[24] Pelajaran Pertama Untuk Berubah

3 3 0
                                    

"Umar bin Khattab berkata: Bertemanlah dengan orang yang paling banyak bertaubat, karena mereka paling lembut hatinya."

💌💌💌

Tak terhitung berapa menit terbuang sejak aku menatap langit-langit kamar. Kilas balik semua kejadian yang telah lalu kutata sesuai urutannya di kepala. Mulai dari semenjak aku masuk kuliah, hari-hariku jauh berbeda. Ternyata kuliah lebih menyenangkan daripada sekolah. Sebab masa putih abu-abu tak ada yang menarik, aku tidak populer sama sekali. Ditambah aku tidak cantik, tidak punya prestasi, tapi katanya aku paling ahli dalam mendapatkan hati cowok. Mungkin karena aku pandai berkata-kata manis sebab suka menulis. Barangkali juga mereka tak benar-benar jatuh hati, hanya sekadar menikmati kata yang kurangkai indah.

Setelah pertemuan ekslusif pertama yang dijanjikan Kak Raisa, aku merasa lebih lapang. Banyak hal menarik yang belum pernah aku ketahui, disampaikan dengan tenang, jelas, dan masuk ke dalam hati. Katanya, kita perempuan itu perlu memakai yang namanya mihnah atau pakaian dalam pelengkap sebelum memakai gamis. Semisal sehari-hari memakai baju kaus atau serupa daster, maka itu adalah mihnah. Dan mihnah mulai dipakai semenjak akhir balik hingga wanita mencapai menopause. Aku sempat menyangkal bila aku agak risi bila memakai baju dua lapis, karena kepanasan. Tapi Kak Raisa bilang untuk awal-awal memang terasa berat, tapi tidak apa-apa untuk dimulai pelan-pelan.

Kak Raisa juga bilang, hijab adalah pakaian yang menutupi tubuh dari leher hingga kaki. Sementara kerudung disebut jilbab.

"Kenapa kamu nggak pakai gamis aja ke kampus?"

"Takut, Kak. Kemarin tu aja Tia ke kampus pakai gamis disuruh pulang buat ganti."

"Tapi kalau kita menolong agama Allah, maka Allah juga akan menolong hambanya."

Aku tersenyum kikuk. "Kemarin aja aku pakai baju yang panjangnya sampai betis ke ruang Akama malah diduga pakai gamis, disuruh liatin berapa panjang bajunya."

Kak Raisa diam sejenak. Dia pun merasakan aturan kampus yang tak membolehkan mahasiswinya memakai cadar. Sempat menjadi viral beberapa waktu lalu tentang dosen bercadar yang diberhentikan dan naik ke media masa. Kalau dosen menjawab, mereka bilang pakai cadar bisa untuk mengelabui orang-orang. Semisal dia berganti peran dengan orang lain untuk masuk kelas. Aku cukup kecewa dengan peraturan itu, tapi tak dapat melawan juga. Entahlah, rasanya memperdebatkan itu membuat nama kampus kami semakin buruk. Ditambah ada orang luar yang sengaja menyusup ke kampus dan membuat video, menuduh bila dosen melakukan razia buka paksa cadar, padahal pagi itu aku juga melihat kalau Bu Rusyaida hanya meminta dengan baik-baik untuk pulang dan mengganti baju pendek para mahasiswi.

"Wulan?"

Aku menoleh, segera bangkit dari kasur ketika mendengar seseorang memanggil diiringi ketukan. "Eh, Friska?"

Friska tersenyum manis. "Boleh masuk, nggak?"

Mulanya aku terdiam, detik berikutnya aku tersadar. "Boleh," ucapku sambil melempar senyum lebar. Kubukakan pintu lebih lebar, hingga dia masuk dan duduk di samping kasur.

"Kenapa, Fris?" tanyaku, ikut duduk di depannya.

"Lo ngapain aja di kost? Udah seminggu, 'kan?" Dia bertanya sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Lalu memberikan kertas berupa foto copy makalah.

"Rebahan aja, sih." Aku menerima dan membacanya. Sebelum aku bertanya, Friska lebih dulu berkata, "Itu makalah Fiqih Wakaf dan Zakat, sama mata kuliah yang lain juga, buat dibaca-baca. Seminggu lagi kita kan bakal UTS."

Astaga, aku tak ingat sama sekali jika sudah memasuki pertengahan semester. "Takutnya gue nggak bisa ikut, gimana yah, minta susulan aja sama Pak Afrizal kali, ya?"

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang