"Kenapa kamu melakukan ini ke kami?! Apakah karena uang kami lebih banyak dari pemain lainnya di pertarungan ini?" tanyaku heran dan emosi.
Dia terkekeh kecil mendengar pertanyaanku. "Ya...sebenarnya aku hanya mengincar Glenn. Karena, waktu itu dia pernah bilang sedang menabung 10 juta credits entah untuk apa. Dia pernah menunjukkannya padaku nilai uang yang dia miliki beberapa hari yang lalu. Dan kalau dihitung-hitung sekarang kamu sudah mendapatkan lebih dari 10 juta itu, kan?"
"T-tapi, 10 juta itu ingin aku berikan kepadamu. Aku ingin bisa membelikan senjata yang kamu inginkan itu. Kamu tidak harus membunuh kami untuk mendapatkannya." Jawab Glenn tulus dan jujur.
"Haha, apa serunya kalau begitu...?"
"Kejam...Kenapa, kenapa kamu tega melakukan ini?!" sahutku lagi, bertanya.
"Karena ekspresi itu yang ingin kulihat. Ekspresi marah dan putus asa. Kalian ingin melawan, tapi sayangnya kalian tidak bisa. Ah, menyedihkan sekali. Hahaha..."
Benar-benar, dia bidadari berhati iblis. Sepertinya ini yang dimaksud perkataan salah satu pemain tentangnya. Kalau sudah seperti ini, hanya ada satu rencana yang bisa kugunakan.
Sebenarnya rencana ini kusimpan untuk keadaan yang sangat darurat. Dan sepertinya ini bisa disebut dengan keadaan yang sangat darurat.
"Oh, baiklah kalau seperti itu. Coba saja kalau bisa, Catherine." Ujarku menantang.
Tepat setelah kalimat itu, aku melemparkan sebuah flash grenade ke arah mereka. Di saat itulah aku mengeluarkan pistol revolver andalanku dan menembakki ketiga rekan Angel seraya berlari menyamping ke arah mereka. Lalu, tepat pada saat efek granatnya menghilang. Revolverku sudah menodong Angel, tepat di belakang kepalanya.
Dia pun membalik badannya dengan kedua tangannya terangkat.
"A-apa? Ba-bagaimana kau tahu nama asliku?" tanyanya terkejut.
Dengan terkekeh kecil, aku membalas. "Perkenalkan, namaku Jesse Mcree."
Nafasnya seketika tersendat setelah mendengar kalimatku. "Oh, Jamie ya...Sekarang apa maumu? Membunuhku? Kamu sendiri tahu peraturannya, kan?" balasnya mengancamku.
"Tidak masalah bagiku. Lagipula, ini bukan akun utamaku. Aku tidak peduli jika akun ini di ban."
"Heh, baiklah kalau begitu."
Dengan cepat dia berbalik badan dan menarik pistolnya seraya menodongkannya ke arahku.
"Oh oh, ada apa ini? Kamu mau ronde tiga?"
"Memangnya kelihatannya apa yang kumau."
Aku tersenyum. Pandanganku berubah ke arah Glenn. Aku hampir lupa dia masih ada di sini.
"Glenn, bersembunyi dulu di rumah. Ini menyangkut masalah pribadinya denganku. Tolong jangan ikut campur."
Glenn mengangguk-angguk dengan ekspresi keheranan. "Ba-baiklah.
Pandangnanku kembali menghadap gadis itu. Dia menatapku dengan tatapan membunuh. Wah, gadis ini benar-benar ingin aku mati rupanya.
Kami melangkah mundur, menciptakan jarak di antara kami berdua. Entah sejauh apa kami akan melangkah. Intinya, jika dia mulai menyerang, aku tidak akan mundur lagi. Kecuali untuk taktik tentunya.
Dan tiba-tiba, di langkah kami yang ketiga. Dia mulai menembak ke arahku seraya berlari menyamping. Ah, teganya dia mengambil gerakan andalanku. Aku pun berlari dengan arah yang sama dan menunggu dia mengisi ulang pelurunya.
Setelah melalui belasan peluru darinya, aku pun membalasnya, tentunya dengan akurasi yang lebih tinggi.
Aku berhasil mengenai badannya, tapi itu kurang untuk membuatnya tumbang. Dia pun kembali menembakiku. Beberapa pelurunya berhasil menggores, bahkan mengenaiku. Akhirnya akurasinya meningkat.
Aku pun berlari ke arahnya, bertujuan melakukan salto dan menembak tepat di atasnya. Tapi, tiba-tiba...
JDARR!! Sebuah roket meledak di tengah-tengah kami. Aku dan Catherine terpental beberapa langkah, menyisakan seperempat dari healthbar-ku.
