40. Bayang masalalu

1.9K 303 108
                                    

Lima tahun lalu ....


"Pak." Gadis berusia 11 tahun itu menarik samping baju seorang pria yang tak lain adalah ayahnya. "Adit kapan pulang? Katanya dia udah sembuh."

Bapak tersenyum hangat. "Besok dia pulang. Sekarang kamu pulang duluan sama bapak. Biarin Ibu yang jagain Adit di sini."

Qinan mengangguk sekali. Tangannya digandeng bapak keluar kamar rawat Adit, ketika tiba-tiba terdengar riuh hujan deras dari luar rumah sakit. "Wah hujan, aku mau hujan-hujanan, Pak." Qinan memasang wajah ceria, lalu menoleh pada Bapak dengan mata mengerjap. "Boleh, yah, Pak?"

Bapak menggeleng. "Gak boleh, Qinan. Nanti kamu sakit gimana? Apalagi kita sedang di rumah sakit, bukan di rumah. Kita ke ruangan Adit lagi yuk, nunggu hujan reda."

"Kalau gitu gimana kalau ...." Qinan menggantungkan kalimatnya, membalikkan tas yang dia pakai, lalu mengambil sesuatu dari dalam sana. "Tada ... Ini payung," katanya ceria sambil menunjukkan sebuah payung kuning kesayangannya.

"Aku gak jadi hujan-hujanan deh, mau payung-payungan aja, boleh?"

Bapak tertawa lalu mengusap rambut anak gadisnya. "Yaudah deh, terserah kamu. Inget, yah, payung-payungan, jangan hujan-hujanan. Dan juga jangan lama-lama, ini udah sore."

Qinan mengacungkan jempol, lalu memberikan tas ranselnya pada Bapak, kemudian membuka payung lipatnya dan memayunginya sepanjang langkahnya di koridor rumah sakit.

Sudah seminggu penuh dia mengunjungi rumah sakit, karena adiknya sedang dirawat akibat sakit tifus. Dia suka berkeliling di rumah sakit ini, dan tempat yang jadi favoritnya adalah taman  belakang rumah sakit.  Biasanya di sini juga menjadi tempat para pasien berjalan-jalan.

Dia melangkahkan kakinya yang beralaskan sandal jepit itu ke sana kemari menembus hujan. Menginjak rumput jepang yang sengaja ditanam di taman itu.

Sebenarnya Qinan tak puas hanya payung-payungan, biasanya jika di rumah dia akan bermain hujan-hujanan bersama adiknya. Sayang, sekarang dia berada di rumah sakit.

Arah pandangan gadis itu tiba-tina berhenti pada satu objek. Melihat seorang anak laki-laki yang menunduk di kursi taman, membiarkan seluruh tubuhnya basah diguyur hujan.

Qinan mengernyit. Kalau anak itu sedang hujan-hujanan harusnya dia senang, tapi kenapa dia terlihat murung? Alhasil karena kasihan, dia memutuskan untuk menghampirinya.

Anak laki-laki yang masih mengenakan seragam putih-biru itu mengangkat wajah, ketika melihat sepasang kaki mungil yang muncul di depannya. Ia mengernyit, memandangi gadis berponi rata dengan rambut dikuncir kuda ada di sana.

"Kamu lagi hujan-hujanan?" tanya Qinan.

Galang, anak itu menyipitkan mata seperti mengatakan, 'udah tau nanya!'. Kemudian memilih menunduk kembali sambil menautkan kesepuluh jarinya, membiarkan tetesan kasar air hujan menyentuh kepalanya. Masih begitu terpukul dengan berita kematian mamanya beberapa saat lalu.

"Kamu lagi sedih ya?"

Galang mendongak kembali, mengusap wajahnya yang basah. "Pergi, jangan ganggu!" ucapnya sinis, tak menyukai keberadaan gadis itu.

Bukannya pergi Qinan malah memutuskan duduk di sebelahnya, seakan tak peduli meski roknya jadi basah. Lantas menggerakkan payungnya agar memayungi laki-laki itu juga—walau percuma saja karena laki-laki itu sudah basah kuyup.

Galang mendengkus, menatap gadis di sebelahnya tajam. Qinan yang diberi tatapan itu bukannya takut malah tersenyum tipis dan memiringkan wajah menatapnya sendu. "Kamu abis nangis? Matanya bengkak."

BITTERSWEET : TWINS ✓Where stories live. Discover now