5. April

7.7K 1.5K 1.6K
                                    

Setiap pagi, April selalu terbangun tepat di jam empat subuh. Melaksanakan kewajiban beribadah, membuat sarapan dan bersiap pergi sekolah, itulah yang April lakukan setelah bangun dari tidur dan sudah menjadi kebiasaan baginya sejak Sang Ayah masih hidup.

April anak yang berkecukupan, hidupnya sederhana. Beruntungnya ia bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak hasil kerja kerasnya selama ini dan berhasil membelikan mobil sebagai kendaraannya dengan sang Ibu. Semua di dapat dari hasil beasiswa April yang ia kumpulkan dan hasil bonusan sekolah setiap memenangkan perlombaan.

April belum pernah berjumpa dengan kegagalan selama ini. Setiap ia mengikuti suatu lomba, pasti April selalu berhasil. Ia menganggap itu sebagai salah satu doa dari ibunya. Bukankah doa dari Sang Ibu kepada anak-anaknya senantiasa di ijabah?

Pagi ini ketika memasuki loker, April dibuat lelah dengan melihat kehadiran March yang lagi-lagi mengganggu August dengan menjegal jalannya. Hanya bisa membatin dalam hati mengingat peringatan Kepala Sekolah kemarin.

Apanya yang tanggung jawab? Kelakuannya makin parah, tapi sekolah nggak ngelakuin apa-apa.

March sempat bertemu pandang dengan April, melemparkan smirk yang membuat April mengerjap kesal. Lalu, kawanan Red Blood menjauh dari loker karena bel masuk sudah berbunyi. 

April pun begitu. Bergegas menuju kelas seni. Duduk di deretan bangku ke-empat. Satu-satunya bangku kosong yang tersisa—di depan Januariz.

"Hey, Jan," sapa April.

Lelaki itu hanya melirik sekilas lalu sibuk mencorat-coret kertasnya tanpa merespons April.

"Oke, semuanya. Karena ini pertemuan pertama kita, Ibu mau kalian mengenalkan diri dengan satu gambar sederhana yang menunjukan motivasi kalian. Gambarnya itu bisa subjek atau objeknya. Bebas sesuai dengan apa yang kalian mau. Waktunya tiga puluh menit habis itu presentasiin yah?"

April segera mengambil kertas sketsa yang ada di meja depan sembari berpikir tentang motivasi. Ah, bicara tentang motivasi, April selalu teringat tentang almarhum bapaknya yang sudah tiada. Lagi-lagi kenangan tentangnya melintas dalam ingatan April.

Tentang seluruh kalimat-kalimat bijak yang menenangkan April dari ketakutannya, gundah-gulananya hingga membuncah menjadi keberanian. Ya, semua April dapatkan pada almarhum bapak. 

Setahun yang lalu, kepergiannya masih menjadi duka mendalam bagi April dan Ibunya yang menjadikan mereka terkadang sedikit kehilangan arah—dan canggung satu sama lain.

"Bapak dulu cita-citanya mau jadi apa?"

"Bapak dulu mau jadi penulis."

"Kenapa penulis, Pak?"

"Bapak mau tangan Bapak berguna nanti, bahkan walaupun Bapak udah dipanggil sama Allah."

"Emang bisa, Pak?"

"Bisa." Bapak tersenyum. "Bapak mungkin akan lenyap di bumi ini, tapi tulisan Bapak akan abadi."

"April juga nanti harus bisa nulis hal-hal yang bermanfaat. Biar tulisan April bisa dikenang banyak orang."

Itulah kenapa April memilih masuk dalam organisasi blogger di JIPS. Meramaikan website dengan postingan-postingan positif mengenai pelajaran atau berita JIPS yang memenangkan suatu kompetisi.

April mulai menggambar dalam kertas sketsa. Menjiplak telapak tangannya di sana dan membubuhinya dengan krayon warna-warni. Mencoba membuat gambar yang sederhana namun berkesan pada perkenalan nanti.

April tak sengaja menjatuhkan krayon ke lantai. Lantas membungkuk untuk mengambil dan menengok ke belakang. Tepatnya ke kertas Januariz.

"Waktunya cuma tiga puluh menit lho," bisik April.

Seamless (TERBIT)Where stories live. Discover now