[6]Cara Allah Menguji Hambanya

11 2 0
                                    

Pemandangan sawah hijau dan diakhiri dengan gunung Merapi di ujung sana mengisi pandanganku. Kampusku dulu tanahnya adalah sawah dan rawa-rawa. Sekarang pun masih, lima puluh persen di kelilingi pemandangan hijau. Sebelumnya tanah di sini sangat murah, sepi, jalannya kecil, tak ada yang mau membeli. Namun sejak kampus berdiri, perlahan-lahan pemilik tanah yang dulunya tinggal di rantau berlomba-lomba membangun rumah kost untuk para mahasiswa. Kata Tisa, siang saja hanya satu dua motor yang lewat. Tisa adalah warga asli di daerah Kubang Putih, tempat kampusku berada. Kampus ini berlokasi di luar kota, tapi kampus pertamanya ada di daerah Bukittinggi juga. Ya, ini adalah kampus kedua, yang delapan puluh persen besar dari yang pertama.

Angin sejuk menerpa wajahku. Nyaman, tenang. Tak seperti kampus-kampus lain yang pemandangannya diisi dengan padatnya aktivitas kota. Namun Universitas Andalas juga memiliki pemandangan yang rindang, karena letaknya yang jauh ke arah perbukitan. Meski tak pernah melihat secara langsung, video yang kutonton cukup membuatku berdecak kagum dengan keindahan. Kampus impian banyak anak sekolah. Guru-guru pun pasti bangga jika masuk ke sana, mereka akan bertanya antusias tentang segala macam hal. Berbeda dengan kami yang masuk ke kampus ini, mereka hanya menjawab, "Oh, di sana". Tapi nggak tahu aja mereka kalau kampusku berkembang lebih pesat dari sekadar pengetahuan mereka. Bahkan sampai jadi kampus terfavorit se-Indonesia di umurnya yang baru menginjak tiga tahun sejak berubah menjadi Institut.

Jeda satu jam menuju mata kuliah selanjutnya hanya kuisi dengan menatap berlama-lama pemandangan hijau di luar. Beberapa teman sekelasku beberada di dalam, selebihnya mereka keluar tak tahu ke mana. Tentu saja ada Tisa dan geng hebohnya yang selalu fasih menertawakan orang. Pikiranku terganggu dengan tawa cekikikan kumpulan itu. Tak lupa memasukkanku ke dalam topik per-ghibahan mereka yang seru itu.

"Tahu nggak, dia udah dibicarain sampai ke anak fakultas pendidikan juga, loh." Tisa bagai pemimpin geng gosip di sana.

"Siapa, sih?"

Dua tahun lamanya aku sekelas dengan mereka, aku sudah hafal siapa saja yang berbicara.

Mitha si muka sok polos itu menanggapi dengan anda antusias. "Jadi alasan di balik perubahannya itu apa, sih?"

"Ngajakin gue berubah gitu. Mulai dari merubah sikap, nggak ketawa-ketiwi sembarangan, perbaiki shalat, dan memanjangkan jilbab gitu, deh. Gue sih iya-iyaian aja."

"Sekarang udah jadi Ukhty beneran, dong." Suara Neneng yang tenang bagai belati yang menelusup ke dalam dada, tapi aku mengabaikan.

"Paling juga ke kampus aja kayak begitu. Di luar bakal balik ke aslinya. Gue yakin, itu cuma pencitraan."

Aku menoleh sekilas, ingin melirik rupa Tisa kala mengucapkan kalimatnya. Ternyata dia juga sedang menatapku. Seringai licik tergambar jelas dari bibirnya. Kini aku tahu bila Neneng dan Mitha sedang membelakangiku, sementara Nazhi yang duduk di sebelah Tisa sedang memainkan ponsel. Dengan ekspresi datar aku kembali mengalihkan pandangan keluar jendela. Entah kenapa kata-kata menusuknya tak mempan bagiku. Seperti bola yang memantul kembali.

Beruntungnya dosen laki-laki masuk. Jadi perbincangan yang memuakkan itu berhenti. Aku mengambil duduk di baris kedua ujung sebelah kanan di samping Tata dan Mutia yang baru saja masuk dengan terburu-buru.

"Ih, udah lama maksudnya, Lan?" bisik Tata dengan napas terengah-engah.

"Sepuluh detik yang lalu," jawabku asal. Padahal aku tak menghitung sama sekali.

"Untung." Tata mengelus dada, lalu mengeluarkan buku catatannya.

Cukup satu menit saja, semuanya berhasil duduk dengan rapi. Pemakalah sudah duduk berjejer di depan kelas. Sementara salah satu temannya mengoper plastik berisi foto copy makalah tentang materi hari ini. Dosen Fiqh dan Zakat itu membuka kelas dengan salam dan sedikit pengantar tentang materi zakat yang akan dibahas sesuai judul di modul.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang