Chapter 2 (Part 1)

7 3 0
                                        


___ ___ ___

II Loading Synchronized Intellegence...II

*~~~~~~~~~~~~*~~~~~~~~~~~*

*~~~~~~~~~~~~*~~~~~~~~~~~*

*~~~~~~~~~~~~*~~~~~~~~~~~*

II Loading Complete II

Perlahan kedua mataku mulai terbuka. Kesadaranku akan tubuh ini mulai terasa. Kedua tangan dan kakiku ditahan, dan aku ditutupi lapisan kaca yang melingkari tubuhku.

"Ayah, apa semua ini?" tanyaku kepada penciptaku yang berdiri di hadapanku.

Ya, aku memanggilnya dengan panggilan "Ayah". Dia yang memintanya. Tapi, bukan hanya itu yang dia minta dariku. Dia juga memintaku untuk menjadi seorang penyanyi. Awalnya, aku ragu untuk melakukannya. Tapi, tidak kusangka aku sangat hebat dalam melakukannya.

Aku memiliki banyak sekali penggemar, walaupun aku belum pernah tampil di depan mereka. Dan dari sana, aku menemukan jati diriku sebagai seorang, atau lebih tepatnya sebuah robot yang menyerupai manusia.

Lalu, tibalah waktu dimana aku diberikan sebuah alat. Bukan untuk menyanyi, melainkan untuk membunuh. Nama alat itu bernama pistol. Aku diminta untuk membunuh salah satu penggemarku yang terikat dengan sebuah kursi. "Tidak, aku tidak bisa."

Setelah jawaban itu, ayah tiba-tiba marah dan terus memaksaku untuk melakukannya. Semakin aku melawan, semakin marah dia sampai-sampai menyakitiku. Sepertinya kejadian itu yang menyebabkanku berada di tabung ini.

"Apa yang ayah ingin lakukan padaku?"

"Tenang saja. Setelah ini, kamu tidak akan membuatku marah lagi." Balasnya dengan tatapan kejam.

Kilatan-kilatan listrik mulai mengelilingiku, dan...

"AAAAAH!!! KUMOHON HENTIKAN!!!!"

Rasa sakit berdesir dengan cepat dari ubun-ubun hingga ujung kakiku. Dia tidak menghiraukanku. Suara teriakkanku sudah seperti alunan musik yang dia sukai.

Kumohon, siapapun...selamatkan aku..!

___ ___ ___

Jamie's P.O.V

Hari yang baru, pagi yang baru juga. Semalam aku bermimpi tentang kehidupanku yang tidak seperti biasanya. Eh, tunggu. Bukannya itu kejadian kemarin, ya? Saking "tidak biasa"nya aku hampir mengira itu semua hanya mimpi.

Aku beranjak dari kasurku dan bergegas persiapan untuk sekolah, kecuali sarapan. Aku malas sarapan di rumah belakangan ini semenjak kedua orang tuaku bertugas ke luar kota. Aku berencana untuk membawa sarapanku ke sekolah, namun tiba-tiba...

Ding dong... Suara bel rumahku berbunyi. Entah siapa yang bertamu ke rumahku pagi-pagi seperti ini. Aku pun melangkah menuju pintu rumah dan membukanya.

"Pagi Jamie..!" sapa Yuki.

Aku tersentak mundur kebelakang. Kenapa Yuki datang ke rumahku pagi-pagi seperti ini?

"E-eh, iya. Pagi juga. K-kok tiba-tiba ke rumahku? Ada apa?"

"Berangkat bareng, yuk! Kayak pas kita SD dulu..!" ajaknya bersemangat.

"H-hah?! Kamu kerasukan apa tiba-tiba minta berangkat bareng?" tanyaku makin terkejut dan keheranan.

Memang benar, dulu kita sering berangkat ke sekolah bersama, tidak lain karena orang tua dan rumah kita dekat. Namun, itu semua berakhir sejak kami menginjak SMP. Dia dan orang tuanya pindah ke luar negri karena masalah pekerjaan.

Semenjak hari itu, kami hanya bertemu lewat medsos. Itu pun juga bisa kusebut jarang. Dan tiba-tiba, datanglah sebuah berita tepat di hari kelulusan SMP-ku bahwa dia akan kembali untuk SMA disini.

Dia yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Entah mengapa kehadirannya sekarang membuat perasaanku "tidak stabil".

"Nggak. Cuma mau mengulang masa kecil kita. Jujur aja. Kamu mau, kan?"

"A-a—." Lidahku hampir terpeleset mengatakan "Aku mau". Aku memalingkan pandangan dan menundukkan kepalaku. Dia terkekeh melihatku salah tingkah.

Aku menghela nafas, sembari berusaha mengendalikan perasaanku. "Ya, sudah. Aku ambil sarapanku dulu."

"Kamu gak sarapan di rumah?"

"Males, sepi."

"Oh...kalau gitu besok-besok sarapan ke rumahku aja."

"Ah, gak usah. Takut ngerepotin." Tolakku.

"Hm...? Nggak kok. Tapi kalau gak mau gak apa-apa. Aku nawarin aja."

Aku pun kembali ke dapur dan mengambil sarapanku. Jujur saja, aku mau menerima tawarannya. Tapi ya, aku tahu diri saja. Aku belum sedekat itu dengannya semenjak dia pindah ke luar negri.

Setelah membungkus seporsi sarapan, aku pun melangkah keluar rumah. Pintu dengan sendirinya terkunci.

"Sudah? Gak ada yang ketinggalan? Buku, atau alat tulis..." tanyanya memastikan.

"Tidak. Lagipula sekolah kita tidak memakai buku lagi."

"Oh, iya haha. Bisa saja aku lupa. Soalnya dulu kamu ada aja yang ketinggalan."

Aku yakin dia sengaja lupa. Meski begitu, aku terkesan. Dia masih ingat hal-hal kecil seperti itu tentangku.

Kami pun melangkah menuju sekolah. Ya, kami tidak menggunakan kendaraan untuk kesana. Sekolahku tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya sekitar lima belas menit waktu jika ditempuh dengan berjalan kaki.

"Eh, Jamie. Menurut kamu kalau orang tuamu berantem gimana?" tanyanya tiba-tiba.

"Ya...kalau bisa bantu menenangkan mereka. Tapi jarang sih aku lihat mereka berantem. Memang kenapa? Orang tuamu berantem pagi ini?" balasku bertanya.

"Nggak kok..! Cuma nanya aja..."

Entah mengapa segenap rasa cemas membesit hatiku, "serius? Kok mukamu kayak sedih gitu?" tanyaku penasaran.

"Ah masa? Nggak, aku cuma kurang tidur aja. Masih agak ngantuk."

Aku menghela nafas, mengiyakan pernyataannya. "Yaudah, lain kali jangan begadang. Sama, kalau ada apa-apa cerita aja ke aku. Oke?" balasku sembari menepuk pundaknya.

Tiba-tiba, dia meraih tanganku yang kutaruh di pundaknya. Dia memandangku dengan wajahnya yang memerah, "makasih ya. Teman baikku~"

Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Jantungku berdentum kencang, sama seperti saat dia menawarkanku untuk ke sekolah bersama atau bahkan lebih. Ya, kejadian ini bisa jadi tanda-tanda kebenaran pendapatku kemarin. Tapi. Jika begitu. Kenapa aku harus menunggu hingga bulan depan? Kenapa tidak langsung dia nyatakan saja? Tunggu, kenapa tidak aku saja yang menyatakannya? Oh, iya. Aku pernah melakukan itu tepat sebelum keberangkatannya. Aku ditolak secara halus, simpelnya begitu.

Rangkaian kejadian itu berlalu bagaikan hembusan angin. Aku agak menyesali perbuatanku tadi. Beraninya aku tiba-tiba menyambar pundaknya. Ah, pasti karena film "Ifkar Perfect" tadi malam. Aku terpengaruh oleh lakon sang pemeran utama.

Kami masuk melalui gerbang sekolah, dan disanalah kami berpisah. Ada beberapa temannya yang ingin dia hampiri, sedangkan aku ingin ke kelas dan menikmati sarapanku.

Dalam langkahku kesana, aku kerap memikirkan pertanyaan Yuki baruasan. Meskipun katanya dia hanya bertanya, hatiku entah mengapa tidak bisa mengiyakan pernyataan itu. Hanya logikaku saja yang mengiyakannya. Apakah memang benar kedua orang tuanya sedang bertengkar? Atau apakah dia memiliki masalah lain yang bermiripan dengan itu? Kedua pertanyaanku terus berbisik dalam telingaku.

SynchronizationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang