2. Berita Aktual

3.5K 385 25
                                    

"Lo naik sepeda lagi?"

Qinan yang baru mengeluarkan sepedanya dari rumah melirik Adit—adiknya, yang sedang duduk di atas motor. Mereka beda satu tahun, Adit masih kelas tiga SMP.

Gadis itu mengangguk sebagai jawaban, ia mendorong sepedanya ke samping motor Adit, lalu memakai helm pelindung.

"Sama gue aja yuk, nanti ada yang jailin lo lagi gimana?" kata Adit menawarkan. Qinan sudah menceritakan soal masalahnya kemarin saat pulang sekolah.

"Gak usah, Dit. Gue gak apa-apa kok." Qinan tahu adiknya itu cemas, tapi dia sungguh baik-baik saja. Kecuali tentang dirinya yang jatuh karena ditabrak Rama kemarin, pinggulnya masih agak nyeri. "Udah gak usah dipikirin. Cepet berangkat sana!" Qinan menepuk bahu Adit, kemudian mengayuh sepeda pergi, menyusuri gang rumahnya.

Sejujurnya Qinan agak was-was, jikalau sepeda kesayangannya diperlakukan seperti kemarin. Karena itu, kini dia harus mencari parkiran yang paling aman.

Sepeda ungu itu memasuki parkiran sekolah. Qinan berhenti sejenak, mengedarkan pandangan, mencari tempat strategis yang tentunya aman.

Qinan mengukir senyuman, saat melihat si ketos di parkiran guru yang terlihat habis memarkirkan motornya, lalu berjalan pergi.

Ide brilian terlintas.

Tanpa berpikir panjang, dia mengayuh sepedanya. Memarkirkannya tepat di samping motor ninja hijau itu. Entah kenapa dia yakin jika tak ada yang akan mengganggu sepedanya jika berada di samping motor si ketua Osis.

***


Saat ini para peserta MPLS dikumpulkan di lapangan, berbaris sesuai dengan kelompok masing-masing. Di depan mereka berdiri beberapa OSIS, salah satunya adalah Rizal yang tengah memberi pengarahan tentang kegiatan apa yang akan dilakukan saat ini.

Qinan memasang wajah malas ketika tahu jika dia satu kelompok bersama Rama, lelaki yang kemarin membuatnya terkena masalah.

"Qinan, lo masih marah sama gue?"

Mendengar Rama menyebutkan namanya, gadis itu langsung menoleh cepat. "Kok lo tau nama gue, sih?"

Rama menyengir. "Kan tadi ada pengabsenan." Qinan mendengkus, membuang muka, kembali memperhatikan Rizal, satu-satunya prmandangan indah yang ada di sana.

Rama mencolek bahu Qinan. Gadis itu langsung menepis, tanpa menoleh padanya. Rama mengerucut sebal. "Qi, gue tuh—"

"Stop!" Qinan memotong ucapan Rama, menoleh padanya dengan mimik wajah yang tiba-tiba berubah. "Gue kebelet!" Qinan bergumam tertahan, menepuk bahu Rama sambil berkata, "Gue ke kamar mandi dulu, jagain tempat gue!"

Rama agak melongo mendengar itu, tapi dia tetap mengangguk patuh, lalu membuka kaki lebar untuk mengisi tempat Qinan di sampingnya juga.

Qinan segera menerobos barisan menuju ke belakang lapangan. Dia menghampiri salah satu OSIS yang menjaga barisan. Meminta izin hendak ke toilet.

Gadis itu berjalan cepat menyusuri koridor, melangkah ke sana ke mari tak tahu arah. Dia sama sekali belum tahu letak toilet di sekolah ini. Tak ada yang bisa dia tanyai, karena para murid kelas sebelas dan dua belas sedang belajar di kelas.

Sampai akhirnya dia melihat seseorang.

Dengan berlari kecil, dia segera menghampiri seorang lelaki yang hendak menaiki tangga itu, lalu bertanya to the point. "Kak, maaf nih numpang tanya, toilet di mana, ya?"

Mendengar suara kecil Qinan, lelaki itu menoleh. Membuat Qinan mengerjapkan mata tiga kali, sadar siapa yang dia tanyai itu. Kak Gilang?

Lelaki itu terdiam sejenak, menelisik gadis berwajah bulat dengan seragam putih biru dan rambut dikuncir kuda itu menggunakan pita kuning tersebut. Lalu tanpa mengatakan apapun dia menunjuk koridor kanan tangga tanpa membuang pandangannya dari Qinan.

BITTERSWEET : TWINS ✓Where stories live. Discover now