Chapter 6 (Part 2)

Start from the beginning
                                        

"Jadi ... ada apa? Kok kamu tiba-tiba mengajakku ke kafe?" tanyaku, sebagai pembuka perbincangan.

"Ah, tidak apa-apa. Aku cuman mau lebih kenal kamu aja. Gak salah kan sesama rekan kerja saling lebih mengenal?"

Ah, tentu saja dia tidak mengatakan alasan sebenarnya. Sama persis seperti di game itu. Andai dia tidak bersikap "aneh" belakangan ini, mungkin aku akan terkejut mendengar perkataannya.

Sinar mentari senja menyambut kami saat baru melangkah keluar dari mobil. Kami pun langsung memasuki rumah.

"Aku mau siap-siap dulu. Nanti kamu tunggu aku di ruang tamu ya." Ujarnya sembari melangkah menaiki tangga, menuju kamarnya.

Ya, sepertinya aku harus siap-siap juga. Berhubung ini kafe yang disarankan oleh Catherine. Pastinya kafe yang dia bicarakan bertaraf kelas elit. Aku khawatir baju yang kumiliki tidak memenuhi "taraf" tersebut.

Aku mengangkat lipatan demi lipatan pakaian yang tertumpuk di lemariku. Sebagian besar pakaian dilemari ini adalah milik rumah ini.

Beberapa hari yang lalu aku sempat dibolehkan kembali ke rumah untuk mengambil pakaianku. Aku hanya membawa seragam sekolah hingga kemarin, pakaian dalam, dan pakaian santai.

Dari pakaian yang kubawa ataupun pakaian yang disediakan disini tidak ada yang cukup bergengsi untuk kafe kelas elit.

Setelah berulang kali mengangkat lipatan-lipatan pakaian, entah mengapa mataku tertuju kepada seragam sekolahku untuk hari Selasa kemarin yang tentunya sudah kucuci.

Mungkin pilihanku terdengar aneh untuk sebagian orang. Sebenarnya seragam sekolahku bisa dibilang "lumayan elit". Desainnya dibuat oleh salah satu merek ternama dalam industri fashion. Yah, walaupun begitu, seragam sekolah tetaplah seragam sekolah.

Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Lagipula, ada kok beberapa temanku yang menggunakan seragam sekolah ke tempat-tempat bertaraf seperti itu.

Aku pun langsung membersihkan diri dan mengenakan pakaian itu. Aku pun juga mencoba menyisir rambutku yang sebenarnya sudah tidak bisa disisir lagi.

"Dompet, hp.... Yah, sepertinya aku siap."

Aku membuka pintu kamarku dan melangkah keluar. Sekarang, aku hanya perlu menunggu di ruang tamu. Pertanyaannya, dimana letak ruang tamu?

Sudah hampir seminggu aku tinggal disini. Meski begitu, aku merasa tidak enakan berkeliling di rumah ini. Karena itu aku tidak tahu dimana letak tiap tempat di rumah ini.

"Tuan Jamie, ada yang bisa dibantu?" tanya seorang pelayan, hampir saja mengejutkanku.

"Ah, iya. Dimana ya ruang tamu? Catherine memintaku untuk menunggunya disana."

"Tinggal lurus saja. Nanti tuan akan menemukannya." Jawabnya singkat.

"Oh, baiklah. Terima kasih."

Lurus saja rupanya. Yah, kalau begitu seharusnya aku tidak perlu bertanya. Tapi ngomong-ngomong, agak aneh menurutku. Kenapa saat aku pertama masuk tidak melihat ruang tamu? Biasanya ruang tamu ada tepat di balik pintu masuk.

Aku pun tiba disana. Rupanya pintu yang selama ini kugunakan bukanlah pintu utama rumah ini. Pantas saja aku tidak melewati atau bahkan hanya sekedar melihat ruangan ini.

Dan kelihatannya Catherine belum datang. Kebiasaan perempuan. Mereka selalu memakan banyak waktu menyiapkan mereka sendiri sebelum bepergian.

SynchronizationWhere stories live. Discover now