[9] Kebetulan yang Menyenangkan

12 2 0
                                    

Dari balik kaca hitam pintu masuk masjid ini, aku memandangi Radit sedang melihat ke kanan dan kiri di tempat duduk yang sengaja dibuat menyatu dengan sepanjang pagar tembok masjid Jami' Bukittinggi. Saat baru saja berkenalan lagi secara nyata, azan berkumandang sehingga kami memutuskan untuk shalat di masjid terdekat. Aku mengajaknya ke sana karena memang sudah sering shalat di sana. Padahal aku sudah selesai merapikan jilbab, tapi tak berani keluar karena masih sangat deg-degan. Ah, kapan aku terakhir kali segugup ini bertemu seorang lelaki. Padahal sikap Radit tadi biasa saja dan lebih santai. Aku saja yang berlebihan sampai berdebar-debar setiap mendengar suaranya.

Akhirnya, setelah berkali-kali menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, kuberanikan melangkah keluar mencari sepatu di antara anak tangga. Sialnya, dia malah mendongak dan mata kami bertemu. Mulai lagi detak aneh ini menyerang hatiku. Ah kenapa aku bisa segila ini hanya karena dirinya. Padahal tidak sekali aku bertemu seorang laki-laki. Tapi dia sukses mengaduk-aduk hatiku.

Senyum tipis terlihat jelas di sana. Astaga kenapa manis sekali? Aku meraung di dalam hati. Cepat-cepat aku memutus kontak mata, dan bergabung di tempat duduk wanita. Entah dia sedang memandangiku kini, aku memilih untuk mengacuhkan sekitar. Setelah selesai, aku menyampirkan tas di bahu, berbalik perlahan. Astaga. Jantungku kembali tersiksa, ternyata dia sudah berdiri berhadapan denganku sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana. Ya Allah, lama-lama aku bisa mati kena serangan jantung.

"Sudah?" tanyanya saat aku sudah berdiri di depannya.

Aku mengangguk saja tanpa mau menatap wajah Radit. Lalu kami berjalan keluar dengan aku memijak setiap jejak langkahnya di aspal. "Kalau aku mau balik ke SMA 1 lewat mana, ya?"

"Eh? Ke mana?" Aku terkejut karena terlalu fokus mengikuti langkahnya. "Aw!" Betapa malunya saat aku mendongak, wajahku rata di punggungnya. Demi Tuhan, wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus, saking panasnya menahan malu. Dan aku tak mau langsung membuka mata.

Kudengar suara tawanya mendamaikan pendengaranku. Apa semua yang diciptakan tentangnya itu sengaja dibuat indah, sampai-sampai aku selalu terdiam meresapi setiap pesona yang dia punya.

"Kamu kenapa jalan di belakang?"

Kubuka mata, meskipun tahu wajahku pasti menjadi bahan tertawaannya barusan. Aku menggeleng saja, sambil tersenyum canggung.

"Jalan ke SMA 1 lewat mana, ya? Aku tadi nggak sadar. Padahal cuma disuruh beli makanan di swalayan. Terus karena penasaran lihat kamu, jadi nyasar."

Dia sudah bilang jika tadi berbelanja makanan untuk tim yang kini melakukan penyuluhan di SMA 1. Tak tahu kenapa dia malah berjalan sangat jauh sampai ke tempatku. Padahal jaraknya sudah sekilo lebih. Apesnya lagi, ponselnya ketinggalan di dalam tas. Alhasil dia tersesat dan malah bertemu denganku. Jika diingat-ingat, ini adalah kebetulan yang sangat-sangat aneh di dalam hidupku. Padahal sebelumnya dia tak pernah berkata akan ke sini melakukan penggalangan dana untuk bantuan ke Palestina.

"Oh, itu. Seharusnya bisa lewat sana." Aku menunjuk ke arah samping, jalan tercepat untuk menghemat waktu melewati pasar lereng yang langsung sampai di pasar bawah. Lalu dari sana hanya butuh lima menit untuk sampai ke tujuannya kini.

"Ke sana? Oke. Aku ngikut aja."

Aku tak berkomentar sementara berjalan lebih dulu memandu jalannya. Kami tak banyak melemparkan kata, sebab benar-benar tak tahu apa yang seharusnya diucapkan. Ah, mungkin maksudnya aku saja yang kehilangan kata-kata sebab telah dikalahkan oleh debar-debar di dada.

"Loh, ini tadi jalan yang aku lewatin, loh." Dia tertawa di belakangku. Saat menoleh, kulihat dia memandang ke arah kanan dari jembatan di atas jalan yang kami lewati.

Aku ikut berhenti. Memperhatikan dirinya yang kini berkacak pinggang, mungkin dia sedang merenung kenapa bisa tersesat sejauh itu. Sementara kantung plastik besar belanjanya tadi ditaruh di samping kaki.

"Kok bisa nyasar sejauh itu, ya, padahal cuma jalan lurus aja," gumamnya lagi.

Aku melempar senyum sebagai komentar. Ternyata dia lebih tinggi dari dugaanku. Saat dia akan mengambil kantong plastik tadi, aku langsung menundukkan pandangan, tak mau ketahuan bila sedang memperhatikannya. Tapi ternyata dia berbalik dulu baru meraih kantong tadi. Alhasil aku langsung membelakanginya sambil menahan malu untuk ke sekian kalinya.

"Abis itu lewat mana?" tanyanya saat sudah sampai di sampingku.

"Tinggal lurus ke depan itu aja." Aku menuruni tangga lebih dulu, tapi ternyata dia malah menyejajarkan langkah. Alhasil sampai ke bawah kami berjalan beriringan.

"Kamu kapan ke sini?" Aku bertanya untuk mencairkan suasana.

Kami melewati trotoar kecil di antara barisan pedagang kaki lima. Di sebelah kanan berjejer delman yang membuat di sekitar semerbak dengan aroma kotoran kuda. Meskipun begitu pedagang di sini sudah terbiasa saja.

"Tadi pagi, sih. Udah nyampe sini jam sembilan. Karena malah sibuk bahas hal lain, jadi nggak sempat ngabarin kamu."

Hah? Mengabariku? Padahal dia memang tak pernah mengabariku sedang atau akan melakukan apa. Aku tak menyahut. Membiarkan suara kebisingan pasar yang cukup padat di sore hari sebagai jawaban. Kendaraan yang berdesak-desakan dengan para pedagang yang akan membawa dagangannya pulang. Para pejalan kaki yang ikut membuat macet jalan yang muat dilalui oleh satu mobil ini, sebab kanan dan kiri sudah dipenuhi oleh tenda-tenda beragam barang yang dijual. Lalu kami berjalan di depan SMK 2 Bukittinggi yang dominan dengan cat berwarna oranye. Di depannya berbaris angkot berwarna biru tua dan merah dengan tujuan yang berbeda-beda. Di sini adalah kawasan khusus sekolah. Sejalur dengan kami berjalan ada SMK, SMA, dan SD yang berurutan sampai ke persimpangan kecil di depan. Sementara di seberang ada dua SMP, Tsanawiyah yang bergabung dengan masjid, jauh di depan ada persimpangan untuk SMK Keperawatan, juga SMK swasta. Tidak heran jika sepanjang jalan diisi dengan jajanan ala anak sekolah. Bahkan gojek pun banyak nongkrong di pinggir jalan atau di tempat-tempat makan.

"Kamu pendiam ternyata, ya."

Sontak aku menoleh, mendapati dia yang balas menatapku. "Sebenernya aku ada niat buat ke sini nemuin kamu. Tapi bukan secara mendadak gini, sih." Dia terkekeh, yang kubalas dengan memalingkan muka, antara senang juga bahagia. Ah, sama saja. Yang terpenting aku tahu ternyata dia ada niat untuk menemuiku. Apa aku terlihat tersipu dengan ucapannya?

"Nah, di sini," ucapnya saat kami sampai di depan gerbang SMA 1, yang bersebelahan langsung dengan SMK 2. Kulirik dia yang sedang melambaikan tangan pada temannya di depan gerbang. Wajah temannya terlihat kesal, sementara Radit malah tertawa sumringah0.

"Kenapa telat banget, astaga! Ini sudah setengah lima," decak kawannya yang memakai baju batik dan celana abu-abu. Tubuhnya lebih kurus tapi tidak setinggi Radit. Dia melipat lengan di depan dada sebagai tanda tak suka, saat kami sampai di depannya.

"Sorry, tadi nyasar." Radit terkekeh lagi. "Nih." Dia menyerahkan kantong plastik berwarna putih tadi.

"Udah mau pulang kali." Meskipun dengan wajah masam, temannya tetap menerima. "Masuk, gih."

Sepertinya dia tak melihat keberadaanku. Sejak tadi hanya menatap Radit dan mengabaikanku yang jelas-jelas ada di samping Radit.

"Wulan, makasih ya, udah nganterin aku sampai sini. Maaf aku nggak bisa nih nganterin kamu pulang, soalnya pake mobil yayasan. Sekali lagi makasih."

Aku tersenyum sebagai jawaban. Dia kembali menggaruk tengkuk seperti tadi. "Lain kali kalau sempat aku ke sini. Kita akan ketemu lagi."

Aku mengangguk. "Aku pulang dulu." Setelah berpamitan, aku langsung menyeberangi jalan untuk menunggu angkot yang memang melewati jalur ini. Saat aku berdiri menghadap sekolah, ternyata dia masih di sana, tersenyum padaku sambil melambaikan tangan. Saat berhadapan begini, aku tak mungkin bisa memalingkan muka. Jadi kuputuskan membalas senyumnya, menikmati wajah yang tampak dewasa tersebut sambil mengeluh di dalam hati. Kenapa aku sebahagia ini?

💌💌💌

Part ini lebih pendek, because masih belum terlalu fit. Belum diedit, jika ditemukan typo mohon maaf sekali hihi. Selamat membaca dan semoga suka🤗

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang