[27] Pergi

83 17 1
                                    

Masa indah disaat itu.
Waktu mungkin memudarkannya,
namun ingatan akan kembali mengungkitnya.
Jika kau bertanya, itulah alasanku
mengapa kehilanganmu adalah hal tersulit buatku.

●•●Sinned in February●•●

Hari ini, 6 April...

Perempuan itu sudah menyiapkan sebuah kertas dan satu buah pena sedangkan dirinya masih sibuk menatap layar ponsel. Pada meja belajar yang terasa dingin itu, Hea membuang napasnya kasar namun pada akhirnya ia menulis sesuatu pada kertas tersebut sambil sesekali melihat ponselnya. Setelah menulis beberapa kalimat, Hea memainkan pena dengan jarinya, mulai memikirkan banyak hal.

"Sesuai dugaanku," gumam perempuan itu kemudian kembali menuliskan beberapa kalimat. Hea menutup ponselnya dan menatap lama sebuah kertas yang sebelumnya kosong kini sudah terisi. Perempuan itu menarik napas berat.

Hea sulit tidur beberapa hari belakangan dan entah kenapa, hari ini ia memikirkan sekiranya berapa biaya yang diperlukannya sejak persalinan sampai mengurus kebutuhan bayi. Hea sudah menduga bahwa hal itu akan mengeluarkan banyak biaya dan setelah memastikannya melalui internet, perempuan itu kini yakin.

Hea masih menatap kertas itu lama, disana tertulis sekiranya total yang perlu dihabiskannya untuk mengurus bayi. "Seharusnya, aku sudah menduga sejak awal. Angka itu, membuatku terkejut." Gumam Hea dengan senyuman tipis. Hea tahu, membesarkan anak pastinya memerlukan biaya yang tidak sedikit namun apa yang bisa dilakukannya? Ia tidak tahu.

Perempuan itu melipat kertas tersebut kemudian menaruhnya asal pada meja belajar. "Apa yang bisa aku berikan untuknya.." gumam Hea. Hea sebenarnya tak seratus persen ingin menyerahkan anaknya, namun beberapa hal kadang membuatnya goyah. Hea ingin anaknya hidup dengan baik namun disisi lain hal itu akan sulit untuk ia lakukan karena Hea tidak memiliki apa-apa.

Hea tidak mau anaknya hidup menderita jika bersamanya. Dan seharusnya, Hea tahu bahwa menyerahkan anaknya adalah pilihan yang tepat. Setidaknya, anaknya nanti tidak akan pernah merasakan sulitnya hidup ketika ia lahir. "Mian." Ucap Hea.

Ketika mendengar pintu kamarnya diketuk beberapa kali, Hea menarik napas banyak-banyak sebelum melangkah menuju pintu dan membukanya. Perempuan itu cukup terkejut ketika melihat Jaehyun sudah berdiri dihadapannya, laki-laki itu biasanya pulang sangat larut.

"Kau belum tidur, ya.." gumam laki-laki itu sambil mengusap leher belakangnya.

Hea mengangguk singkat, "Bukannya aku melarang, namun sebaiknya kau istirahat dirumahmu saja." Ucap Hea. Jika perempuan itu terlihat seolah mengusir Jaehyun, anggap saja itu benar. Jaehyun selalu pulang kemari padahal laki-laki itu sudah meninggalkan banyak makanan, bukannya Hea tidak suka akan keberadaan Jaehyun namun kejadian beberapa waktu lalu masih mengganggu pikirannya.

"Restoran tutup lebih awal, itu sebabnya aku disini." Jawab Jaehyun. "Aku akan pulang sebentar lagi tapi aku ingin bertanya sesuatu," ucapnya lagi. Hea mengangguk, mempersilahkan Jaehyun untuk bertanya, "Apa kau ingin sesuatu..? Seperti makanan?" tanya Jaehyun.

Hea menatap Jaehyun bingung. Apa barusan laki-laki itu bertanya apa yang diinginkannya? Apa Jaehyun akan memberikan apapun yang diinginkannya? Namun, Hea merasa bahwa Jaehyun tak perlu melakukannya, perempuan itu akan melakukannya sendiri. "Tidak perlu, aku bisa membelinya sendiri." Jawab Hea.

"Tapi aku ingin melakukannya untukmu, apa kau tidak ingin sesuatu?" Jaehyun tak langsung mengiyakan. Alasan Jaehyun berbohong dengan mengatakan bahwa restoran tempatnya bekerja tutup lebih awal adalah untuk memberi sedikit waktunya pada Hea sehingga jawaban Hea tadi, bukanlah jawaban yang Jaehyun inginkan.

Sinned in FebruaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang