Chapter 6 (Part 2)

Começar do início
                                        

"Maaf sudah menung--."

Perkataan itu membuatku menoleh. Terlihat jelas Catherine mengenakan seragam sekolah juga. Dia terlihat terkejut melihatku mengenakan pakaian yang sama dengannya.

"K-Kok samaan sih?! Malu tau diliat orang ...!" ujarnya ketus.

"Maaf, aku gak ada baju bagus .... Apa kamu mau ganti aja?" balasku bertanya.

"Gak .... Gak usah ...." balasnya pelan sembari memalingkan kepala.

Melihatnya menutup rasa senangnya membuatku terkekeh kecil. Sepertinya dia sengaja mengenakan seragamnya agar sama denganku. Berhubung dia juga tahu aku tidak memiliki pakaian bagus.

Kami pun langsung meninggalkan rumah dan berangkat menuju kafe tersebut dengan berjalan kaki.

Mentari senja kini sudah tak terlihat. Namun, ia meninggalkan sedikit dari cahaya merahnya, membuat gradasi merah di bagian barat langit malam. Bintang dan bulan pun ikut hadir, memperindah si langit malam.

Trotoar di sepanjang jalan ini juga indah. Lengkap dengan lampu jalan, berbagai tanaman, bangku-bangku dan dekorasi lainnya. Tidak heran jika aku melihat orang-orang berlalu-lalang. Entah itu sepasang kekasih atau sekelompok teman.

Kami pun tiba di kafe tersebut. Dilihat dari bangunannya, kafe ini memang terlihat masih baru. Meskipun masih baru, kafe ini terlihat cukup ramai.

Tentunya karena ini kafe, kebanyakan dari pelanggannya adalah remaja-remaja. Entah itu remaja kuliahan atau remaja SMA sepertiku dan Catherine.

Catherine pun membawaku ke lantai dua kafe ini dan mengambil meja yang persis berada di samping jendela.

"Em ... kamu mau pesan apa?" tanya Catherine.

Sebuah menu digital muncul di mejaku. Wah, ini pertamanya aku melihat kafe seperti ini. Dengan mekanisme layaknya layar hp, aku menggeser-gesernya. Melihat-lihat apakah ada yang kuinginkan.

Tidak, sepertinya tidak bisa begitu. Uangku tidak akan cukup untuk membeli yang kuinginkan. Kafe ini terlalu mencekik perekonomianku. Aku pun berusaha menemukan yang paling murah dan hanya berhasil menemukan kopi hitam biasa.

Catherine terkekeh melihatku hendak memesan kopi hitam, "Ada apa? Uangmu kurang? Tenang aja, aku yang bayarin."

"Serius nih?" balasku bertanya, memastikan.

"Iya, cepetan pesen, sebelum aku berubah pikiran."

Sontak aku langsung kembali ke pilihan awal untuk memesan yang kuinginkan. Sepotong kue Red Velvet dan Vanilla Latte.

Setelah menekan tombol "Pesan", menu itu dengan otomatis menghilang dan berubah menjadi Timer untuk pesananku.

Selagi menunggu, aku dan Catherine pun berbincang tentang apapun itu. Aku sempat bertanya tentang bagaimana rasanya menjadi seorang ketua OSIS. Dan dari sana, perbincangan kami tidak ada habisnya. Aku tidak mengira bisa mengobrol akrab dengannya seperti ini.

"Maaf sudah menunggu, ini pesanannya." Ujar seorang pelayan, membawakan pesanan kami.

"Ah, iya. Terima kasih."

Aku memandang ke arah pesanan Catherine. Dia memesan Cheesecake dengan secangkir kopi yang sama denganku. Hm, tanggung sekali. Kenapa tidak sekalian kuenya juga sama.

Dalam gigitan pertamaku, seketika pengecap lidahku mengejutkanku dengan nikmatnya rasa kue ini. Bisa dibilang ini kue Red Velvet terenak yang pernah kumakan.

Pandanganku menoleh sedikit ke arah Catherine. Entah mengapa tiba-tiba aku penasaran dengan rasa kue lainnya. Mungkin lain waktu aku harus kesini lagi.

"Ada apa, Jamie? Kamu mau coba punyaku?" tanyanya tiba-tiba.

"Ah, tidak usah. Kamu juga sudah membelikan untukku."

Tangannya bergetar sedikit. Aku menghiraukannya dan menyeruput kopiku. Saat aku menaruh cangkirnya kembali, tepat didepan wajahku ada sebuah potongan dari potongan kue tertusuk garpu yang dipegang oleh Catherine.

Fokus mataku berpindah kepadanya. Wajahnya memerah.

"C-Catherine, ada apa ini?" tanyaku gagap, berusaha mencerna kejadian ini.

"Cepat gigit! Tanganku pegal nih!" balasnya keras, masih dengan wajahnya yang memerah.

Jantungku berderap hebat. Seharusnya aku menduga datangnya kejadian ini, tapi. Aku masih benar-benar tidak percaya.

Perlahan aku memajukan kepalaku dan menggigit kue itu.

"B-Bagaimana? Enak tidak?"

Pertanyaannya sulit untuk kujawab. Apakah kue ini enak karena rasanya atau karena dia menyuapiku? Hati dan pikiranku kalang kabut dalam menikmati gigitan kue ini.

Selang beberapa waktu, kamipun sudah menghabiskan hidangan kami. Sempat terjadi keheningan setelah kejadian tadi, namun semuanya sudah baik-baik saja.

"Catherine, ada sesuatu di mulutmu." Ujarku, menyadari ada sedikit krim yang masih menempel di dekat bibirnya.

Sontak tanganku meraih serbet dan langsung mengelap ujung bibirnya itu. Dan aku baru sadar apa yang kulakukan beberapa sepersekian detik kemudian.

Terlihat kedua tangan Catherine tertahan saat ingin menahan tanganku. Wajahnya memerah lagi. Sontak aku langsung menarik kembali tanganku.

"M-Maaf maaf. A-Aku terbawa suasana." Ujarku panik dan malu.

Mataku terangkat sedikit ke arah wajahnya. Memerah lagi, sudah sepantasnya.

"Ti-tidak apa-apa kok. Tapi jangan ulangi lagi, bodoh." Balasnya pelan sembari memalingkan pandangan.

Keheningan mengisi meja ini dalam beberapa detik. Keheningan itu pun berakhir saat Catherine mengatakan, "Jamie. Ada sesuatu yang ingin kuberitahu."

Ini dia. Inilah saat dia akan menyatakan perasaannya. Dengan menarik nafas panjang, aku menyiapkan jiwa dan ragaku untuk mendengarnya.

"Pasti kamu sadar kan belakangan ini aku gak kayak biasanya. Se-Sebenernya aku .... Aku menyukaimu .... Ta-Tapi aku tidak minta jawaban dari kamu! Aku tau kamu suka Yuki .... Aku ngomong gini cuman mau nyatain perasaanku aja, jadi ...."

Aku menghela nafas sembari mengukir sebuah senyuman tipis di wajahku. Sejujurnya aku tidak tahu jawaban terbaik selain "Aku menyukaimu juga". Tapi, memang kenyataannya bukan itu jawaban yang ingin kuberikan padanya.

"Ya, aku mengerti. Terima kasih ya. Aku senang mendengarnya kok. Tapi kamu sendiri sudah tahu, jadi ... maaf ya ...." Balasku.

Ah, aku tidak bisa memberi jawaban yang lebih baik. Tapi meski begitu, aku yakin dia sudah siap menerima jawaban apapun dariku.

Dia membalas senyumanku dengan matanya yang berkaca-kaca. Terlihat jelas dia sedang berusaha menahan air matanya.

Ya, aku mengatakan yang sejujurnya dari lubuk hatiku. Akibatnya, dadaku merasa sesak yang amat. Disamping rasa bahagiaku mengetahui dia memiliki perasaan terhadapku, terdapat rasa kasihan melihatnya tidak mendapatkan hatinya. Apakah ini yang orang sebut-sebut sebagai Bittersweet feeling?

***

Hiyaa.... I'm back guyyss :3

Maaf bagi yg dukung Catherine ujung2nya kayak gini ....

Tapi liat aja ntar..... wkwkwkwk

SynchronizationOnde histórias criam vida. Descubra agora