Perlahan aku berdiri dan melihat ke arah asal roket tadi. Ternyata, mereka adalah tim terakhir yang tersisa di pertarungan ini. Bagaimana aku bisa melupakan mereka?
"Catherine, ikut aku!" sahutku seraya berlari ke sebuah rumah, guna untuk berlindung. Mau tidak mau, pastinya dia akan mengikutiku.
Aku menarik sebuah Healing Gun dari bagian belakang sabukku dan menembakannya ke arah pembuluh nadiku. Dengan begini, setidaknya Healthbar-ku terisi setengah.
Angel pun melakukan hal yang sama. Dan sayangnya, hanya itu alat penyembuhan yang kita milik. Mode ini tidak mengizinkan pembawaan lebih dari satu.
"Kita tunda dulu duel kita. Kamu tidak ingin mati di tangan mereka, kan?"
"Ck...Aku tidak akan mati. Ayo habisi mereka, dan jangan gagal kali ini." Balasnya.
Aku tersenyum, "tidak akan." Jawabku percaya diri.
"Tunggu disini." Ujar Catherine seraya melangkah menuju jendela rumah, guna mengintip sekitar.
"Mereka berencana mengepung kita dari pintu depan dan belakang. Dan kemungkinan mereka akan memaksa kita untuk keluar dengan melempar granat ke dalam rumah ini. Tapi, aku tidak tahu kemana orang yang ketiga."
Aku berpikir sejenak sembari melihat-lihat di sekitar rumah. Ya, benar. Ada dua pintu di rumah ini yang sangat memungkinkan sebagai pintu masuk mereka. Terdapat juga deretan jendela di kedua sisi pintu itu. Tapi, ada satu lagi jalan masuk menuju rumah ini. Dan itu melalui lubang di atap rumah ini. Jangan-jangan...
"Catherine, awas!"
Kami pun langsung berlari keluar rumah, dan sepersekian detik kemudian. Granat-granat berjatuhan dari lubang atap tersebut, menghasilkan ledakan-ledakan yang pastinya mampu membunuh kami berdua.
Seseorang mulai menembak ke arahku. Untungnya aku sempat bersembunyi di balik tembok halaman belakang rumah ini. Aku mengintip melalui lubang kecil yang ada di tembok ini. Dia berada di rumah sebelah. Baiklah, aku akan menghabisinya.
Aku pun hendak lompat dari tembok ini serta menembak kepalanya yang menongol di jendela rumah. Namun pada saat itu, aku kembali teringat dengan si pengebom rumah itu.
Dengan mendengar derap langkahnya, aku mengetahui posisinya. Dia berada di dalam rumah. Sepertinya dia hendak mengejutkanku lagi dengan senjata-senjata peledaknya.
Aku pun menghadap ke arah pintu keluar tadi dan menunggu kedatangannya. Pastinya dia mengira aku sedang fokus berhadapan dengan rekannya. Tepat pada saat dia mengambil langkah pertama keluar, kedua peluruku sudah membolongi kepalanya. Dia pun tersungkur, mencium tanah.
Sekarang, aku bisa melaksanakan rencanaku. Aku pun melompat dari pagar dan membidik ke arah jendela rumah tersebut, namun rupanya aku salah perhitungan.
Orang itu berada di halaman belakang sambil membidik tepat ke arahku yang tengah tidak menyentuh tanah. Aku terkejut. Bagaimana dia mengetahui rencanaku?
Aku pun mengalihkan bidikanku ke arahnya dan mulai menembak. Namun, rupanya dia sudah menembak beruntun sepersekian detik lebih awal. Entahlah aku akan selamat atau tidak.
Berhasil. Hampir saja dia membunuhku. Jika saja dia mengincar kepalaku, mungkin aku sudah mati sebelum menyentuh tanah.
"Jamie! Aku akan menolongmu!" sahut Glenn yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah.
"Tenang saja. Sudah kubunuh musuhnya."
Glenn berembus lega. Tepat setelah itu, sebuah anotasi muncul. Menandakan kita telah memenangkan pertandingan.
***
Euy, pembaca pada kemana dah?
Updet yg kemaren-kemaren gk ada yg baca T_T
Anyways, met menikmati^^
YOU ARE READING
Synchronization
Science FictionJamie Anderson, anak remaja berumur 16 tahun yang tinggal di sebuah kerajaan yang bertahan di masa depan. Kemajuan teknologi yang luar biasa membawa juga dampak negatif pada dunianya. Dia ditakdirkan menyelamatkan dunia dari ancaman sebuah perusaha...
