[16] Berhenti

107 14 0
                                    

"Mengorbankan segalanya ternyata seberat ini, aku tidak menduganya."

●•●Sinned in February●•●

Kini Hea telah duduk dihadapan wali kelasnya, Guru Park. Perempuan itu menelan ludahnya beberapa kali, berakting bukanlah bakatnya namun ia perlu melakukannya sekarang. Guru Park yang menunggu Hea bicara hanya memandang muridnya itu bingung. "Aku harus mengajar, bukankah kau seharusnya kembali ke kelasmu?" ucap Guru Park.

Hea berdehem untuk menghilangkan gugupnya, perempuan itu kemudian menunduk dalam sambil meremas kuat ujung roknya, "Tidak ada banyak donatur yang membantu panti, namun adik-adikku harus tetap bersekolah dan itu memerlukan biaya yang banyak." Ucap Hea pada akhirnya.

Guru Park yang mengira bahwa Hea akan mengatakan suatu hal yang menurutnya sepele kini menegakkan punggungnya, mulai mendengar dengan serius. "Tapi kau sudah dikelas akhir, Hea-ya.." balas Guru Park, paham akan maksud dari ucapan Hea.

Hea membuang napasnya, ia tetap menunduk dan tak ingin manatap balik mata Guru Park. "Aku tidak bisa membayar uang bulanan lagi, uang itu lebih baik digunakan untuk sekolah adik-adikku, Ssaem." Ujar Hea. Jujur saja, jantungnya berdetak kencang karena perempuan itu tidak pernah berbohong sebesar ini selama hidupnya.

"Aku bisa berbicara kepada Kepala Sekolah untuk memberimu waktu, setidaknya kau harus tetap bersekolah." Guru Park memberi solusi, Hea sudah mengetahui bahwa ia akan mendengar kalimat itu, sehingga ia sudah mempersiapkan jawaban yang mungkin saja bisa membuat Guru Park bungkam.

"Itu hanya akan membenaniku. Aku juga tidak berniat melanjutkan sekolahku ke tingkat yang lebih tinggi, Ssaem." Balas Hea dengan senyuman getir. Hea tidak tahu apa aktingnya terlihat bagus, namun ia tidak tahan dengan sandiwara ini lagi, Hea ingin segera menyelesaikannya.

Guru Park ikut membuang napas, melihat muridnya yang berniat untuk berhenti sekolah adalah hal yang tidak bisa ia terima begitu saja. "Setidaknya, aku perlu membicarakan ini dengan walimu, Hea-ya." Ucap Guru Park.

Tubuh Hea menegang, Ibu pantinya jelas tidak tahu tentang ini. Perempuan itu berkeringat dingin, ia tidak menyiapkan jawaban untuk kalimat ini dan membuat jantungnya berdetak tak karuan. "Eomma sibuk mengurus biaya sekolah adik-adikku.. dan.. dan aku tidak ingin merepotkannya.." jawab Hea.

"Jadi, Eommamu tidak mengetahui hal ini? Kau berniat putus sekolah dan ia tidak mengetahuinya?" Guru Park memperjelas kalimat Hea, membuat perempuan itu menyadari lagi kebohongan-kebohongannya.

Hea membuang pandang dan menarik napas banyak-banyak. "Aku sudah bicara dengannya, dia.. mengetahuinya. Eomma tidak bisa bertemu denganmu karena dia mengurus adik-adik, aku mengatakan padanya bahwa aku akan mengurus masalahku sendiri dan karena itu aku disini, ingin menyelesaikannya sekarang." Balas Hea sambil memaksa kakinya yang gemetar untuk berhenti.

"Tapi aku tidak bisa membiarkanmu berhenti begitu saja, Hea-ya." Ujar Guru Park, terdengar putus asa. "Aku ingin murid-muridku mencapai cita-citanya, termasuk kau. Kau memiliki cita-cita, Hea-ya. Kau harus memperjuangkannya, kau harus tetap belajar." Guru Park membujuk, ia tidak akan membiarkan muridnya menyerah begitu saja.

Hea menggigit bibir bawahnya, tentu saja ia memiliki cita-cita. Namun, semua sudah hancur baginya, Hea hanya ingin melarikan diri dan menyelesaikan apa yang sudah diperbuatnya. "Ssaem, sejak awal segalanya memang sudah sulit bagiku, aku hanya ingin mengakhirinya." Ucap Hea.

"Tapi tidak dengan berhenti dari sekolah, Hea-ya. Kau memang dipersulit dengan keadaanmu tapi menyerah bukanlah jalan, kau harus tetap memperjuangkannya sehingga nanti kau akan membanggakan keluargamu." Guru Park meyakinkan Hea lagi, "Kau memiliki keluarga, kau sama seperti orang-orang, Hea-ya." Lanjutnya.

Sinned in FebruaryOnde as histórias ganham vida. Descobre agora