22. Mood Booster

1.9K 278 32
                                    


Galang menghentikan motornya di samping mobil hitam milik papanya. Ia berdecak sekali, merasa dirinya sedang sial saat ini. Detik berikutnya mobil silver milik Gilang datang, berhenti tepat di samping motornya.

Jangan lupa mereka habis ke rumah sakit bersama tadi, untuk mengecek kondisi Gilang.

Asam lambungnya naik. Sederhana, tapi bisa-bisanya membuat Gilang pingsan seperti tadi. Padahal asam lambungnya pun pernah naik sebelumnya, tapi tak sampai pingsan sama sekali.

Laki-laki berambut hitam itu pun berdecak ketika melihat mobil papanya di sana. Dia tak bisa membayangkan, reaksi papanya saat melihat wajah babak belur saudaranya.

Saudaranya itu mungkin akan kena semprot yang lebih parah lagi. Entah kenapa Gilang jadi deg-degan juga.

Gilang keluar dari mobilnya, menghampiri Galang yang masih duduk di motor. "Gal, mending lo ke mana dulu kek. Papa mungkin cuma sebentar di rumah," kata Gilang, memberi saran.

Namun, sepertinya Galang tak berminat, ia memilih turun dari motornya dan melangkah ke depan pintu. Sejenak menarik napas terlebih dulu, barulah ia mendorong pintu rumahnya.

Tepat saat itu, Pradika pun hendak keluar. Membuat ia dan Galang jadi saling berhadapan.

Galang menelan ludahnya, tetapi berusaha mengendalikan raut wajahnya agar terlihat tenang. Meski, dalam kondisinya saat ini bersikap tenang bukanlah hal yang tepat.

Pradika maju selangkah lebih dekat dengan Galang, air muka pria itu terlihat dingin dan keruh. Ia menelisik wajah Galang yang terdapat memar dan luka yang ditutupi plester.

"Kamu mau menjelaskan sesuatu?" tanya Pradika, kini membalas tatapan Galang.

Galang tak mengucapkan apapun, kali ini dia menunduk, merasa bersalah. Dia benar-benar dalam masalah saat ini. Waktu itu saja, hanya karena dia sering bolos di pelajaran terakhir selama tiga hari berturut, ayahnya sampai menyita sepeda motornya selama seminggu. Entah apa yang akan terjadi padanya sekarang.

Gilang yang berada di belakang tubuh Galang, hanya bisa menghela napas kasar, ia tak bisa berbuat apa-apa untuk Galang. Apalagi setelah papanya itu sudah mengatakan, "Ikut papa."

Saat itu keduanya hanya bisa pasrah.

Pradika melangkah ke lantai dua, tepatnya menuju ke ruang kerjanya. Tentu saja diikuti oleh Galang yang dia lihat, anak itu membuat ulah lagi.

"Tutup pintunya," titahnya pada Galang saat memasuki ruang kerja.

Pradika duduk di sofa yang ada di sana, sedangkan Galang berdiri di samping meja. Hingga, Pradika menyuruh anaknya itu untuk duduk juga, Galang kini duduk di sofa depan ayahnya.

Keadaan hening saat itu, tak ada yang memulai percakapan di antara mereka. Pradika sejak tadi hanya menatap putranya tanpa ekspresi, sementara Galang melihat ke bawah dengan jari tangan saling bertaut— meski tak terlihat, dia tetap merasa gugup.

Setelah hampir dua menit diam. Barulah Pradika mulai angkat suara. "Siapa lawan kamu?"

Galang berkata jujur. "Wisnu."

Pradika mengernyit, mengenal nama itu. "Lagi? Kamu sudah tiga kali bertengkar dengan dia. Kali ini siapa yang memukul lebih dulu?" tanyanya, lebih serius.

BITTERSWEET : TWINS ✓Where stories live. Discover now