sahabatnya. Postingan yang mengartikan bahwa semuanya berduka.

Sekolah ini tidak.

"Dik, bisa minta waktunya sebentar?" tanya seorang wartawan pada April di luar sekolah.

Ini sudah murid kesekian yang diminta wartawan untuk diwawancara. Ada tiga wartawan dari media berbeda yang menunggu di sana, April kenal dengan jelas. Lebih dari sepuluh murid yang dimintai waktu, mengabaikan mereka dengan dalih tak punya waktu untuk menjawab pertanyaan mereka yang sudah pasti mengenai Septria.

"Lima menit aja."

Tin Tin

April terperangah mendengar bunyi klakson dari jarak yang jauh, berasal dari Ibunya.

"Maaf yah, Pak. Saya nggak bisa diwawancara sekarang, tapi ... kalau Bapak mau tau tentang murid yang bunuh diri di sini, dia murid yang berprestasi. Gadis yang baik. Dia—nggak pernah punya masalah dengan siapa pun. Permisi, Pak."

April menarik tungkai dengan cepat, masuk ke dalam mobil dan menggunakan seatbelt.

"Wawancara apa itu, April?" tanya Muzdalifah, sembari mengemudi.

"Almarhumah, Bu."

Keheningan merajam sesaat dalam mobil membuat April merasa tidak nyaman.

"Bu, boleh temenin April ke makamnya, nggak? Akhir-akhir ini April keinget dia terus."

"Kamu mau doain dia?"

"Iya, Bu."

"Kamu pikir ada gunanya kirim doa buat orang yang bunuh diri?"

April terdiam.

"Perbuatan yang dibenci Allah itu salah satunya putus asa. Bunuh diri. Dia meninggal nggak wajar, Pril. Buat apa dikirimin doa?"

Seamless (TERBIT)Where stories live. Discover now