Chapter 2 (Part 5)

13 1 0
                                        

"Objektif gagal. Simulasi berakhir." ujar sistem ruangan.

Dengan bertahap, ruangan mulai kembali seperti semula. Gedung hotel ini semakin pendek dan menyatu dengan ruangan. Termasuk juga bangunan di sekitar hotel ini.

"Ini semua salahmu!" sahut Catherine tiba-tiba.

Aku menoleh ke arahnya, terkejut. Raut wajahnya mengekspresikan amarah yang sangat. Aku terdiam, membiarkan dia menghabisiku dengan ucapan-ucapannya yang pedas, karena aku tahu aku salah.

"Kenapa kamu tidak mengikuti arahanku?! Kamu tahu akibatnya tidak mengikuti arahan! Kamu bisa..."

Kalimatnya tiba-tiba terhenti. Matanya mulai berkaca-kaca. Apakah dia...

"Catherine, a-aku—"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, dia langsung pergi meninggalkanku. Terdengar isak tangisannya dari kejauhan.

"T-tunggu!" sahutku, berusaha untuk menahannya dari meninggalkan ruangan ini.

Aku berniat untuk mengejarnya, tapi tiba-tiba. Ada seseorang yang menarik bahuku dari belakang.

"Sudah, biarkan saja. Dia membutuhkan waktu sendiri." Ujar Kak Reinhart.

"Oh, begitu ya. Ma-maaf ya kak, atas kegagalanku dalam latihan ini."

"Iya, tidak apa-apa. Lagipula, ini latihan pertamamu. Wajar saja kamu melakukan kesalahan. Bisa dibilang ini salahku juga sih. Aku tidak memberitahumu lebih detil tentang alat-alat yang dipakai para penjaga gedung. Jadi, kamu tidak perlu terlalu menyalahkan dirimu, oke?"

" Tidak ada yang salah di antara kalian berdua." Ujar Pak Hilton yang tiba-tiba datang.

"Aku yakin niatmu membiarkannya tidak lain untuk melihat kemampuannya. Benar, kan Komandan?" lanjutnya.

" Wah wah. Aku ketahuan. Tidak ada yang bisa kusembunyikan dari bapak ya?" balasnya mengiyakan pernyataan Pak Hilton.

"Jadi, semua ini hanya settingan?" Tanyaku penasaran.

"Hm...tidak juga. Tapi memang latihan ini untuk melihat kemampuanmu di lapangan nanti." Jelas Pak Hilton.

" Dan seluruh agen dapat memberi kritik dan saran di "forum organisasi"." lanjut Kak Reinhart, meneruskan penjelasan Pak Hilton.

""Forum Organisasi"? Dimana itu?"

"Oh iya, aku lupa mendaftarkan mu. Bisa pinjam HP mu sebentar?"

Aku merogoh saku dan menarik telepon genggam ku.

"Ini." Ujarku sembari menyerahkannya.

Dengan hati-hati, dia mengambilnya.

"Nanti akan ku kembalikan. Tidak, aku tidak akan mengambilnya, tenang saja. Hp-ku juga jauh lebih bagus hahaha..."

Dia pun melangkah meninggalkan ruang simulasi. Di samping evaluasi untuk hasil latihan ku, aku terpikirkan soal Catherine. Maksudku, kenapa dia sebegitu nya terhadap sebuah kegagalan dalam latihan pertama seorang pemula? Kalau cuman sekedar diceramahi itu masih wajar tapi kalau sampai menangis? Mungkin aku memang harus menghampirinya.

Dengan kebulatan tekad, aku pun melangkah meninggalkan ruangan itu untuk mencarinya.

Catherine's P.O.V

Di sebuah tempat, aku menengadah ke arah pemandangan kota. Aku menghela nafas seraya berusaha menenangkan diri.

Ya, tidak lain tempat ini adalah puncak bukit markas. Tempat yang kusebut tempat terbaik untuk melihat pemandangan kota langit kemerah-merahan dengan cahaya mentari senja mendampinginya. Secara langsung menciptakan pemandangan spektakuler yang membuatnya semakin indah.

Aku bersandar ke pohon cemara yang sudah tua. Jika diperhatikan ada bekas tebasan di batang pohon. Siapa tahu kalau pohon ini dulu ditebas seorang ksatria kerajaan.

"C-Catherine!" Sahut seseorang dari belakang.

Aku berdiri dan menoleh ke belakang. Aku terkejut melihat ada seseorang yang menemukan ku di tempat ini. Dan entah bagaimana, orang itu adalah Jamie.

" Ba-bagaimana kamu menemukanku?" tanyaku terkejut dan penasaran.

"Ya... tanpa sengaja aku menemukan jalan kesini."

Seharusnya aku tidak perlu menanyakan itu. Dia memiliki kekuatan sihir dan aku juga memilikinya. Kita terikat dalam sebuah ikatan ajaib ini yang menyatukan hal-hal yang sebenarnya terdengar tidak masuk akal, seperti aku dengannya.

"Mau apa kamu?" balasku dengan wajaku yang berpaling darinya sembari menatap tanah.

"A-anu. Aku mau min--"

"Jangan, kamu tidak salah. Sekarang pergi dari sini, aku butuh waktu sendiri."

"Ba-baik."

Aku kembali menghadap pemandangan kota sambil memikirkan alasan mengapa aku melakukan hal-hal konyol semenjak tadi latihan bersamanya. Mengapa tiba-tiba aku menyelamatkannya? Mengapa aku tiba-tiba menangis saat menceramahinya tentang resiko melanggar arahan? Cahaya dari bola cahaya di puncak Menara Cahaya berkelap-kelip, menyilaukan mataku sesaat.

"Aku tidak tahu ada pemandangan seperti ini di puncak markas." Ujar seseorang yang tiba-tiba muncul di sampingku.

Aku pun menoleh dan menghela nafas, "bukannya aku sudah bilang aku butuh waktu sendiri?" tegurku lemas.

"O-oh, iya, maaf. Hanya saja, aku belum pernah melihat pemandangan kota seindah ini. A-aku akan pergi sekarang."

Dia pun mulai melangkah pergi meninggalkanku.

"T-tunggu!" sahutku tiba-tiba.

Dia menghentikan langkahnya sembari menoleh ke arahku.Aku seketika mematung. Dalam benakku, aku berteriak dan bertanya pada diriku sendiri, "kenapa aku mengatakan itu?!".

"Ada apa? " tanyanya.

"A-aku juga ingin kembali. Hari sudah mulai malam." Ujarku sembari melangkah kembali menuju markas.

Kepalaku tertunduk, menahan rasa malu. Ah, ada apa dengan diriku ini? Dari mengorbankan diriku sendiri hingga tidak membiarkannya pergi meninggalkanku. Semua perbuatanku, seakan-akan aku menyerahkan segenap perasaan cintaku untuknya, tapi mengapa? Apakah sekuat itu "ikatan" ini?

***

SynchronizationWhere stories live. Discover now