[4] Sakit Hati

34 6 1
                                    

"Versi singkatnya dulu, ya. Nanti yang panjangnya aku bacain pas ijab kabul."

-Raditia Firmansyah-

💌💌💌

Sudah satu bulan belakangan aku sering melakukan aktivitas shalat malam. Berpuasa Senin dan Kamis, mengaji sebelum subuh, dan belajar setelahnya. Kalau masih mengantuk, aku biasanya langsung tidur saja sampai sejam sebelum jadwal kuliah. Katanya, tidur setelah subuh itu membuat kepala pusing. Mungkin karena kebiasaan, tidak tidur sehabis shalat malah aku sakit kepala. Selain itu tidur setelah Subuh itu bisa menutup pintu rezeki. Kalau kata nenekku, rezeki dipatok ayam. Apa gara-gara itu uang jajanku selalu sedikit, ya?

Tapi tentu saja bukan berarti aku menyerah pada kebiasaanku. Untuk beberapa kali, aku sudah mulai membiasakan belajar mandi setelah shalat subuh dan membaca buku, membuat tugas, atau melakukan aktivitas lain supaya tidak tergoda untuk rebahan di kasur. Pertama kali mandi setelah subuh membuatku mengigil bukan main. Sebab Bukittinggi masih tergolong kota yang memiliki suhu cukup dingin. Pagi-pagi saja suhu delapan belas derajat celcius.

Aku memutuskan untuk bermain gim dapur frenzy, gim masak memasak instan yang menyenangkan. Aku memainkannya nyaris setiap hari. Bosan memainkannya selama tiga puluh menit aku melihat sebuah chat WhatsApp.

[Mau dibacain?]

Tebak siapa yang mengirimiku pesan? Ya, laki-laki yang akhir-akhir ini sering menanyakan beberapa hal konyol seperti ini. Dia baru saja mengomentari status WhatApp-ku yang berisi tulisan, "Aku ingin kalau nikah nanti maharnya Surat Ar-Rahman". Aku tertawa kecil. Mau apa katanya?

[Boleh.]

Kulihat dia sedang merekam suara, lalu selang dua menit voice note tersebut kudengarkan. Eh? Ini beneran? Senyum tanpa alasan tercetak di bibirku. Suara merdu yang tiba-tiba menggetarkan hatiku. Ah, terkesan lebay, tapi aku terharu. Lalu terhenti entah pada surat ke berapa?

[Loh, kok pendek?]

[Versi singkatnya dulu, ya. Nanti yang panjangnya aku bacain pas ijab kabul.]

Kini senyumku berubah menjadi tawa cekikikan. Aku menghempaskan punggung di spring bed yang tidak begitu empuk.

[Boleh.]

[Beneran mau?]

[Ya, coba dulu sekarang. Aku mau denger.]

[Kalau setuju nanti pas ijab kabul.]

[Oke. Aku tunggu.]

Hah, apa? Oke? Kenapa aku bisa mengirimkan kalimat bodoh begitu?

[Loh, kenapa ditarik pesannya? Aku udah baca, loh.]

Aku membuang ponsel ke depan. Memelototkan mata, melihat lagi jika aku sedang tidak bermimpi sepagi ini. Kutatap lagi layar ponsel yang terjatuh tepat di pahaku.

[Nggak usah malu. Tunggu, ya. Aku bakal tepatin janji.]

Tidak. Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Apa aku berhalusinasi? Aku menepuk kedua pipi, menyadarkan diri bila ini semua nyata. Aku mengatakan sedang menunggunya membacakan surat Ar-Rahman pada ijab kabul kami nanti?

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang