"Bisakah aku menginap di rumahmu? Malam ini saja..." pinta Yuki lirih.
"E-eh..?! Tunggu sebentar. Ka-kamu kenapa!?" tanyaku lagi, makin terkejut.
Dia tidak menjawab. Isakan tangisnya semakin terdengar. Aku menghela nafas, meraih tangannya dan menariknya masuk
Aku memintanya untuk duduk di ruang tamu selagi aku mengambil obat luka. Tidak, obat lukaku bukan alat berbentuk pistol dan bisa langsung menyembuhkan. Alat seperti itu hanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar, contohnya seperti perusahaan rumah sakit.
Aku melangkah kembali ke ruang tamu dengan membawa obat luka itu. Di sana, aku melihatnya terduduk dan termenung meratapi lantai putih ruangan yang memantulkan wajahnya.
Aku pun duduk di sampingnya dan memintanya untuk mengulurkan tangannya. Dia bergeser mendekati ku. Seketika detakan jantungku mulai berdentum kencang, kedua tanganku ikut gemetar. Dia terlalu dekat! Aduh, bagaimana aku bisa meneteskan obatnya sekarang? Aku pun menarik nafas panjang, berusaha untuk menenangkan diriku sendiri.
Tutup obat kubuka dan aku pun mulai meneteskan nya. Oh, dan aku tidak harus mencuci lukanya. Obat ini sekaligus untuk mencucinya.
"A-Ah...!" desahnya kesakitan sembari menarik lengan bajuku.
Suara itu menggetarkan diriku. Derapan jantungku semakin cepat berkali-kali lipat. Tunggu sebentar, kenapa tidak dia sendiri saja yang melakukannya? Kalau aku yang terus melakukannya, entah apa yang akan terjadi.
"A-anu...ka-kamu bisa pakai sendiri, kan?" tanyaku gagap.
Dia menggeleng, "ma-maaf..." balasnya lirih.
Aku menghela nafas. Ya apa boleh buat. Mau tidak mau aku harus menahan diriku dari berpikir hal-hal yang tidak-tidak. Tapi, apakah aku bisa? Ah, tidak! Jangan sampai aku meragukan diriku sendiri. Aku harus yakin dan percaya. Aku pun menarik panjang nafasku dan lanjut mengobati kedua lengannya.
***
Yuki's P.O.V
Aku mengambil kembali pakaianku yang sudah selesai dijemur dan memakainya. Hebat sekali alat ini. Hanya menunggu lima menit pakaianku yang basah langsung kering. Andai aku memiliki alat seperti ini di rumah.
Aku melangkah keluar kamar mandi, tempat dimana alat itu berada. Aku pun melangkah kembali ke ruang tamu.Terlihat Jamie masih menunggu ku disana untuk menceritakan apa yang terjadi padaku.
"Ah, maaf. Aku kelamaan ya?"
"Ng-nggak, kok." Balasnya gugup.
Aku pun duduk di sampingnya. Dengan helaan nafas aku pun mulai bercerita.
"Ja-jadi, saat aku pulang ke rumah. Aku melihat ayah dan ibuku. Me-mereka..."
Tanpa ku sengaja, air mataku mulai mengalir di kedua belah pipiku. Lidahku seketika menjadi kaku, tidak bisa bertutur kata. Kejadian itu seakan-akan terjadi kembali di hadapanku Aku...aku takut.
"Sudah...kalau kamu belum bisa cerita tidak apa-apa." Ujarnya halus, sambil menepuk pundakku.
Aku menyeka air mataku, "t-tapi!--"
"Sudah. Jangan dipikirkan dulu. Aku mengerti, kok." Lanjutnya berusaha menenangkanku.
Tidak, dia tidak mengerti. Memang benar aku tidak bisa menceritakannya tanpa menangis. Jika dia tidak menghentikanku, dia bisa mengetahuinya lebih awal. Entah bagaimana, aku harus bisa menceritakannya. Aku harus bisa mengalahkan rasa takut itu.
"Nn...ngomong-ngomong, kamu sudah makan belum?"
"Be-belum...t-tapi tidak masalah kok. Aku tidak terlalu lapar."
Aku berbohong. Sebenarnya semenjak tadi sore perutku menjerit sejadi-jadinya. Seharusnya aku makan malam di rumah sekarang.
"Tunggu sebentar ya." Ujarnya seraya meninggalkan ruang tamu.
"E-eh aku serius! Kamu nggak usah ambilin aku makan!" sahutku sembari mengejarnya.
"Iya, serius bohongnya..." balasnya.
Langkahku terhenti. Apakah rasa laparku begitu mudah terlihat? Ah, hebat. Sekarang aku makin merepotkannya.
Terdengar suara televisi dari ruangan sebelah. Seharusnya aku tidak melakukan ini. Tapi, aku penasaran dengan apa yang barusan ditonton olehnya.
Aku melangkah mengikuti suara televisi itu dan, tidak ku sangka. Dia menonton serial film "Ifkar Perfect" dan bertepatan sekali ini sekuel dari film pertamanya. Sudah lama aku menantikan nya
Aku pun mendudukkan diriku di atas sofa yang berhadapan dengan televisi itu. Ya...walaupun film-nya sudah seperempat jalan. Masih ada tiga perempat lagi bagian dari film-nya.
Selang lima menit, saat jiwaku sudah menyatu dengan dunia film, Jamie mengejutkanku dari balik sofa.
"Dor..!!" sahutnya seraya menepuk pundakku.
"Aaa..!!"
Aku pun menoleh ke belakang. Terlihat dia terkekeh ringan dengan membawa sepiring roti lapis atau sandwich, bahasa lainnya.
"Ma-maaf! Aku masuk gak bilang-bilang!" ujarku seraya beranjak dari sofa.
"Iya, santai saja. Masuk kamarku gak bilang-bilang juga nggak apa-apa."
Dia terdiam sejenak. Wajahnya tiba-tiba memerah.
"A-aku gak ada maksud apa-apa! Sumpah!" jelasnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hehe, Iya...aku ngerti, kok." balasku sambil terkekeh ringan.
"I-ini. Aku tahu biasanya ini untuk makan siang, tapi aku tidak terlalu hebat dalam memasak. Maaf." Ujarnya sembari menyodorkan sepiring sandwich yang dari tadi dia pegang.
"E-eh, serius? Aku gak minta lho."
"Iya...serius..."
Aku pun mengambil piring itu dari tangannya dan menaruhnya di atas meja di samping sebuah mangkuk besar berisi sereal.
"Makasih ya. Eh, ngomong-ngomong tadi kamu lagi nonton ya? Aduh, maaf ya. Jadi ngerepotin banget..!"
"Iya...minta maaf terus....Kan aku sudah bilang nggak apa-apa. Awas kalau minta maaf lagi." Balasnya mengancamku.
"Ba-baiklah."
"Eh, kamu nonton "Ifkar Perfect" juga? Soalnya aku perhatiin kamu serius banget nontonnya."
Aku mengangguk-angguk. "Iya. Aku nggak nyangka kamu nonton film itu juga. Aku boleh ikutan nonton gak?" pintaku.
Wajahnya kembali memerah. Wah, dia mudah sekali flustered, ya.
"Bo-boleh aja kok. A-aku gak keberatan." Jawabnya gugup.
"Ah, seriusan? Makasih ya."
Aku kembali duduk dan menghadap ke arah televisi. Perlahan, Jamie melangkah dan duduk di atas sofa yang sama. Dia pun mengulang siaran film itu dari awal.
Awalnya semua biasa saja. Dia duduk sekitar 30 sentimeter dari ku. Namun di pertengahan film, tanpa kusadari jarak di antara ku dengannya menjadi nol sentimeter. Dan pada saat itulah semuanya menjadi "luar" biasa.
Jantungku mulai berdegup kencang. Awalnya aku ingin menjauhinya, tapi entah mengapa badanku enggan untuk melakukannya. Ya, bagaimana tidak. Aku tidak akan mendapatkan waktu-waktu seperti ini lagi dengannya.
***
Horee...alhamdulillah apdet yg ini jugak....
No comment sih aku :3
Silahkan yg mau comment, jgn lupa vote ama follow :3
YOU ARE READING
Synchronization
Science FictionJamie Anderson, anak remaja berumur 16 tahun yang tinggal di sebuah kerajaan yang bertahan di masa depan. Kemajuan teknologi yang luar biasa membawa juga dampak negatif pada dunianya. Dia ditakdirkan menyelamatkan dunia dari ancaman sebuah perusaha...
