Prolog

117 10 0
                                        

Aku menengadah wajahku ke arahrimbunnya dedahanan pohon cemara. Terpancar dari kejauhan cahya puncak menara cahaya, menembus sela-sela dedahanan itu. Seorang gadis dengan seragam sekolah melangkah ke arahku dan berhenti tepat di sampingku. Pandangannya menatap menara itu dan gedung-gedung di sekitarnya. Aku pun mengalihkan pandanganku ke arahnya memandang

"Kota tidak pernah sepi walau malam, ya." Gumannya.

Aku menangguk dan tersenyum. Kupejamkan mataku dan tiba-tiba, aku sudah tidak berada di sana.

Dalam sebuah ruangan gelap dengan remang-remang cahaya merah, aku menatap getir ke satu-satunya rekanku yang tersisa. Aku yakin dia bisa membaca maksud tatapanku. Ya, aku takut. Tidak kusangka pertarungan ini bisa jadi pertarungan terakhirku.

Dia membalasnya dengan tatapan tajam seraya berkata, "hei Jamie! Kau sudah tahu ini akan terjadi! Setidaknya...setidaknya...Lakukan sesuatu, bodoh! Jika memang ujung-ujungnya kau mati, kau mati dengan perjuangan, bukan mati sia-sia!"

Kalimatnya kasar, namun jelas dia tidak berniat menyakitiku. Aku masih mematung, tidak tahu harus bertindak apa.

Aku memejamkan mataku lagi, tanpa berani membukanya kembali. Lalu, terpancar cahaya entah dari mana yang menerangi pandanganku. Dan muncullah dia, sosok itu yang ingin kuselamatkan dari ruangan mematikan ini.

"Jamie, ada apa? Kamu baik-baik saja?" 

SynchronizationWhere stories live. Discover now